4

247 38 16
                                    

Tidak mudah untuk membopong pria seperti Nawasena. Dia berkali-kali memberontak, meraung dan merintih begitu pilu. Entah, seberapa sakit luka cakaran Ahool.

Master Cafe terpaksa ditutup dan para pengunjung diminta pulang lebih awal. Agha memasang lingkaran bercahaya kuning di bawah tubuh Nawasena. Lingkaran tersebut menciptakan medan magnet berbentuk kurungan transparan, agar Nawasena tidak bisa bergerak ke mana-mana.

Pasalnya, setiap menjerit, Nawasena akan mengamuk dan berusaha menghancurkan apa pun yang ada di sekitarnya.

"Lo bisa menolongnya?" tanya Magma pada Agha. Si pemilik Cafe yang sempat disinggung Magma sebelumnya.

Agha tidak menjawab. Dia hanya menatap Nawasena begitu serius. Seolah tengah memikirkan sesuatu.

"Ah, gue tahu." Magma menebak sesuatu dari wajah pria beralis tebal tersebut. "Kita perlu dukun itu. Ck, gue benci dengan dia. Tapi, dia pasti sibuk di saat seperti ini. Gayatri tidak akan sempat."

"Siapa yang tidak akan sempat mampir?"

Suara sinis seorang wanita mengalihkan atensi semua orang. Entah kapan, wanita itu muncul. Bahkan tidak terdengar suara bel dari balik pintu.

Gayatri menatap sekilas ke arah Nawasena yang masih meraung kesakitan. Dia sedikit berjongkok untuk melihat seksama.

"Ada beberapa orang yang mengalami hal serupa seperti ini." Gayatri menjelaskan. Tangannya menembus perisai yang dipasang Agha dan menyentuh kening Nawasena. Sejenak, pria tersebut seperti tak sadarkan diri.

"Dia harus segera diruwat. Tapi, sulit untuk membawa orang yang bisa meruwat ini sekarang. Cara tercepat adalah mencongkel mata pria ini. Melihat dia berteriak. Besar kemungkinan, kutukannya sudah menyebar."

Pelayan yang sedari tadi berdiri di samping Agha, sontak seperti ingin muntah. Gayatri terlalu frontal dalam kalimat-kalimatnya.

"Anak orang," tegur Magma. "Gue udah peringatkan dia dari awal. Tapi tetap aja keras kepala. Sekarang, malah jadi gini. Congkel aja dech. Biar dia enggak kesakitan."

"Dasar bocah," ngerutu Gayatri. "Tapi baiklah. Kita bisa melakukannya dengan cep—"

Tangan Gayatri seketika ditangkis kasar oleh Nawasena. Pria itu membuka mata dengan tatapan galak. "Gue mendengar semuanya. Kalian semua orang aneh."

Nawasena mencoba bangun. Sesekali meringis kesakitan. "Jangan harap, kalian bisa mencongkel mata gue."

"Beberapa makhluk mitologi meninggalkan kutukan bagi sebagian mangsanya dan lo salah satunya," ujar Gayatri. Wanita itu menarik diri menjauh dari Nawasena. "Lo seorang Anomali ya? Hmm, menarik."

"Sebenarnya apa yang terjadi?" keluh Nawasena. "Sihir, portal, perisai, makhluk mitologi, Kaditula, Sudra. Gue pasti sedang bermimpi."

Gayatri malah memutar bola mata malas. "Gini ya, mas Bro. Lo percaya sihir? Percaya makhluk mitologi? Nah, kalau lo percaya ini semua nyata. Tepat tengah malam kemarin, segel yang dipasang di gunung-gunung pada robek. Itu mengakibatkan sesuatu yang selama ini disembunyikan dan dianggap legenda atau dongeng bangkit dari tidur panjang mereka. Apa yang terjadi pada malam tahun baru adalah awal segalanya. Lo beruntung karena ada Magma."

Nawasena rasa wanita itu sudah gila. Sejak diserang Ahool. Bocah itu tidak pernah turun tangan membantunya, yang dia lakukan hanya menatap dari jauh seolah sedang menonton pertunjukan. Mengingat hal tersebut, emosi di dada Nawasena membuncah.

"Mustahil. Apa lo ingin gue percaya bahwa Timus Mas dan Jaka Tarub itu nyata?" sindir Nawasena sambil menahan rintihan.

"Kalau lo mau kenalan sama Calon Arang. Lo udah ketemu keturunannya sekarang." Gayatri menatap kesal. Lalu mengeluarkan sebuah tusuk sate dari balik rambutnya. Kemudian menatap Agha. "Congkel atau tidak? Bocah ini banyak bicara."

"Pergi!" Nawasena mendorong Gayatri, membuat wanita itu terjatuh ke lantai. Darah sudah membasahi seluruh wajah Nawasena. Tubuhnya pun berkeringat.

Agha dengan lengan kekarnya, menahan kepala Nawasena. "Diam bocah! Arya, siapkan ritual."

Pelayan yang dipanggil Arya itu pun mengganguk takzim, sedangkan Magma hanya tersenyum tipis. Nawasena berusaha melakukan perlawanan. Namun usahanya, sia-sia belaka. Kekuatan Agha jauh di atasnya. Dia tampak seperti pecundang, tatkala Agha mengubah posisi kepala Nawasena dari lengan ke bawah ketiaknya.

"Lepaskan gue! Kalian orang-orang gila! Jangan harap kalian bisa mencongkel mata gue! Akan gue laporkan organisasi sialan ini pada polisi dan membuat kalian viral di dunia maya."

Tidak ada yang peduli dengan ancaman Nawasena. Arya telah kembali dengan sebaskom air dengan beragam kelopak tuju rupa. Gayatri memutar tusuk satenya. Mendadak, benda tersebut berubah menjadi sebuah tombak kuning keemasan. Dia memainkan tombak tersebut seperti seorang mayoret.

"Tidak akan sakit kok." Gayatri tersenyum lebar. Dia mendekat ke arah Nawasena dengan ujung tombak. Tiba-tiba, Arya sudah menuang air dari dalam baskom dari atas kepala Nawasena.

Tubuh Nawasena kehilangan kendali. Dia roboh dan tidak bisa menggerakkan sendi-sendinya. Momentum tersebut di manfaatkan Arya untuk melepaskan perban dari mata Nawasena.

Begitu terlepas, semua orang dibuat tercengang. Netra mata Nawasena berubah semerah darah dan ada tanda rambatan mirip akar di sekitar mata kirinya.

Agha melemparkan tubuh Nawasena pada Arya. Lalu ia memaksa membuka kelopak mata Nawasena lebar-lebar. "Kutukannya sudah menyerap ke dalam."

"Hah?" Magma terbelalak. Dia merengek untuk melihat lebih dekat. Tetapi, Agha tidak menggubrisnya.

"Sial!" Gayatri mengumpat. "Ini akan susah. Kutukannya sudah menyebar. Kalian terlalu membuang-buang waktu."

"Jadi?" tanya Magma penasaran. "Langsung dibunuh?"

"Seharusnya," jawab Gayatri. "Tidak ada manusia yang bisa bertahan dengan kutukan dalam tubuhnya. Cepat atau lambat dia bakal mati. Jika dia tidak banyak bacot tadi. Dia hanya akan baik-baik saja. Tidak masalah kehilangan satu mata-"

"Brengsek!" maki Nawasena. Napasnya tersenggal-senggal. "Mudah sekali kalian berbicara seperti itu. Tidak ada seorang pun yang ingin cacat."

"Lepaskan dia," seru Agha. Arya menurut. Tubuh Nawasena, seketika ambruk dan terkapar tidak berdaya di atas lantai.

"Informasi apa yang lo dapatkan, Gayatri?" Agha mengabaikan Nawasena dan pemuda itu semakin merasa kesal.

"Sebagian situasi sudah diamankan. Tapi, kami belum bisa memastikan. Makhluk apa selain Ahool yang muncul. Ini masih hari pertama, akan ada banyak kejutan tidak terduga. Makhluk-makhluk itu akan mencari pemimpin mereka. Kita harus bergerak sebelum itu tiba."

Agha mengganguk. "Baiklah, sampaikan pada yang lain untuk tetap berjaga di tempat masing-masing. Setiap kutukan yang disebarkan, segera lenyapkan. Abad ini mungkin akan lebih buruk dari biasanya. Abad kekosongan bisa terjadi lagi."

Gayatri mengangguk. Dia memutar tombak dan benda itu kembali berubah menjadi tusuk sate. "Gue harus pergi. Ada banyak orang yang mendapatkan kutukan."

Gayatri mengatakannya sambil melirik kasian pada Nawasena. Kemudian, wanita itu pun lenyap di balik pintu.

Magma pun mencoba mendekati Nawasena. Efek siraman air kembang tadi masih melumpuhkan sendi-sendi Nawasena. "Mata lo parah."

"Menjauh dari gue."

"Lo lebih cocok menjadi Sudra daripada Anomali." Magma balik menggerutu.

"Magma," tegur Agha dari belakang. Bocah itu menoleh. "Tinggalkan dia. Lo bisa pergi. Serahkan sisanya pada gue. Pastikan, teman-teman lo masih tertidur."

Magma mengganguk. Lalu beranjak meninggalkan Nawasena.

___///___///___///___
Tbc

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now