10

156 27 2
                                    

Agha lengah dan kesempatan itu dimanfaatkan Yudha untuk membuat serangan balasan. Ia menendang perut Agha sangat kuat hingga pria tersebut terpental jauh menabrak meja dan kursi.

Kini, semua orang bisa melihat. Bagaimana bentuk mata kiri Nawasena. Pupilnya hitam pekat dan warna merah di sekitar pelupuk mata. Tatapan bengis khas seorang monster terpancar dari mata tersebut.

"M-monster." Reno tergagap. Instingnya benar, bahwa ada yang mencurigakan.

Sementara itu, Yudha sudah bersiap untuk menghabisi Nawasena dengan menghunuskan Kaditula. Agha yang mencoba bangkit, serentak di kepung oleh para prajurit bhayangkara dengan berdiri mengelilinginya.

Sesuatu tiba-tiba melesat dan Yudha dengan tangkas menangkis anak panah yang diluncurkan oleh Arya. Entah dari mana keberanian itu muncul. Namun, dengkul Arya seperti ingin copot. Tatkala, Yudha memberikannya tatapan peringatan.

Tanpa bisa dicegah, semua orang tersentak dan nyaris menahan napas. Darah perlahan merembes dari dada Nawasena dan jatuh menetes di atas lantai. Ya, Kaditula Yudha dalam sedetik sudah berpindah dan menembus dada Nawasena.

Nawasena yang tercekat, memuntahkan darah dari mulut. Dadanya terasa sakit, sesak dan terbakar. Dia sangat syok, bahwa kematian begitu mengerikan. Melihat Nawasena yang sekarat, Yudha segera merapal sebuah mantra yang membuat seluruh tubuh Nawasena diselimuti semacam kabut tipis.

"Ayo pergi," titah Yudha pada anak buahnya. Dia lalu mengeluarkan selembar daun berwarna keemasan dan meletakkannya di atas meja. "Uang ganti rugi," ucapnya pada Agha tanpa berpaling. Lalu beranjak keluar dengan menyeret Nawasena di belakangnya.

Magma dan Arya hanya bisa berdiam diri di tempat. Keduanya tidak berkutik. Yudha bukan lawan yang sepadan bagi mereka. Para pengunjung cafe pun mulai ikut membubarkan diri. Mereka sadar, Agha tidak akan ramah melayani mereka setelah kejadian ini. Mereka juga bertanya-tanya, mengapa Agha begitu niat mempertahankan seorang Tucca rendahan seperti Nawasena.

"Ada ide?" seru Magma saat Agha sudah beranjak bangun.

"Tidak ada."

"Master," lirih Arya. "Sebenarnya, mengapa kita harus begitu melindungi Nawasena? Bukankah, sudah banyak kasus seperti ini? Tapi, tidak ada yang dibiarkan hidup."

Agha menghela napas. "Ada sesuatu dalam diri Nawasena yang sangat misterius. Kaditula yang ia miliki adalah petunjuk."

"Kaditula terkutuk itu," gumam Arya.

"Ya, tapi alasan benda itu berada di Nawasena masih misteri. Alasan kita menahan Nawasena, adalah untuk menyelidikinya."

Ketiganya saling memandang. Tidak ada yang bisa dilakukan sekarang. Tetapi, apa pun yang terjadi. Mereka akan membawa pulang Nawasena, tidak peduli risiko apa yang akan dihadapi. Magma dan Agha saling memandang dengan isyarat yang hanya mereka berdua pahami.

...

Di lain pihak, Nawasena di bawah ke  sebuah gedung terbengkalai. Tempat itu diperuntukkan untuk membunuh semua Tucca tanpa terendus para Sudra. Tetapi, bukannya langsung menghabisi Nawasena. Yudha berniat menyelidiki identitas pria tersebut lebih lanjut.

"Tuan, apa kita akan membiarkannya hidup?" tanya Reno yang sudah sangat semangat menghabisi Nawasena. Dendamnya untuk membalas Nawasena menggebu-gebu. Dia merasa dipermalukan oleh pukulan Nawasena yang sebelumnya.

"Tunggu sebentar. Gue sangat mengenal Agha dan anggotanya. Mereka pasti punya alasan mempertahankan makhluk ini."

Tangan Yudha pun terulur untuk memeriksa mata kiri Nawasena. Perubahan setengah bagian itu sangat memancing rasa penasarannya.

Ketika dia menyentuh dan melihat lebih dalam dengan kemampuan sihirnya. Hal pertama yang terlihat adalah kegelapan  pekat. Lalu bayang-bayang makhluk bertaring yang tengah memamerkan gigi-giginya.

Tanpa mempedulikan ancaman tersebut. Yudha semakin jauh menembus alam bawah sadar Nawasena. Hawa binatang buas dan liar sangat kental terasa. Sepasang mata merah berpindah-pindah tempat dalam kegelapan. Mengintai Yudha untuk menerkamnya kapan saja.

"Tunjukkan dirimu," seru Yudha dengan nada menantang. Saat ia berbalik, sesosok Ahool terbang dengan cakar yang siap mencabik buruannya. Dengan cepat, Kaditula Yudha berhasil menangkis makhluk tersebut.

Melawan Ahool, bukan sesuatu yang Yudha banggakan. Dia ingin menyelidiki lebih dalam. Tetapi, ia sadar. Makhluk yang bersarang di tubuh Nawasena tidak akan membiarkannya begitu saja.

Dia juga tidak bisa gegabah membunuh Nawasena, karena jika itu terjadi. Dia tidak akan pernah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

Yudha mendesak, dia menaikkan sedikit tekanan keberadaannya. Lalu cahaya biru perlahan berkilau di bawah sol sepatu yang Yudha kenakan.

Di ujung jalan, sesuatu berkedip-kedip. Yudha menoleh ke belakang dan Ahool yang mendiami jiwa Nawasena masih diam di tempat.

Yudha memiliki insting bahwa makhluk itu tidak berani mendekati objek yang ada di depan mereka. Untuk memastikan rasa penasarannya. Ia pun melangkah ke depan dan bersamaan dengan itu. Dirinya terpental keluar dari alam bawah sadar Nawasena.

Yudha membuka mata dan ia terdesak oleh Nawasena yang mencekik lehernya. Ekspresi pemuda itu begitu sangar dan liar. Gigi- giginya sedikit berubah tajam dan air liur menetes-netes dari mulutnya.

Reno dan anak buahnya berusaha melepaskan tangan Nawasena. Tetapi cengkramannya terlalu kuat. Semakin mereka menarik paksa tangan Nawasena, maka semakin kuat pula pria itu meremas leher Yudha.

Di detik-detik seperti itu. Seseorang dengan sengaja menghantamkan sebuah balok ke belakang kepala Nawasena hingga patah menjadi dua. Bukannya pingsan, Nawasena malah berbalik dan menyerang prajurit yang melukainya.

Kesempatan itu segera dimanfaatkan Yudha untuk melumpuhkan Nawasena dengan membisikkan sebuah mantra, Anggasta. Sedetik kemudian, Nawasena roboh di atas lantai yang penuh tanah. Sekuat apa pun ia mencoba, sihir yang membelenggunya tidak bisa dilawan. Anggasta adalah mantra untuk mengikat tubuh seseorang.

"Ikat dia dan bawa ke markas," seru Yudha dengan napas tersenggal-senggal. "Jangan sampai kalian membunuhnya. Gue perlu makhluk ini hidup-hidup."

...

Entah berapa lama Nawasena tidak sadarkan diri. Saat terbangun, dia tercekat melihat kedua tangannya di rantai oleh besi yang di tanam di dinding berbaja. Cahaya lampu dari atas kepalanya adalah satu-satunya penerangan di tempat tersebut.

Bagian mulutnya pun dikerangkeng seperti moncong rubah. Sekuat tenaga, Nawasena mengeram untuk meminta tolong.

Dari balik dinding kaca hitam. Segelintir orang sedang berdiri menatap Nawasena. Salah satunya adalah Yudha.

"Bagaimana?" tanya Yudha pada rekan-rekannya. "Makhluk ini seharusnya kehilangan jati dirinya sebagai manusia setelah 1x24 jam terinfeksi. Tapi, kalian bisa melihatnya sendiri. Dia masih mempertahankan bentuk seorang manusia."

"Lo udah menyampaikan ini pada yang lain?" Salah seorang dari mereka bertanya.

"Belum," sahut Yudha. "Gue hanya mengabari kalian. Para Rakryan terlalu sibuk dan ini bukan kabar mendesak. Sebelum kita memberitahu mereka. Kita sendiri yang harus mengurus masalah ini."

"Kalau begitu, kita harus menghubungi Dewaguru. Dia adalah orang yang paling paham."

"Tapi." Rekan mereka yang lain turut menyanggah. "Menghubungi Dewaguru itu sangat sulit seperti menghadapi Sri Maharaja."

Sebagian mengganguk. Nawasena adalah fenomena yang langkah. Membiarkannya saja, juga sangat disayangkan.

"Dia Anomali yang pasif. Lebih baik lo memindahkannya di lembaga pengawasan. Sementara itu, kita harus mencari sarang para Ahool. Jumlah mereka bukan berkurang. Namun terus bertambah."

Tama, adalah salah satu dari lima Senopati di wilayah Jakarta. Jika Yudha di Jakarta Pusat, maka Tama di wilayah Jakarta Barat.

"Lo benar. " Yudha mencuri pandang menatap Nawasena. Mereka tidak bisa mengurus Nawasena terus-menerus. "Baiklah, sekarang tinggalkan dia. Akan gue kabari, jika ada informasi lebih lanjut."

___///___//___//___
Tbc

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now