15

125 25 3
                                    

Hampir setengah jam Nawasena membasmi para Ahool. Saat Ahool terakhir tewas dengan luka di dada. Magma dalam sekejap berpindah tempat ke sisi Nawasena. Hanya dalam satu sentuhan tangan. Mereka langsung melakukan teleportasi.

Nawasena yang ingin memprotes. Sudah lebih dulu dicegat Magma dengan jari telunjuk mengarah ke depan. Tepatnya pada atap ruko yang sebelumnya mereka tempati.

"Lihat! Itu para kesatria."

Dari atap ruko yang berbeda. Nawasena dapat melihat, sekumpulan pria yang memegang Kaditula berbilah emas sedang menatap puluhan mayat Ahool yang telah ia bunuh.

"Pekerjaan bagus," puji Magma. "Tapi minimal, Kakak harus menghabisi 100 Ahool sebagai latihan."

Magma pun kembali menyentuh Nawasena dan mereka berteleportasi ke depan sebuah warung makan prasmanan yang sedang tertutup.
Melihat itu, Nawasena pun mengenyit. "Jangan bilang lo mau makan di saat seperti ini?"

"Enggak juga, tahu-tahu kepikiran tempat ini."

Nawasena tidak percaya dan ia hanya memutar bola mata malas. Sebelum keduanya beranjak pergi. Terdengar suara orang sedang bercakap-cakap dari dalam warung tersebut. Lalu, dari atas atap bangunan, muncul sebuah lubang hitam yang mengeluarkan puluhan Ahool ke arah langit.

"Apa itu?" seru Nawasena. Makhluk-makhluk itu keluar terus menerus. Seakan tidak pernah habis.

"Kebetulan yang menarik bukan?" ujar Magma dengan sebuah seringai.

Bocah itu lalu mengajak Nawasena mendekat dan mengintip ke dalamnya. Namun sialnya, mereka tiba-tiba terpental ke belakang oleh sihir pelindung yang melindungi. Keributan tersebut, tentu saja menarik perhatian orang di dalamnya.

Seorang pria bertopeng monyet muncul dari balik pintu. Magma kalah cepat untuk membawa Nawasena bersembunyi. Sebagai gantinya, ia membiarkan Nawasena yang terbatuk-batuk akibat punggungnya menghantam tiang listrik.

Nawasena berusaha bangkit. Belum juga ia berdiri dengan sempurna. Lawannya telah mencekik leher Nawasena. Hanya satu tangan, tetapi mampu mengangkat tubuh Nawasena ke udara.

Nawasena berusaha memberontak. Kedua kakinya terayun-ayun di udara. Di saat seperti ini, sebuah bola sepak mendadak ditendang dari arah belakang.

Magma tidak lagi bersembunyi dan untungnya, perhatian pria bertopeng itu teralihkan. Ia lantas membanting Nawasena secara kasar di atas aspal.

"Demi Dewa! Kenapa ada bocah di sini? Ini Abang lo?"

Magma tidak menjawab, dia kembali menggunakan telekinesis untuk menarik kembali bola sepaknya dan tanpa jeda. Dia kembali menendang. Sayangnya, bola tersebut meledak sebelum mengenai musuh mereka.

"Dengar bocah," ucapnya dengan nada mengancam. "Gue enggak ada waktu bermain dengan bocah seperti kalian? Jelas terlihat, kalian ini anak-anak Anomali. Kalau begitu, bagaimana kalau gue mengirim kalian ke alam baka? Gue rasa, itu taman bermain yang co—"

Kalimat itu terputus. Nawasena sedang mengarahkan ujung Kaditula untuk menusuk punggung si pria. Akan tetapi, medan sihir menahan bilah tersebut untuk melukainya.

"Hentikan permainan kalian!"

Tubuh Nawasena kembali terpental dan pukulan tidak kasat mata menghantam ulu hati Nawasena berulang kali. Tidak sampai di situ saja, kepala Nawasena di tendang dari berbagai sisi dan Magma rasa. Dia mendengar bunyi tulang patah.

Saat Nawasena tidak lagi bergerak. Perhatian pria bertopeng beralih ke arah Magma.

"Lo pengikut Sapta Syam!" seru Magma dengan nada menghakimi. "Kalian yang membuat portal-portal itu."

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now