42

63 9 0
                                    

Di situasi normal, Airin mungkin akan menjerit ketakutan atau menyerang balik Nawasena. Tetapi, tidak. Dia tahu Nawasena hanya pria malang yang terpaksa menjadi Tucca dan membuat Airin selalu penasaran tentang dirinya.

Meskipun begitu, cengkraman Nawasena di lengan Airin makin menguat dan membuat Airin merintih kesakitan. Tiba-tiba, Airin tersentak. Aliran cakra dari tubuhnya berpindah pada Nawasena.

"Lepaskan!" seru Airin sambil mendorong dada Nawaeena. Ini berbahaya. Jika berlebih, Airin akan kehilangan cakra dan tidak akan bisa menggunakan sihir. Bukan hanya Airin, sihir Aren yang menompang pun akan ikut terisap.

Sialnya, Nawasena tidak ingin melepaskan wanita incarannya. Dia menyeringai melihat wajah ketakutan wanita tersebut. Perlahan, Nawasena mendekatkan wajahnya ke tengkuk Airin dan mulai menjilatinya.

Airin bergidik, lalu berusaha mengangkat tangannya ke udara. Berharap mampu mengendalikan darahnya yang bercampur dengan tubuh Nawasena. Lantas, Airin memutar pergelangan tangan, mengepalnya kuat dan membuka telapak tangan tersebut dengan ledakan kesiur angin.

Sontak, Nawasena berhasil terdorong menjauh dari Airin yang tersenggal-senggal. Mendadak, sesuatu secara kasat mata menarik Airin dan membawanya menjauhi medan pertempuran.

"Itu menjijikkan," komentar Aren di tempat yang cukup jauh dari amukan Nawasena. Tetapi tangannya sudah bekerja mengambil liur di leher Airin dengan cuttonbud.

"Dia liar," balas Airin.

"Ehehe. Tapi, itu yang membuatmu tertarik padanya, bukan?"

Airin memutar bola matas malas. Di situasi seperti ini, atasanya masih sempat-sempatnya bercanda. Lalu ia menoleh ke arah teriakan histeris Nawasena yang tidak terima pasangannya menghilang.

"Kita harus mundur," kata Aren dengan wajah serius. "Senopati sedang memasang formasi pengepungan saat kau mendekati si Ahool kecil."

"Ahool kecil?" ulang Airin dengan alis bertaut. "Aren. Tucca itu berbahaya dan malang. Kita harus menyelamatkannya."

"Oho. Kau ingin membuka rahasia kita? Aish, aku tidak percaya jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi, kau dan Ahool kecil udah saling terpikat. Itu hal biasa dalam hirarki hewani. Hati-hati, pejantan mereka setia. Mereka akan terus mencarimu."

"Dia menyerap sebagian sihirku. Apa para Senopati tahu?" tanya Airin sambil melempar pandang ke arah Nawasena. Ledakan demi ledakan sihir terus terjadi.

Mendadak, ia dan Aren merasakan aura yang mencekam. Aura ningrat yang membuat semua orang harus tunduk.

Dari arah kepulan debu, muncul rombongan motor sport hitam yang mengenakan jaket kulit senada. Kendaraan itu lantas berhenti di depan Astrid yang sedang berselisih dengan Yudha.

Menyadari aura ningrat yang kuat. Astrid sontak jatuh berlutut di depan pria yang sedang melepas helm dan wanita yang berdiri di sampingnya.

"Kami mohon ampun, sampai Yang Mulia Putri harus turun tangan ke medan pertempuran," ucap Astrid dengan kepala menunduk.

Kinara melambaikan tangan ke udara. Dia tidak memerlukan salam formal seperti itu. Lantas, dia melirik Raksa Auriga. "Sayang, kau bisa mengatasinya, 'kan?"

Raksa mengangguk. Dia lantas berjalan mendekati Eril yang sedang mengatur napas. Pria itu menatap Raksa dengan kening berkerut. Seolah kehadiran Raksa di luar prediksi.

"Sudut segitiga ya?" gumam Raksa pada Eril. "Cukup menguncinya. Tapi tidak melemahkannya."

"Ada apa?" bisik Eril. Javas yang baru bergabung pun memberi salam formal pada Raksa. Dia baru selesai memasang pasak untuk menahan ledakan sihir Nawasena di titik lain.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now