19

113 21 10
                                    

"Kafin?" ulang Nawasena.

"Kakak mengapa bengong di sini?" tanya Magma yang mulai jengah dengan sikap Nawasena. Sedari tadi, dia tampak aneh. Tidak, bagi Magma. Dia biasanya memang aneh. Hanya saja, siang ini lebih aneh lagi.

"Lembuswana." Jari telunjuk Nawasena menunjuk Kafin. "Ada makhluk mitologi di sini."

Alis Magma bertaut pada udara kosong. "Siapa?"

"Lembuswana," ulang Nawasena. "Lo enggak lihat?"

Bocah menyebalkan itu tidak akan bisa melihat gue. Hanya lo yang bisa.

Nawasena kembali terbelalak menatap Kafin. "Maksud lo?

"Kakak ini bicara sama siapa sih?" sela Magma yang makin kesal dengan sikap Nawasena. "Sebaiknya kita bersiap sebelum senja. Kakak harus berlatih."

Nawasena belum sempat menjawab. Tetapi tangan Magma sudah menyeretnya untuk keluar. Di depan lobi, keduanya langsung melakukan teleportasi dan berpindah di atas sebuah bangunan Bank Mandiri yang berada di antara Deutsche Bank dan Hotel Mandarin Oriental and the City Tower.

"Arghhh!" Nawasena menjerit histeris melihat Kafin berdiri di dekatnya. "Kenapa lo bisa ikut gue?"

"Oke, yang kepalanya terbentur itu Magma. Tapi malah Kakak yang jadi orang bego. Sebenarnya, apa yang terjadi sih? Kakak lihat setan? Mustahil, enggak ada setan di sekitar sini."

"Lembuswana, makhluk ini ngikutin kita dari Plaza Senayan. Gue enggak bego! Gue melihatnya dengan jelas. Dia di sini!" Sekali lagi, Nawasena menunjuk udara kosong.

"Lembuswana?" ulang Magma.

"Ya! Lo bisa lihat?"

Magma menggeleng. Tampaknya dia menyadari sesuatu dari binar matanya yang menatap Nawasena penuh rasa ingin tahu.

"Dia berbicara dengan Kakak? Patung yang sebelumnya Kakak singgung?"

"Ya! Dia bilang, namanya Kafin."

Magma tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tentu saja, Kafin merasa sangat tersinggung. Dia  mengibaskan sayapnya agar embusan angin melemparkan Magma. Namun sayangnya, Magma berhasil menghindar dengan baik.

"Menarik," ujar Magma dengan tersenyum miring. "Kakak di bodohi, Kafin itu pasti bukan nama aslinya. Makhluk mitologi tidak akan pernah memberi nama asli mereka."

Seperti lo, balas Kafin. Lo juga makhluk mitologi. Gue bisa merasakannya dan gue juga penasaran, siapa nama lo sebenarnya? Seberapa keren, nama yang lo pilih dari gue? Kafin melirik Nawasena minta jawaban.

"Magma," ujar Nawasena. Entah menjawab pertanyaan Kafin atau memanggil bocah tersebut.

Sekarang, malah Kafin yang terkikik geli. Suaranya jauh lebih membahana dan berisik. Dan mulai detik ini, Nawasena merasa sial menyentuh makhluk tersebut.

"Apakah ada tahapan lain dari seorang Anomali? Mengapa gue bisa melihat Kafin dan lo tidak?"

Magma tidak punya jawabannya untuk saat ini. Dia hanya menatap udara kosong. "Soal itu, akan kita cari tahu. Sekarang, Kakak istirahat saja. Malam ini mungkin lebih berbahaya."

"Ya," balas Nawasena sewot. "Setidaknya lo enggak bawa gue ke tempat yang lo sebut pengikut Sapta Syam."

Magma tertawa. Tetapi dia mengganguk takzim. Lalu mulai duduk bersila sambil mengeluarkan susu kemasan dari dalam tas dan menatap ke arah bundaran HI yang penuh oleh lalu lalang kendaraan.

Berhati-hatilah, Manusia. Kafin berujar. Dia menyembunyikan sesuatu. Gue merasakan dia sangat berbahaya.

Alis Nawasena bertaut. "Lo bisa pergi dari sini."

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang