38

90 13 0
                                    

Yudha mengumpat kesal. Mereka kembali kecolongan. Seakan musuh sengaja memberi jeda waktu untuk membuat mereka merasa santai selama setahun. Namun, teror tidak lagi tercipta di malam hari.

Di siang bolong. Jalanan macet oleh mobil-mobil yang saling menabrak. Orang-orang memilih berlari keluar dari mobil dan pergi menuju bangunan terdekat demi berlindung.

Para Orang Bati dengan beringgas melompat ke kap mobil. Kemudian menghancurkan kaca depan dengan kepalan tangan. Pengemudi yang terlambat kabur hanya bisa berteriak histeris, tatkala tangan-tangan Orang Bati melukai mereka.

Tidak hanya sampai di situ saja, orang-orang yang sekarat mendadak bangkit dengan bola mata berwarna putih.

Beberapa kilatan hitam, hilir mudik dari satu titik ke titik lain. Para Senopati tidak bisa menggunakan sihir terang-terangan di depan petugas keamanan yang berjaga. Situasi menjadi lebih merepotkan.

"Eril! Apa lo tahu sesuatu?" seru Javas yang sibuk mencekik leher seekor Ahool hingga tewas. Tangannya yang lain menghantam telak Orang Bati yang menyerang dari arah belakang.

"Aliansi," sahut Eril dengan lirikan mata. Dia sendiri sibuk menebas setiap kepala Ahool yang mencoba mengigitnya. "Nawasena mungkin terlibat dan orang-orang ini terkena teluh."

"Membicarakan bocah itu lagi," umpat Javas tidak suka. Dia berlari ke salah satu mobil. Mendekati dua wanita yang sedang bersembunyi dengan panik di belakang sebuah sedan. "Jangan sembunyi di sini. Kalian bisa terluka. Ikut gue."

Setelah mengatakan itu, Eril muncul dan melindungi dari belakang. Seorang Bati, tiba-tiba melompat keluar dari balik pohon di trotoar. Serangan tersebut, berhasil melukai lengan Javas. Akan tetapi, seperti cairan panas yang mendesis. Luka tersebut kembali tertutupi.

"S-Siapa kalian?" seru salah satu wanita. Dia cukup syok melihat fenomena tersebut. Javas tidak ingin menjawab. Sebagai gantinya. Eril menarik tangan wanita tersebut sambil berbisik.

"Anjana Amaya."

Sebuah mantra ilusi untuk memperdaya ingatan orang lain. Di mantra itu, Eril memanipulasi pikiran keduanya dan menuntun mereka pada salah satu petugas keamanan yang berjaga sambil mengawasi dari jauh.

Tiba-tiba, Eril menengadah menatap langit. Dari arah barat, datang sekumpulan awan kulomunimbus. Udara mendadak dingin dan angin berembus kencang.

Di lain tempat. Beberapa orang berdecak kesal melihat perubahan cuaca. Tetapi tidak dengan para Ahool dan Orang Bati. Langit yang menggelap, seolah menambah pasokan energi mereka. Rangkaian perusakan dan penyerangan terus terjadi. Petugas keamanan terpaksa mundur dan bersembunyi di dalam mobil anti peluru. Sampai kapan pun, senjata mereka tidak akan bisa melukai Ahool dan Orang Bati.

Dalam batin, Eril merasakan adanya panggilan di satu titik. Setibanya di titik pertemuan, dia mendapati Yudha bersama seorang wanita berambut merah jambu yang menatapnya cemas.

"Kurang Javas," kata Astrid. Wanita pertama yang menjabat sebagai seorang Senopati di wilayah Jakarta Utara.

"Dia sibuk," balas Eril sambil menyeka peluh dengan punggung tangan. Lalu melirik ke arah pasukan bhayangkara yang masih sibuk di beberapa titik. Jumlah mereka cukup untuk menjaga keadaan.

"Gue dapat kabar," seru Astrid sambil menatap Yudha dan Eril. "Kalau sekeliling Jakarta dipasang tirai pelindung. Bantuan dari luar tidak akan bisa datang dan kita tidak bisa kabur."

"Apa maksudnya? Lo pikir, kita bakal kabur begitu? Lalu apa fungsinya para Senopati yang menjaga Jakata?"

Kedatangan Javas yang mendadak dan kalimatnya yang provokasi, membuat Yudha memutar bola mata malas. "Bukan itu. Biarkan Astrid berbicara."

"Kalau begitu cepat," balas Javas tidak sabaran. "Ini bukan waktunya untuk mengobrol. Aliran udara di sini terasa membusuk."

"Ini bisa saja pengalih perhatian." Astrid menjelaskan. "Beberapa portal yang dulu dihancurkan, kembali di selidiki. Tapi, tim penyidik tidak menemukan sesuatu. Kami curiga, ada jalan lain yang tidak terdeteksi. Sialnya, beberapa mantra pelindung tidak bekerja. Para Sudra tidak bisa disihir. Ini terjadi pada mantra dasar hingga menengah. Beberapa mantra tingkat menengah atas hingga tinggi masih bekerja dengan baik."

"Situasi ini jauh lebih buruk dari tahun kemarin." Semua sependapat dengan ucapan Eril. "Gue jadi kepikiran. Tahun lalu, mereka hanya sedang melakukan uji coba."

"Jadi sekarang ap—?" sela Yudha dengan kalimat yang putus. Semua orang, mendadak, terhempas ke segala arah. Debu pun berterbangan ke udara. Akibat aspal jalan yang hancur.

Astrid sampai terbatuk-batuk. Dia menajamkan pandangan pada sekitar. Debu masih menutupi jarak pandang. Lalu dia merasa sesuatu bergerak mengelilinginya. Dengan sebuah kipas lipat, Astrid melempar benda itu menembus lautan debu. Sedetik kemudian, benda itu kembali berada di tangannya.

"Eril? Javas? Yudha?" panggil Astrid pada ketiganya sambil membekap mulut dan hidung. Nihil, tidak ada sahutan. Debu masih terus mengurungnya dan bertambah pekat.

"Siapa?" Sesuatu kembali berkelebat. Tangan kiri Astrid memunculkan sebilah kaditula emas dengan permata delima di bagian ganggang.

Sekonyong-konyong, seseorang mendorongnya dari belakang dan Astrid hampir terjengkal. Si Penyerang masih belum menampakkan diri. Astrid tahu, lawannya ini sedang mempermainkannya.

Sekelebat bayangan kembali tertangkap mata Astrid. Sulit bagi Astrid untuk menebak pelaku dalam lingkungan seperti ini. Sayup-sayup,
terdengar tawa anak kecil yang saling bersahutan.

"Keluar! Ini bukan waktunya bermain petak umpet!"

Tidak ada yang menyahut. Tawa itu semakin bergema dan terus mengelilingi Astrid. Dia tidak bisa sembarang merapal mantra. Membaca mantra membutuhkan cakra dan dia butuh banyak cakra selama pertarungan.

Di tengah pikirannya tersebut. Astrid memekik keras sambil terlonjak dan menusuk sesuatu yang melingkar di kaki kanannya. Anehnya, saat ia menengok ke bawah. Tidak ada apa pun. Akan tetapi, kaditulanya malah bersimbah darah.

"Sial!"

Astrid tahu, dia harus bergerak dan menghilangkan debu yang menyelimuti udara. Selangkah demi selangkah ke depan. Astrid mengawasi sekitar. Lalu, tiba-tiba dia terdorong oleh embusan angin hingga terseret dan kepalanya membentur pintu mobil.

Ada rasa sakit luar biasa yang menyerang pinggulnya. Dia tidak bisa berdiri. Sesuatu menusuk dari dalam dan itu merobek epidermis kulit luar. Cairan beraroma besi karat menguar ke udara.

Puluhan mata-mata merah muncul dari dalam debu yang bersikap seperti asap. Astrid sendiri merasa sinting membedakan debu yang menjadi asap atau sebaliknya.

Energi biru pun perlahan mengalir keluar menyelimuti tubuh Astrid. Itu adalah cakra yang berperan sebagai media penyembuhan, tipe sihir yang harus dimiliki para Senopati. Astrid sadar, menggunakannya sebanding dengan kehabisan tenaga.

Dia mulai duduk bersila sambil memejamkan mata. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Saat Astrid membuka mata. Dia bisa melihat segala sesuatu di sekitarnya dengan sangat terperinci.

Kelopak matanya sedikit berkedut, saat menyadari sekelompok anak Genderuwa menyeringai nakal padanya.

Seluruh tubuh anak-anak itu berwarna hitam, mulut mereka memiliki dua taring yang melengkung ke atas mirip babi hutan, sedangkan tubuhnya ditutup rambut lebat di sekujur tubuh.

"Ayo bermain," seru salah satu dari mereka. "Dihitung sampai tiga."

Astrid pun memasang kuda-kuda di kaki. Posisi badannya tegak ke depan dengan kaditula yang siap menebas.

"TIGA!"

Ledakan terdengar dari bawah kaki Astrid dan dia pun jatuh merosot ke bawah tanah.

_/__/___/_____///____
Tbc

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now