30

93 15 2
                                    

"Nawasena! Jangan mau!" teriak Yolai memperingatkan.

Kafin pun ikut menyuarakan pendapatnya. "Jangan dengarkan dia!"

Tetapi Nawasena sudah memiliki tekad bulat. Dia harus melakukan apa pun untuk menjadi bagian Sapta Syam dan tanpa ragu. Dia berjalan tertatih mendekati David.

Luka bakar di telapak kaki, sekuat tenaga Nawasena tahan untuk tidak merintih di depan wajah David yang tersenyum sinis. Dia tidak ingin terlihat lemah dengan luka seperti itu.

Tanpa ragu, Nawasena mulai berlutut dan membungkuk. Bibirnya bergerak pelan tetapi pasti untuk mengecup ujung sepatu David. Satu detik, dua detik, tiga detik. Kemudian baru ia mengangkat wajah.

Yolai kehilangan kata-kata. Kafin menutupi wajah, sedangkan pengikut Sapta Syam yang tersisa. Memiliki emosi yang tidak terbaca.

"Masih ada lagi?" Nada pertanyaan yang menantang terucap dari bibir Nawasena.

"Lo pikir hanya sampai di sini? Tidak semudah itu Ferguso. Gara-gara lo, gue menjadi cacat. Sekarang, gue ingin lo mengalami hal yang sama."

Tawa dari pengikut Sapta Syam bergema nyaring. Yolai sudah mengeram. Siap menerjang David, jika tidak ditahan oleh Kafin.

"Lo pantas untuk itu," ujar Nawasena tanpa merubah emosi di wajahnya. "Kalau kalian tidak membantu para Ahool menyerang Sudra. Hidup gue enggak akan seperti ini."

"Brengsek!"

Tidak menggunakan kaditula. Nawasena dan David saling mencekik leher masing-masing dengan satu tangan. Semakin kuat David menekan, jalur napas Nawasena semakin sesak. Lalu sesuatu menusuk kulitnya.

Ada sensasi asing yang menjalar di peredaran Nawasena. Buru-buru, Nawasena menarik tangannya dari leher David dan melangkah mundur.

"Tucca hanya akan melakukan keonaran. Kebetulan, hari ini gue sedang bosan. Melihat lo mati pelan-pelan dalam tiga menit ke depan adalah hal yang menyenangkan."

Kafin sudah tidak bisa tinggal diam. Dia berpindah cepat ke sisi Nawasena dan membawanya menjauh. Tentu saja, David tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja. Bibirnya bergerak lirih.

"Anjana Buntala."

Sekonyong-konyong, muncul puluhan tombak yang membentuk pasak-pasak guna mengurung Kafin dan Nawasena di dalamnya.

Setahun lalu, David mempelajari satu hal dari pertarungannya bersama Nawasena. Dia tidak bisa mengandalkan otot, jika harus bertarung. Nawasena punya emosi yang bisa memancingnya bertindak liar dan menyebalkan.

"Aish! Gue benci mantra." Kafin pun mengumpat kesal. "Dasar mantra sialan!"

Nawasena seperti tersadar sesuatu. Tetapi, itu bisa dipikirkan nanti. Sekarang rasanya ia mulai kesulitan bernapas. Indranya menjadi kacau. Dia kesal, karena setangguh apa pun ia berlatih. Dia masih kalah hanya dengan mantra dan ramuan sihir.

"Berikan penawarnya!" bentak Kafin. "Atau lo bakal gue kirim ke alam baka."

"Lo pikir gue takut?" Tantang David pongah. "Sini! Maju kalau berani."

Kafin mengumpat dengan sumpah serapah. Dia tidak bisa meninggalkan Nawasena sendirian. Tucca itu akan sekarat. Yap, sekarat. Nawasena tidak bisa mati begitu saja. Jantungnya berada di tangan Eril. Artinya hidup dan mati Nawasena hanya ada di tangan Eril.

"Lo baik-baik saja?" tukas Kafin cemas. "Kita enggak akan bisa menang. Harusnya, lo atau Yolai belajar mantra."

"Lo adalah Lembuswana. Seharusnya lo bisa."

The Heroes Bhayangkara On viuen les histories. Descobreix ara