16

108 25 1
                                    

Nawasena hanya bisa tersentak, menyadari tidak ada siapa-siapa di sana. Tetapi, perabotan yang rusak menjadi jawaban. Bahwa pertarungan tersebut benar-benar terjadi.

Dia lalu buru-buru berlari keluar mencari Magma. Bocah itu masih tetap di tempat dengan genangan darah yang membasahi seluruh pakaiannya. Tidak bergerak.

"Bocah!" panggil Nawasena. Namun tidak ada jawaban.

Nawasena kemudian menggendong Magma di punggung belakang dan berlari. Tujuan dalam benak Nawasena hanya satu. Dia harus segera mencari pertolongan dan membawa bocah itu ke rumah sakit.

Sepanjang berlari. Tidak ada seorang manusia yang terlihat. Pekikan Ahool pun terdengar dari jauh secara sayup. Angin malam berembus dingin. Nawasena linglung, dia kebingungan dalam menentukan arah. Namun, dia tetap berlari dan sesekali bersembunyi dari pandangan Ahool yang kebetulan melintas.

Monster-monster itu hanya berkumpul, jika ada manusia yang terlihat dan sekarang. Makhluk-makhluk ini sedang terbang di udara untuk mengawasi manusia bodoh yang kelewat percaya diri untuk keluar rumah.

"Sial!" Nawasena mencibir kesal dari balik bayangan pohon. Dia mengintip jalanan di sebrang dan Ahool yang terbang di atas kepalanya. Mustahil untuk tidak terlihat Ahool. Mereka punya penglihatan yang sangat tajam.

Sejenak, Nawasena merenung. Apa pun yang terjadi. Dia harus menyelamatkan Magma dan Nawasena memilih mengambil risiko. Dia berlari sambil menggendong Magma dengan sangat kuat. Nawasena akan bersiap dengan segala kemungkinan.

Maka, sesuai prediksinya. Insting berburu seekor Ahool pun terpanggil.
Mata merah mereka yang tajam. Menoleh cepat ke arah buruan.

Menyadari suara pemangsa dari arah belakang, Nawasena semakin mempercepat langkah kakinya. Sayang, belum juga tiba. Seekor Ahool membuat Nawasena tersandung dan jatuh mencium aspal jalan.

"Gggrrr!" Nawasena berpaling, mengeram dengan nada penuh ancaman pada Ahool yang terbang mengelilinginya. Mereka bersiap, menyerang Nawasena dalam satu kali aksi. Seolah dengan sengaja memberikan jeda untuk mengucapkan salam perpisahan.

Sesaat, para Ahool seperti tersentak. Binar mata mereka terbelalak oleh sorot mata Nawasena.

Pemuda Tucca itu sedang mencoba merangkak di atas aspal. Lalu bangkit untuk menggendong Magma kembali di punggung. Tatapan matanya yang buas masih mengawasi sekitar.

Tetap di sini! Atau gue akan mencabik kalian sampai kematian bukan hal yang terburuk.

Seolah mendapatkan ultimatum. Para Ahool mematung, lalu mengganguk takzim. Tidak ada yang berani mendekat atau melukai Nawasena dan Magma. Wajah bertaring yang sedang terbang itu, terlihat begitu ketakutan.

Menyadari bahwa Ahool tidak akan mengusiknya dengan Magma. Nawasena pun kembali berlari. Ia hanya mengandalkan insting demi mencari pertolongan. Nawasena sangat berharap, dapat menjumpai siapa pun yang bisa menolong.

Nawasena tidak tahu. Tetapi dia sadar. Ada perubahan yang cukup berbeda pada tubuhnya. Memang tidak terlalu signifikan. Namun cukup mempengaruhi pikirannya.

Selain kemampuan menatap sebuah objek sampai skala lebih kecil, intitusi  dan perasaan yang peka. Indra penciumannya mendadak tajam untuk mengendus berbagai bau.

Salah satu bau menuntun Nawasena
melintasi ruko-ruko yang tertutup, lintasan halte Trans Jakarta dan rambu lalu-lintas yang tetap beroperasi tanpa kendaraan.

Di ujung jalan, beberapa mobil militer sedang terpakir di bawah lampu jalan. Senyum Nawasena pun merekah tanpa sadar. Lalu langkah kakinya tiba-tiba berhenti. Setelah merasakan tangan Magma yang mencengkram pakaiannya dengan sangat kuat.

"J- Jangan ke sana." Suara Magma yang lirih, nyaris tidak terdengar. Sesaat, salah satu tentara menoleh. Bayangan Nawasena yang sedang mengendong Magma hilang dalam sekejap. Dan keberadaan kedua orang ini sudah kembali di Master Cafe.

...

Semalaman, Nawasena tidak bisa tidur. Ia duduk gelisah menemani Magma yang terlelap setelah berhasil setengah sadar dan membawa Nawasena terleportasi pulang ke Master Cafe.

Nawasena duduk gelisah. Sesekali menggigit kuku jari tangan. Selama menunggu Magma dirawat. Nawasena merasa ketakutan pada dirinya sendiri.

Tidak! Gue enggak akan berubah jadi monster. Pasti ada yang salah. Itu kekuatan seorang Anomali.

Nawasena melirik Magma. Dia perlu mengkonfirmasi pikirannya. Tetapi, Nawasena justru takut akan kebenarannya. Dia lalu tersenyum tipis. Tatkala, memikirkan kembali. Bagaimana para Ahool seolah mengerti apa yang ia ucapkan dan patuh pada perintah yang ia tinggalkan.

"Tidak!" Nawasena tanpa sadar berdiri. Gayatri yang kebetulan masuk ke dalam kamar. Mengerutkan alis menatap Nawasena.

"Lo kenapa?" tukas Gayatri sembari melangkah untuk memantau kondisi Magma. "Sebaiknya lo tidur. Coba lihat wajah lo di kaca. Mirip zombie."

"Gue baik-baik saja."

"Lo butuh istirahat, Nawa." Gayatri menegaskan. "Jika lo ingin tumbuh dan berkembang menjadi seorang Anomali. Lo butuh tidur dan makan. Ya, kecuali lo bukan ...,"

Bukan maksud Gayatri untuk mengusir Nawasena. Anehnya, pemuda itu sudah berjalan keluar dari kamar. Nawasena tidak tahan, bila disamakan dengan makhluk yang ia benci.

Dia lebih baik mendengarkan saran Gayatri. Daripada dianggap sejenis monster. Sepeninggal Nawasena, Magma pun perlahan-lahan membuka kelopak matanya.

"Tidak usah banyak bicara. Nawasena sudah menceritakannya," tukas Gayatri sebelum Magma membuka mulut.

"Kita bertemu pengikut Sapta Syam."

"Kabar buruk." Gayatri menyahut. "Beban kalian bertambah. Dua organisasi besar mengincar kalian. Tapi punya tujuan yang sama."

Magma terkekeh. Tidak ada raut ketakutan dari wajahnya. Dia malah makin nyengir lebar.

"Magma memang udah mencurigai tempat itu. Tapi, Magma enggak bisa langsung melabraknya langsung atau melapor pada kalian."

Alis Gayatri naik satu. "Jangan bilang ... lo menggunakan umpan untuk memancing." Gayatri melirik ke arah pintu. Lalu dengan suara agak berbisik. Dia pun melanjutkan. "Lo serius? Menggunakan Nawasena sebagai umpan?"

Magma pun mengganguk. "Itu bagian dari sesi latihan. Latihan biasa tidak akan membantu. Nawasena harus didesak pada kondisi tertentu. Poin hebatnya. Dia cukup berkembang dan ... kekuatan Tucca yang mendominasi."

Magma terdiam. Dia masih ingat dengan jelas. Bagaimana Nawasena memerintah para Ahool untuk tidak menggangunya dan makhluk-makhluk itu pun menurut dengan patuh. Magma tidak tahu, apakah ini hal yang bagus atau tidak.
Mengingat, Nawasena sendiri tidak sudi menerima darah tersebut dalam dirinya.

"Selagi kalian pergi. Agha pergi memeriksa sesuatu."

Lamunan Magma buyar. Ia kembali mengalihkan tatapan pada Gayatri.

"Nawasena adalah garis keturunan Auriga. Dia punya seorang kakak laki-laki yang sangat kita kenali di dunia Anomali." Gaya menghela napas berat. "Gue syok waktu tahu ini. Raksa Auriga dan Nawasena memiliki jenis rekam aura sihir yang sama. Tidak heran, jika Raksa memang menutupi kekuatan Nawasena."

Magma tidak berkomentar banyak. Tak ada ekspresi pada wajahnya. Sorot mata Magma tampak tenang. Seolah-olah, dia tidak terusik dengan informasi ini sama sekali.

"Abad ini benar-benar kacau. Gue enggak bisa membayangkan jika kedua saudara itu mengetahui apa yang terjadi. Pikir lo, ini akan baik-baik saja menyembunyikannya dari Nawasena?"

"Tentu saja," sahut Magma. "Itu masalah keluarga. Biarkan Nawasena tahu dari kakaknya sendiri. Kita tidak perlu ikut campur. Kecuali ...,"

"Kecuali?" ulang Gayatri dengan nada penasaran.

"Jika dia bersikap sesuai kemaharajaan. Maka kita akan melawan Raksa Auriga. Sama halnya dengan melawan para Senopati."

___//___/__//
Tbc

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang