28

106 24 6
                                    

Nawasena tidak percaya. Apalagi mengingat apa yang terjadi setahun belakangan ini. Mustahil, jika Magma adalah Dewaguru.

Ujung Kaditula semakin menusuk ke dalam leher Nawasena. Bulir-bulir keringat mengalir turun di pelipisnya. Dia terpojok, tetapi belum untuk menyerah.

"Jadi," ucap Nawasena susah payah. "Apa yang kalian inginkan dari gue? Gue udah muak dengan semua yang terjadi."

"Bergabunglah bersama kami," ujar Magma tanpa mau menarik ujung kaditula dari leher Nawasena.

"Manfaatnya?" tantang Nawasena.

"Magma udah bilang sebelumnya, 'kan? Magma akan bertanggungjawab terhadap latihan berpedang Kakak."

"Jangan membodohi gue."

"Kakak ingin menyelamatkan Raksa Auriga, bukan begitu?" Mata Nawasena terbelalak. Magma memanfaatkan itu untuk menarik kaditulanya dari leher Nawasena. "Tujuan kami adalah menghancurkan kemaharajaan. Magma pikir, Kakak juga memiliki tujuan yang sama. Kakak adalah senjata rahasia kami. Apa Kakak tahu? Alasan darah campuran seperti Tucca harus dibunuh?"

Nawasena tidak menjawab. Kafin sedang berusaha menggunakan sihirnya mengobati pendarahan di leher Nawasena.

"Itu karena kekuatan dalam diri Kakak yang bisa jauh lebih besar dari seorang Anomali biasa," kata Magma lebih lanjut. "Kemaharajaan takut, orang-orang seperti itu akan melakukan pemberontakan."

"Magma memang menyebalkan dan bersikap di luar dugaan. Tapi, dia orang yang berada di pihak kita." Agha pun turut menimpali.

"Atau begini saja." Magma memberikan usulan. "Bergabunglah bersama kami untuk menghancurkan kemaharajaan. Setelah itu, Magma akan membebaskan Kakak dari kutukan Ahool. Walaupun Kakak tidak menyukainya. Darah Tucca bisa membantu Kakak menyelamatkan Raksa Auriga."

"Tidak." Nawasena menolak tegas. Dan itu membuat Magma dan yang lainnya cukup terkejut.

Sejak tahu, Nawasena akan pergi ke kemaharajaan. Magma sudah menempatkan mata-mata yang berjaga selama setahun di Stasiun Bendungan Hilir.

Mata-mata itu juga sudah mengkonfirmasi keberadaan dan urusan Nawasena di kemaharajaan.

"Gue punya pilihan sendiri. Gue akan bergabung bersama Sapta Syam."

Pernyataan Nawasena, tentu membuat Agha kehilangan kata-kata. Terlebih Magma yang tidak bisa memahami jalan pikiran Nawasena.

"Mereka musuh abadi semua orang," kata Magma memberitahu. "Apa Kakak tidak tahu? Mereka sumber kekacauan."

"Gue tahu apa yang gue inginkan. Dan berhentilah bersikap lo tahu segalanya bocah. Sekarang, lo ingin meruwat gue atau tidak? Karena entah sebagai Tucca atau Anomali biasa. Gue tetap akan menghancurkan kemaharajaan."

Magma menghela napas. Nawasena memang keras kepala. Dibujuk tidak mau, dipaksa pun akan memberontak. "Baiklah, bergabunglah dengan pengikut Sapta Syam. Tapi, Kakak juga harus bekerja sama dengan kami."

"Kalau gue enggak mau?"

"Magma punya penawaran menarik. Magma yakin, Kakak tidak akan menolak." Senyum di wajah Magma mengembang lebar dan tampak sangat menyebalkan bagi Nawasena. "Kaditula itu, kaditula yang memancarkan cahaya keunguan. Kekuatan bilah hitamnya masih tersegel. Salah satu keistimewaannya adalah, aura bilahnya bisa memberi rasa takut pada musuh. Kakak ingat? Ada alasan pedang itu disebut terkutuk."

Nawasena tahu, tidak ada seorang pun yang memiliki informasi soal kaditula tersebut. Yolai juga tidak tahu banyak. Dia hanya memberitahu Nawasena bahwa benda itu bisa membantunya lebih kuat. Tetapi, bagaimana caranya adalah hal yang tidak diketahui.

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now