41

48 9 2
                                    

Langit menjadi lebih pekat. Gemuruh dari langit terus terdengar. Suhu udara menjadi lebih dingin, embusan angin pun menerbangkan butiran debu.

Nawasena meraung frustasi. Seiring dengan air mata yang mengalir keluar. Hujan pun mulai turun membasahi kota. Para Ahool dan orang Bati berlarian mencari perlindungan. Kesempatan itu pun dimanfaatkan para kesatria bhayangkara untuk menebas mereka tanpa ampun.

Percikan energi sihir bergerak liar mengelilingi Nawasena. Semua yang berada di dekatnya, terpental jauh. Tanah bergetar dengan retakan-retakan yang semakin parah.

Javas dan yang lainnya melangkah mundur sejauh mungkin. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain mengamati Nawasena dari jauh. Angin berembus kian lebat, membuat jarak pandang semakin tipis.

"Apa yang harus kita lakukan?" tukas Astrid pada para pria. Tidak ada yang menjawab. Semua fokus pada pikiran masing-masing.

"Kaditula tidak bisa digunakan. Artinya, kita tidak bisa bertindak. Mantra sihir tidak akan cukup," ucap Javas sambil melirik mereka satu-persatu.

Lingkaran sihir yang dibentuk Eril, melindungi mereka semua dalam kubah transparan. Astrid melirik Yudha yang terus menerus fokus menatap Nawasena.

"Lo tahu sesuatu tentang Nawasena? Lo terobsesi padanya."

Tuduhan itu membuat Yudha melirik malas. "Sekarang baru lo paham? Kemarin-kemarin, kalian ke mana? Saat gue mengajukan permohonan penyelidikan?"

Yudha tidak butuh jawaban Astrid. Dari wanita itu, dia melirik ke arah Eril dengan tatapan peringatan. "Lo bekerja sama dengan Raksa."

"Gue bekerja sama dengan siapa pun yang gue sukai," balas Eril dengan sengit.

Javas sudah bersiap menghajar mereka, jika kedua rekannya mulai adu jontos. Para kesatria bhayangkara yang lain juga berusaha melindungi diri, namun tidak terlalu jauh dari tempat Nawasena. Badai besar yang ditimbulkan Nawasena membuat awan hitam bergulung-gulung dan melingkar di bawahnya. Langit makin pekat tanpa cahaya matahari.

Di kemaharajaan, Raksa menahan diri di samping Kinara yang mendengar laporan insiden kemaharajaan.
Sri Maharaja yang merupakan kakak laki-laki Kinara menatap Raksa dengan ujung bibir tertarik tipis.

Setelah segel Nawasena terlepas dan cakra yang keluar dari tubuhnya. Identitas Nawasena yang disembunyikan Raksa selama ini terkuak. Tidak ada lagi yang bisa Raksa sembunyikan dari kemaharajaan.

"Jadi, pembelaan apa yang ingin kau katakan?" ujar Gestara dari kursi kebesarannya. Para pejabat tinggi dan keluarga kerajaan semua hadir di balariung utama keraton. Mereka menunjukkan tatapan menusuk pada Raksa.

"Tidak ada, Yang Mulia," jawab Raksa dengan tenang.

Kasak-kusuk terdengar protes. Kinara tidak memegang tangan Raksa untuk sekedar menenangkannya. Baginya, Raksa adalah salah satu koleksi yang berlabel selir. Dia butuh nama bangsawan dan kekuatan Raksa untuk mendampinginya.

Putri dan Pangeran kemaharajaan diberi kebebasan memiliki banyak selir dengan satu suami atau istri resmi. Sialnya, Raksa menjadi bagian dari hal tersebut.

"Tidak ada? Wah, menarik. Jakarta sedang kacau balau dan kau masih tetap tenang seperti biasa. Kinara?" ungkap Gestara pada adik perempuannya. "Apa tanggapanmu? Keluarga Auriga membohongi kita selama ini. Adik yang ia bilang telah meninggal nyatanya masih hidup. Tidak, bukan hanya itu. Adiknya merupakan seorang Tucca yang menjadi buronan."

Kinara tersenyum samar. Gestara adalah putra dari permaisuri, sedangkan dirinya adalah putri selir. Kedudukan mereka jelas berbeda. Namun, Gestara sangat menyayangi Kinara dibanding saudara-saudaranya yang lain.

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now