35

89 15 4
                                    

Sementara Nawasena dibuat menunggu di Jakarta. Kafin terbang jauh ke arah kemaharajaam hutan Kalimantan. Tentu, jika kau berpikir hanya ada satu kemaharajaan. Kau salah besar.

Setiap pulau di Nusantara, mewakili satu wilayah kemaharajaan dan seperti Indonesia yang menjadikan Jakarta sebagai Ibukota negara. Maka, seluruh kemaharajaan pun menjadikan Jakarta sebagai pusat wilayah kemaharajaan.

Panglima Burung memiliki jabatan yang serupa dengan para Senopati Ibukota. Mereka terdiri dari enam orang berpengaruh yang menjaga kemaharajaan Kalimantan.

Dalam wujud Lembuswana, Kafin terbang melewati rimbunnya hutan kemaharajaan. Bahkan dia tidak berniat mampir di kedaton Kalimantan. Melewati hikuk-pikuk ibukota dan pasar raya yang menjadi ikon paling tersibuk. Beberapa kapal kayu dengan layar besar berbaris rapi di tepi dermaga sungai. Kafin sempat melirik sekilas ke arah perairan tersebut. Sedikit jauh dari sana. Memperhatikan sesuatu bergerak di bawah air. Namun, tidak ambil pusing.

Perjalanan panjang itu pun terhenti. Kafin kembali ke wujud manusianya. Matanya yang berwarna emas, tertuju pada lingkaran batu putih kecil yang berada di bawah pohon mangga kasturi di tengah hutan.

Buah ini memiliki ciri khas berupa ukuran kecil, umumnya panjang buah hanya sekitar 5 cm dan beratnya sekitar 65 gram. Kulit buahnya lebih tipis dan berwarna hijau terang dengan bintik-bintik gelap yang berubah menjadi kehitaman saat masak. Daging buahnya berwarna oranye gelap dan rasanya cenderung lebih manis serta aromanya begitu harum.

Kafin pun memetik satu buah tersebut. Lalu meletakkannya di tengah-tengah lingkaran batu putih. Kedua tangannya mengatup seperti orang berdoa dan ia mulai membisikkan sesuatu.

"Anjali Kinorikatan."

Anjali Kinorikatan merupakan mantra berkomunikasi panglima burung dengan orang yang mengenalnya. Hal terbaik dari Kafin, walau ia benci belajar mantra. Namun, ia tetap melakukan hal itu dengan baik.

Sedetik berlalu. Tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang. Angin berembus sejuk di bawah matahari siang. Kendati demikian, bayangan pepohonan yang rapat, cukup membuat Kafin merasa teduh.

"Seekor Lembuswana, melakukan perjalanan jauh di siang bolong. Mari kita lihat, seingatku lo itu tersegel Kafin."

Angin kembali berembus, membawa wewangian buah segar. Wujud Panglima Burung masih belum terlihat. Namun, keberadaannya cukup jelas terasa.

"Kay, gue butuh bantuan," balas Kafin tanpa menjawab pertanyaan Panglima Burung.

"Lo belum menjawab pertanyaan gue." Kay berujar kesal. "Apa yang terjadi? Mengapa lo bisa ada di sini. Siapa yang membebaskan lo?"

"Seorang Tucca dan ini ada hubungannya."

Pernyataan tersebut membuat alis Kay bertaut bingung sekaligus penasaran. "Kafin, jangan terlibat lagi dengan para sudra dan sebangsanya. Terakhir kali lo tersegel karena itu. Untuk apa berkorban untuk orang lain, tapi orang tersebut malah tidak berpaling untuk terima kasih? Gue dengan senang hati akan memukul kepala lo itu."

Emosi di wajah Kafin berubah-ubah. Tetapi ia dengan lugas mempertahankan ekspresi terbaiknya.

"Lo bisa bantu gue atau tidak?" Dan mulai dari sini, Kafin menjelaskan semua yang terjadi. Setelah mendengar semuanya. Kay masih tidak ingin menampakkan diri pada Kafin.

"Pertanyaannya. Mengapa gue harus terlibat dengan antek-antek Sapta Syam?" ujar Kay dengan nada perhitungan. "Apa untungnya gue membantu kalian? Soal Ahool-ahool itu, sungguh ironi kalau mereka kecolongan. Ya, para Senopati hanya bocah kemarin sore. Tidak heran, jika itu terjadi."

"Menolong orang lain, tidak perlu alasan," jawab Kafin dengan kalem.
"Selagi kita mengharapkan imbalan, itu bukan pertolongan. Namun transaksi."

"Dan gue menyukai transaksi Kafin. Gue harap lo membawa sesuatu yang berguna."

"Gue tidak bawa apa-apa. Tapi, lo minta apa?"

Sejenak, Kay terdiam memikirkan tawaran tersebut. Sejauh ini, segala hal yang ia butuhkan sudah terpenuhi. Dia tidak membutuhkan apa pun. Kecuali, sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan.

"Cepatlah Kay. Gue tidak bisa pergi terlalu lama meninggalkan Nawasena." Kafin mendesak.

"Ck, lo ini yang butuh gue. Mengapa juga gue yang didesak? Tadi lo bilang Nawasena adalah keturunan bangsawan Auriga. Jika seperti itu, gue ingin menjalin ikatan dengan keluarga tersebut. Nawasena Auriga harus membagi sedikit kemampuan garis keturunan mereka kepada gue."

"Lo yakin?" Kafin memastikan. "Itu artinya kalian akan saling terikat."

"Tidak jadi masalah. Gue untung dan kalian untung."

Kafin rasa, itu penawaran terbaik. Percakapan itu membawa hasil terbaik. Kay pergi meninggalkan sebotol minyak bintang di tengah lingkaran batu-batu putih. Menggantikan posisi buah mangga kasturi yang sebelumnya.

Sialnya, dalam perjalanan pulang menuju kemaharajaan Jawa. Kafin mendadak dicegat oleh beberapa wanita dengan organ tubuh menggantung di udara.

"Serahkan minyak bintang itu," ancam salah satu kuyang dengan memamerkan wajah yang menyeringai lebar.

"Minggir Nona-nona. Gue tidak punya urusan dengan kalian."

Tetapi percuma saja. Para Kuyang tidak akan membiarkan Kafin pergi begitu saja. Mereka berjumlah lima orang. Mereka terbang mengelilingi Kafin dan makin mendekati Kafin untuk melakukan penyerangan. Dan memang mereka melakukannya. Semburan darah berbau amis hampir mengenai Kafin, jika dia tidak menghindar.

"Wah! Pangeran?!" Kafin berseru bangga. Para Kuyang yang perhatiannya teralihkan, mencari-cari sosok pangeran yang disebut Kafin. Sialnya, Kafin memanfaatkan momen tersebut untuk kabur dan ketika Kafin berpikir dia berhasil. Sesuatu seakan tumpah dari langit dan membasahi tubuhnya.

Kafin kehilangan bentuk Lembuswananya. Ia jatuh ke bawah, menabrak beberapa dahan dan ranting pohon. Tubuhnya lecet dan terluka di mana-mana. Hingga ia jatuh dengan bunyi dentuman yang cukup keras di atas tanah.

Tawa beberapa Kuyang mengelilinginya. Rambut perak Kafin berubah semerah darah dan dia benci itu.

"Cepat geledah dia!" Salah satu kuyang memerintah dan perlahan-lahan. Para gadis itu kembali ke wujud manusia mereka.

Kafin tidak bisa bergerak. Darah Kuyang membuat seluruh tubuhnya mati rasa dan tidak bisa digerakkkan. Bahkan mengucapkan sepatah kata pun tidak bisa.

Kafin menggeleng. Minyak bintang pemberian Panglima Perang adalah hal yang berharga dan langka. Jika benda ini jatuh ke orang lain. Hubungan baik Kafin dan Kay akan putus. Kay tidak akan memberikan hal tersebut 2x, jika benda itu hilang.

Tetapi dia bisa apa. Para gadis dengan lancang meraba-raba tubuhnya. Bahkan beberapa di antara mereka sengaja berlama-lama menyentuh dada dan otot perut Kafin yang berbentuk roti sobek.

"Yeah! Kita dapat!" Seseorang mengangkat botol kaca seukuran jari telunjuk orang dewasa. Salah satu gadis yang lebih tua, maju ke depan dan meminta minyak bintang. Kafin menduga, dia adalah pemimpin di kelompok tersebut.

"Bagus." Dia tampak sangat puas. "Ini hari yang luar biasa. Ikat Lembuswana itu dan bawa dia. Makhluk ini terlalu tampan untuk dibiarkan saja."

"Gue ingin mencicipinya lebih dulu. Pria ini harus jadi yang pertama."

Sekujur badan Kafin bergidik ngeri. Dia tidak sudi membayangkan hal itu terjadi padanya. Kedua lengannya di apit paksa. Kafin berpikir keras, masih ada satu cara untuk selamat.

Dia memanggil angin. Awalnya embusan tersebut tampak sejuk. Lama-kelamaan semakin kuat. Fokus putarannya mengenai pemimpin kuyang tersebut. Kafin hampir berhasil menarik minyak bintang. Sebelum akhirnya, ia terlalu syok dan pingsan. Karena seseorang menyentuh pipinya dan mendaratkan bibirnya di pipi Kafin.


___///_____////
Tbc

The Heroes Bhayangkara Donde viven las historias. Descúbrelo ahora