23

107 23 6
                                    

"Kesalahan apa yang mereka perbuat sampai lo ingin menghancurkannya?"

Yolai tidak menjawab. Dia hanya berjalan mendekati Nawasena dan melewatinya begitu saja. "Ikut gue."

Nawasena menurut. Dia berjalan di belakang Yolai sampai keluar dari mulut goa. Tempat itu berada di sebuah ceruk. Dengan terampil, Yolai melompat dari satu dahan ke dahan lain sampai tiba di bawah.

Mudah bagi Yolai dan betapa susahnya bagi Nawasena mengikuti. Dia sudah tersenggal-senggal karena harus sedikit berlari menuruni gunung.

Pepohonan di sana tumbuh begitu lebat. Beberapa burung liar berbulu cokelat hinggap dari satu dahan ke dahan lain sambil memperhatikan Nawasena dan Yolai.

Nawasena mencoba menepis sesuatu dari benaknya. Ada sayup-sayup suara yang terus berdensing di pikiran. Dan dia tanpa sadar terpleset lalu terguling mencium lumpur.

"Fokus, bro," sindir Yolai dengan lirikan mata. "Penting bagi kita untuk peka pada sekitar."

"Huh, suka-suka lo aja."

Nawasena berusaha bangkit. Pakaiannya menjadi kotor. Tetapi itu hanya sebentar, sebelum setelan tersebut kembali bersih.

Yolai tidak lagi berjalan. Ia berdiri di ujung sebuah tebing dan menatap lurus pada apa yang ada di hadapannya. Dengan langkah gontai. Nawasena mendekat dan melihat apa yang sedang ditatap oleh pemimpin kawanan Ahool itu.

Di bawah tebing, terdapat pemukiman penduduk yang rumah-rumahnya terbuat dari atap-atap yang diselimuti oleh lumut hijau. Di bagian belakangnya, terdapat kepulan asap yang memanjang.

Ada sebuah jalan besar tanpa aspal. Di sana ada gerobak penuh hasil alam yang ditarik oleh beberapa pemuda. Di pinggir jalan, ada anak-anak laki bertelanjang dada yang berlarian ke sana - kemari dengan gembira.

"Apa lo bakal diam saja. Ketika melihat keluarga lo di bunuh hanya karena mereka berbeda dari yang lain?" Nada suara Yolai menyiratkan kedengkian yang mendalam.

"Tidak," sahut Nawasena. Dia merasa seperti melihat dirinya sendiri.

"Kalau lo sadar, itulah yang dilakukan kemaharajaan. Hanya karena kami Ahool dan berburu di sungai. Para manusia mencoba membunuh kami. Demi seekor ikan yang dibawa pulang untuk keluarga di rumah. Orang-orang tidak bersalah harus merenggang nyawa karena mereka berbeda."

Tanpa sadar, tangan Nawasena terkepal kuat. Napasnya memburu dan terasa sesak. Itulah yang dia rasakan saat terjangkit kutukan Ahool. Hanya karena dia terluka. Orang lain ingin membunuhnya, berpikir ia akan melukai mereka.

Yolai yang melihat perubahan emosi Nawasena pun tersenyum tipis. "Jadi, tidak salah bukan? Kalau kami balas dendam? Mata ganti mata dan gigi ganti gigi."

Puas melihat kilat amarah dalam mata Nawasena. Yolai pun melanjutkan. "Ketika segel terbuka, itulah momen yang kami tunggu-tunggu. Menyerang manusia adalah langkah awal. Sebelum menghancurkan kemaharajaan."

Dan mulai detik itu, latihan Nawasena dimulai. Dia akan menunjukkan pada para senopati yang memburunya. Bahwa setiap makhluk bebas untuk hidup dan tidak seorang pun berhak mengatur kehidupan orang lain.

...

Teknik dasar yang harus dikuasai oleh Nawasena adalah Oberhau. Teknik yang menyerang lawan dari atas bagi mereka yang memiliki pedang panjang.

"Kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang," ujar Yolai sambil menilai. "Pasang kuda-kuda. Pinggul lo harus menghadap lawan. Ingat, pedang harus dipegang setinggi bahu."

Nawasena menurut, dia melakukan apa yang diperintah oleh Yolai.

"Sekarang, mulai!"

Mendapat aba-aba dari Yolai. Maka Nawasena pun bergerak. Dia harus menutup garis antara lawan dan dirinya dengan membawa pedang ke depan.

Dengan cara ini, pengguna pedang dapat melindungi diri dari serangan balik di menit-menit terakhir pertarungan.

Lalu Nawasena kembali melangkah lebih dekat ke depan Yolai. Pada saat yang sama, dia sedikit melangkah ke kanan. Dengan sedikit keluar dari arah garis serangan lawan.

Dia melakukan ini untuk menghindari serangan balik. Bagian terkahir dari sesi latihan adalah Nawasena menggerakkan pedang secara garis lurus hingga mengenai leher Yolai.

Metode ini menghalau serangan musuh yang ingin memberikan perlawanan.

"Cukup baik. Lo bisa melakukan ini lebih cepat, jika di pertarungan sesungguhnya."

"Thanks," balas Nawasena dengan perasaan lega. Sudah dua jam mereka berlatih dasar-dasar berpedang. Nawasena merasa jauh lebih berkembang daripada bersama Magma. Yolai mampu membaca kekurangan yang ia miliki.

"Gue mau tanya sesuatu," tukas Nawasena sambil mengusap bibirnya yang basah oleh air yang habis diteguk.

"Mengenai?"

"Di mana pasangan lo?"

Sekonyong-konyong, Yolai menyemburkan air yang belum berhasil melewati tenggorokannya.

"Eh, itu. Gue belum menemukan yang cocok. Klan kita hanya bisa mencintai sekali seumur hidup. Gue belum menemukan betina yang cocok. Bagaimana dengan lo sendiri?"

Nawasena tersenyum tipis. Dia teringat pada gadis bernama Ai yang memiliki aroma permen karet yang serupa pada gadis yang menolongnya di parlemen.

"Binar mata lo menjawabnya," celutuk Yolai dengan tawa. "Dia pasti betina yang menawan. Lo enggak bakal bisa melupakannya."

"Dia menarik," jawab Nawasena. "Wanginya mengunggah."

Tanpa canggung. Yolai tertawa sambil memukul-mukul pundak Nawasena berulang kali. "Itu dia! Betina yang harus lo kawini. Jangan sampai menjadi milik orang lain. Rasa itu tidak akan datang seperti yang pertama."

Awalnya Nawasena ingin berkomentar mengenai pukulan tersebut. Tetapi, ia pikir itu hanya akan membuat Yolai terluka. "Bagaimana jika dia sudah ada yang memiliki?"

"Patah hati, apalagi? Itu sangat menakutkan. Sebaiknya pikirkan baik-baik, pada siapa hati ini berlabuh."

"Oke." Nawasena mendadak mendapatkan angin segar. Dia sangat berharap bisa membalas budi pada penolongnya. Jika memang mereka berjodoh. Takdir pasti akan mempertemukan mereka kembali, bila tidak. Nawasena harus bersiap patah hati.

"Yolai! Lo di sini! Ada kabar buruk!" Seorang laki-laki berlari panik pada Yolai dan Nawasena yang sedang duduk di bawah pohon.

"Seluruh portal di Jakarta telah tertutup." Dia berbicara dengan napas tersenggal-senggal. "Kita tidak bisa menyerang para sudra lagi."

Sesuatu yang mengejutkan, batin Nawasena. Hanya dalam sebulan lebih. Para Senopati berhasil mengatasi masalah tersebut.

"Tidak apa," sahut Yolai dengan tenang. "Kita masih terhubung dengan Senayan Express. Kemaharajaan tidak bisa melakukan sesuatu di sana. Perintahkan bagi anak buah kita untuk tetap mengawasi dan jangan melakukan tindakan gegabah."

"Siap, laksanakan!" Sosok itu pun kembali berlari pergi meninggalkan Yolai dan Nawasena yang termenung.

"Senayan Express?" ulang Nawasena.

"Yap, kereta sihir yang bisa membawa lo ke mana saja."

"Apa itu berada di peron 5/11?"

Yolai mengganguk. "Jika gue enggak salah. Senopati Eril mengatakan itu bisa membawa lo ke Abang lo,'kan?"

Nawasena mengganguk. Dia tidak bisa pergi sekarang. Terlalu berisiko, dia juga cemas. Apakah kabar mengenai dirinya telah sampai pada Raksa Auriga atau belum.

"Baiklah." Yolai bangkit dari bawah pohon. "Latihan hari ini selesai. Nanti malam, adalah malamnya. Sebaiknya lo tidak usah berkeliaran ke desa."

Alis Nawasena bertaut bingung. "Mengapa?"

"Ah, apa gue lupa bilang?" Yolai tertawa canggung. "Dalam kalender klan kita. Malam ini bulan purnama, ini adalah waktunya musim kawin. Bisa gawat kalau lo mengawini betina milik pejantan lain. Ya, kecuali lo mau memiliki lebih dari satu buat berkembang biak."

__//___/___
Tbc

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now