20

106 23 6
                                    

Kaditula yang Nawasena pegang tampak bergetar. Rasa-rasanya dia ingin menghajar wajah Magma saat itu juga. Sayang, Nawasena masih memiliki belas kasih untuk tidak menganiaya si Bocah.

"Ahahah." Nawasena tertawa serak. "Jangan-jangan, kalianlah antagonis di cerita ini dan gue hanya pion yang dimanfaatkan."

Kafin sudah merentangkan sayapnya, siap melindungi Nawasena.

Tetap di dekat gue. Kafin berbisik. Tapi sebagai makhluk berakal dan punya adab. Setidaknya, gue perlu perkenalan yang resmi atas orang yang membebaskan gue dari segel.

Sejauh ini, Nawasena tidak pernah berpikir lebih jauh mengenai Kafin. Pertanyaan dasar yang harus ia utarakan sejak awal. Mengapa Kafin bisa tersegel?

Seolah bisa menebak apa yang dipikirkan Nawasena dari raut wajahnya. Kafin hanya mendengus geli.

Akan gue ceritakan nanti. Tapi tidak sekarang.

"Magma bingung memulai kisahnya," katanya. "Ini terserah sudut pandang, Kakak. Tapi untuk sekarang, pertemuan awal kita memang sebuah kebetulan belaka. Setelah pertemuan itulah, Magma mendekati Kakak karena menyadari sesuatu."

"Sesuatu apa?" desak Nawasena penuh ingin tahu.

"Tidak sekarang. Kakak harus menghabisi Ahool. Koloni mereka masih banyak."

"Lo tahu sarang mereka, 'kan? Mengapa kita tidak pergi ke salah satu nya? Tidak." Nawasena menggeleng. "Mari kita ke tempat—"

Sebuah anak panah, tiba-tiba melesat dan hampir mencederai kening Nawasena. Untung saja, Kafin bergerak cepat. Sehingga yang terlihat, justru benda itu hancur sebelum mengenai sasaran.

Sekelompok orang dengan hoodie merah, berdiri di sekeliling atap. Wajah-wajah itu tertutup oleh tudung yang mereka kenakan.

Nawasena punya firasat, bahwa ini adalah kesatria bhayangkara. Pemimpinnya tidak terlihat. Dia merenung, ini bukanlah orang-orang dari Yudha ataupun Javas. Entah, ada berapa Senopati di kemaharajaan. Nawasena tidak ingin bertemu salah satu dari mereka.

"Kakak," bisik Magma. "Jangan bertindak apa pun. Masalah yang tadi, kita tunda sebentar. Sekarang, percayakan ini pada Magma."

Nawasena tidak menyahut. Ia sudah terlihat malas berbicara dengan Magma.

"Rupanya benar. Ada seorang Tucca di sini."

Seorang pria dengan hoodie serupa. Mengambang di depan Magma dan Nawasena. Kehadirannya begitu tiba-tiba. Ia nyatanya melebur keluar dari dalam udara.

Saat pria itu tersenyum. Sepasang lesung pipi tampak di wajahnya. Perawakannya berbeda dari Javas yang kasar dan Yudha yang angkuh. Senopati satu ini, justru terlihat ramah. Tetapi Nawasena tidak yakin, topeng bisa menipu siapa pun.

"Lo Nawasena bukan?" Eril berujar. "Gue udah dengar kisah lo. Lo beruntung. Untuk saat ini, gue yang menjaga Jakarta. Yudha dan Javas sedang ditugaskan ke tempat lain."

"Nawasena milik kami." Magma berseru lantang. Di bawah kakinya, sudah berada sebuah bola sepak yang siap ditendang. Nawasena pernah bertanya-tanya, entah dari mana bola itu selalu muncul.

"Hm, gue Eril. Dan lo pasti Magma?" Eril tersenyum manis. "Kalian ini buronan."

"Dan Kakak akan menangkap kami?" tantang Magma. Alis Eril bertaut, dia tidak menduga. Bahwa bocah yang ada di hadapannya, salah satu pengacau di parlemen.

"Tidak." Eril memberi sebuah isyarat tangan ke udara dan semua anggota kesatria bhayangkara yang sebelumnya mengelilingi mereka. Perlahan-lahan, beranjak pergi.

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now