29

98 20 0
                                    

Di sebuah gimnasium. Tampak beberapa pria dan wanita sedang berlatih dengan sebuah boneka peraga berbentuk manekin. Secara serempak, mereka menoleh ke arah kedatangan Nawasena dari balik portal yang muncul di tengah lapangan.

Ada beragam emosi yang ditunjukkan. Sebagian besar, tentu saja, terkejut. Tidak menyangka. Bahwa, seseorang bisa masuk melalui portal yang hanya dapat di akses oleh anggota pengikut Sapta Syam. 

Seolah ada komando di dalam kepala mereka. Para pengikut Sapta Syam mulai berkumpul ke tengah gimnasium. Bahkan yang duduk di tribun penonton pun turun ke lapangan untuk bergabung bersama yang lain.

"Tucca?" Salah seorang berbisik dan gunjingan itu menyebar.

Nawasena tahu, dia cari mati dengan masuk ke dalam kandang singa. Tetapi, dia tidak akan mundur.

"Ah, gue kenal dia! Ini orang yang bertarung melawan David. Dia juga yang mengacaukan parlemen setahun lalu. Wah, cari mati nih, Bocah. Panggil David."

Seseorang berlari keluar dari gimnasium. Nawasena tidak peduli, jika mereka memanggil lebih banyak orang.

"Gue ingin bertemu pemimpin kalian." Seruan Nawasena memancing amarah mereka. Bagi pengikut Sapta Syam, Nawasena terkesan sebagai bocah songong.

"Lo bego? Tiga lawan kami semua?" Seseorang dengan tindikan di telinga maju ke depan. Dia memikul kaditula di atas bahu, seperti pemukul bisbol.

"Apa gue perlu merekomendasikan optik terdekat, jika lo perlu konfirmasi gue?"

"Cih. Cari mati ini Tucca." Si Tindik memiringkan kepala dengan sedikit isyarat.

Secara tiba-tiba. Semua orang di gimnasium mendadak lenyap. Lalu muncul kembali dengan mengelilingi Nawasena dan yang lainnya.

"Bagaimana Manusia?" bisik Kafin. "Kalau lo meminta pada gue. Gue bisa membereskan semua ini dengan mudah."

"Tidak," ujar Nawasena dengan tangan memegang kaditula. "Gue ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengasah kemampuan gue. Lo bisa mengamati dari jauh."

"Nawasena," timpal Yolai dengan tangan mengeluarkan cakar-cakar Ahool yang tajam. "Mereka punya aura membunuh yang cukup kuat."

"Lebih kuat dari Ahool?" tebak Nawasena santai. "Tidak jadi masalah. Lo bisa mundur bareng Kafin. Gue akan mengatasi semuanya."

Nawasena belum sempat mendengar jawaban dari Yolai. Karena secara misterius. Muncul gelembung hitam yang menelan mereka bertiga.

Mata kiri Nawasena bergerak cepat memindai pengguna sihir gelembung tersebut. Lalu terhenti pada wanita yang berada di barisan belakang. Saat mata mereka beradu. Wanita itu tersentak. Sesuatu yang mencekam, berusaha melahap raga dan sukmanya. Jeritan itu menyebabkan gelembung sihirnya pecah.

"Cih, hanya segitu kemampuanmu?"

Nawasena pikir, kalimat itu merujuk padanya. Namun dia salah, wanita yang gagal memerangkap mereka. Secara mengejutkan histeris. Dia berusaha menghampiri rekan-rekannya guna meminta tolong. Sebab, secara perlahan. Kedua kakinya berubah menjadi abu.

Tidak ada yang peduli, bahkan melirik pun enggan. Wanita itu memohon ampun. Berharap seseorang bisa menyelamatkannya dari kematian. Tetapi, semuanya sia-sia. Seluruh tubuhnya telah berubah menjadi abu yang terbang tertiup angin. Meninggalkan setelan yang ia kenakan.

"Gue ke sini bukan untuk bertarung." Nawasena berusaha negoisasi. "Gue ingin bertemu pemimpin kalian. Sebagai Tucca, gue ingin bergabung bersama pengikut Sapta Syam. Pertarungan ini hanya buang-buang waktu dan tenaga."

Si Tindik tersenyum sinis. Lalu, seluruh gimnasium kembali bergetar dan bergoyang seakan ingin runtuh. Tidak ada kesempatan untuk menyadari sesuatu. Kecuali insting.

The Heroes Bhayangkara Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz