8

164 33 9
                                    

Mereka bertiga duduk melingkar di salah satu meja cafe. Sambil menunggu Agha datang membawa teh hangat. Isi kepala Nawasena sudah berkecamuk.

Dunia sudah tidak seperti yang ia kenal. Pertama, pesta tahun baru yang mengerikan. Ia berpisah dengan Cetta yang sampai sekarang tidak diketahui kabarnya. Seluruh tubuhnya juga penuh luka dan yang paling fatal. Luka cakaran di pelupuk matanya. Semua ini mejungkir balikkan kehidupan Nawasena.

Dia merasa seperti berubah menjadi seorang mutan yang menyeramkan. Malam, kini tidak lagi indah. Beragam teror, menghantui siapa pun.

Nawasena juga belum memiliki ponsel pengganti yang baru. Walaupun masih memiliki dompet dan sebuah kartu ATM. Nawasena tidak bisa senewen menghabiskan uang, jika ingin bertahan hidup di Ibukota.

Di banding dari semua hal yang ia khawatirkan. Nawasena lebih mengkhawartikan DNA asing yang bercampur dengan dirinya. Nawasena takut, ia akan berubah tanpa sadar dan kehilangan jari diri. Sungguh, itu momok yang paling mengerikan.

"Silakan diminum."

Kepala Nawasena menengadah. Agha telah menyajikan teh melati di depannya. Nawasena menatap lamat pada asap yang masih mengepul di atas cangkir.

"Lo bisa memulai pembicaraan ini dengan bertanya," seru Agha sambil menyesap teh dari cangkirnya sendiri.

"Kenapa Ahool bisa ada di Ibukota? Kalau dari mitologi, seharusnya mereka hidup di pegunungan."

"Ada yang membawa mereka," jawab Agha. "Mereka memang bisa terbang. Tapi, tidak akan mampu terbang bermil-mil."

"Siapa?"

"Yang itu ... kita simpan nanti." Agha menolak menjawab. Ia menatap Magma yang tersenyum tipis.

"Sudra dan Anomali. Apa ini sudah ada sejak dulu?"

Agha mengganguk. "Sejak peradaban dimulai."

"Kenapa Ahool menyerang manusia?"

"Kenapa hewan berburu mangsa?" sela Magma dengan gemas. "Mereka bergerak oleh nafsu."

"Gue tidak bertanya pada lo," balas Nawasena datar.

"Kenapa bocah ini tidak dicari orang tuanya?" Pertanyaan Nawasena berubah arah dan itu membuat wajah Magma memerah.

"Bukan urusan Kakak." Sekarang, malah Magma yang berwajah masam.

"Dengarkan bocah," sela Agha yang malas mendengar perdebatan mereka. "Para Anomali sudah tidak akan hidup sembunyi-sembunyi seperti dulu. Kita akan tampak di depan Sudra. Perburuan monster dan makhluk-makhluk mitologi kembali terjadi dan lo ... pemuda yang entah beruntung atau malang. Lo menjadi bagian dari dua hal tersebut. Setengah manusia dan setengah monster. Awalnya, kami hanya ingin membantu lo. Tapi lo sendiri yang menolak untuk dicongkel matanya. Sekarang, kutukan itu hidup di dalam tubuh lo. Kutukan tersebut seperti parasit. Dia akan mengambil alih alam bawah sadar tanpa lo sadari. Ini bisa menjadi sesuatu yang menakutkan. Namun, bisa menjadi kekuatan yang tidak terhingga. Tergantung bagaimana lo menyikapinya."

Agha menghela napas. Dia sudah berbicara panjang lebar tanpa jeda. Dia juga, memberikan waktu bagi Nawasena untuk memahami semuanya.

"Dalam hirarki Anomali. Kami memiliki pemerintahan tersendiri." Agha kembali menjelaskan.

"Setiap keturunan yang biasanya di wariskan dalam generasi ke generasi memilih menyembunyikan identitas mereka. Selama bertahun-tahun, para Anomali yang bekerja sebagai kesatria bhayangkara. Bertugas menjaga dan menghalau hal-hal berbau mitologi ke permukaan. Lo pasti sadar, kenapa keberadaan mereka penuh konspirasi. Ya, karena para Sudra. Kami harus melindungi semuanya agar tetap terjaga. Namun, setiap satu juta tahun. Segel yang menahan semua itu akan terlepas. Masa-masa seperti ini penuh pertempuran dan hal-hal magis. Peradaban yang terkena musibah tersebut, biasanya di hapus dari catatan sejarah. Hal inilah yang disebut abad kekosongan."

"Tapi, ada beberapa pihak yang berusaha mempertahankannya," sambung Magma. Sekarang, ekspresi wajahnya jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Biasanya dalam peninggalan budaya, dongeng atau cerita rakyat. Bahkan dari cerita yang dituturkan pada setiap garis keluarga dan itulah yang terjadi sampai sekarang. Setiap keluarga yang masih hidup dan bertahan, melanjutkan misi ini sampai segel kembali terbuka."

Saat Nawasena melirik Magma. Bocah itu menunjukkan senyum menyebalkannya. "Para Anomali tidak semuanya hidup berdampingan dengan manusia. Sisanya memilih membangun pemerintahan mereka sendiri. Terlebih, saat Kakak kehilangan kendali. Para Senopati yang sedang bertugas merasakan hawa keberadaan Kakak. Jika Magma terlambat datang, mereka akan membunuh Kakak."

"K- Kenapa?" tanya Nawasena tidak suka. "Memangnya gue melakukan hal buruk di dunia mereka?"

"Bukan itu," balas Magma dingin. "Mereka tidak menyukai Tucca."

"Tucca?" ulang Nawasena.

"Manusia yang memiliki darah mitologi," sahut Agha. Ia melirik tajam pada Nawasena. "Bagi Anomali golongan atas, itu adalah hal yang lebih rendah dari golongan Sudra dan petinggi Anomali menganggap hal tersebut adalah hama atau sesuatu yang haram. Mulai sekarang, lo harus menutupi mata kiri itu. Rahasia ini hanya diketahui oleh gue, Magma, Arya dan Gayatri."

Nawasena terdiam. Dia memahami semua yang terjadi. Rasanya menyebalkan dan sial di saat yang sama. Tetapi dia bisa apa, hidup harus terus berjalan. "Bagaimana menghentikan semua ini? Jika segel rusak, bukankah tinggal menutupnya? Bukankah para pendahulu kalian telah melakukannya?"

"Jika semuanya semudah itu," gumam Agha dengan tersenyum miring. "Masalahnya, segel itu terbuat dari jiwa seseorang."

"Seseorang? Siapa?"

"Sri Maharaja," jawab Agha pendek.

"Raja? Raja siapa?"

"Bukan Raja yang itu." Agha membantah. "Kami menyebutnya Sang Kaisar. Dia adalah penguasa atas makhluk-makhluk kegelapan."

"Oke. Sekarang mari tangkap dia."

Magma, nyaris terjatuh dari kursi. Ia tertawa terpingkal-pingkal. Mendengar seruan Nawasena yang dianggap sangat lucu.

"Masalahnya, tidak ada yang tahu. siapa dan di mana reinkarnasi Sri Maharaja," seru Agha dengan lirih.

"Jika pun dia sudah ada, dia pasti bersembunyi di suatu tempat dan yang paling sial," timpal Magma setelah mengatur tawanya. "Kalau ia belum terlahir di masa sekarang. Maka, teror ini akan terus terjadi. Jadi, teror ini tidak akan selesai dalam satu malam. Bisa bertahun-tahun atau bahkan seabad lebih. Makanya, masa ini akan dihilangkan dari muka bumi dan menjadi abad kekosongan."

"Dan apa ada cara agar gue bisa hidup normal? Jika dunia ini memiliki sihir. Pasti ada ramuan untuk segalanya, bukan?"

"Seharusnya ada. Kita bisa melakukan ruwat," kata Agha. "Tapi, orang yang bisa melakukan itu tidak banyak. Keberadaan mereka tersembunyi dan satu-satunya orang yang bisa melakukan itu, tidak mudah untuk dihubungi. Maka dari itu, melenyapkan bagian terinfeksi adalah cara terbaik. Lo akan terus hidup seperti ini dan ...," Agha tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Rasanya berat untuk berucap.

"Hal itu akan diwariskan pada anak dan cucu, Kakak," sela Magma sambil memainkan rubik yang ia pegang. "Satu-satunya hal yang bisa Kakak lakukan adalah menjinakkan kutukan Ahool menjadi kekuatan terbesar Kakak. Apalagi, Kakak sendiri memiliki darah Anomali. Beberapa latihan berat akan membantu. Setidaknya, jika itu turun ke anak Kakak. Itu bisa menjadi kekuatan, bukan sebuah kutukan. Yeah, ini ide yang terbaik, jika ingin bertahan hidup."

Emosi di wajah Nawasena berubah-ubah. Dia tidak pernah memikirkan masa depan sejauh itu. Tetapi, bila ia memikirkannya sekarang. Tidak ada kata-kata yang bisa Nawasena utarakan.

"Baiklah." Tangan Nawasena terkepal kuat. "Tolong ajarin gue bertahan hidup dan cara mengendalikan kekuatan ini. Setidaknya, gue ingin terus hidup."

Namun, diam-diam, Nawasena akan mencari tahu tentang orang yang bisa meruwat kutukannya. Tidak peduli seberapa keras menghubunginya. Nawasena akan melakukan itu demi kembali menjalani kehidupan normal.

__//___//____//____
Tbc

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now