7

159 30 5
                                    

Arya membeku. Dia seperti melihat malaikat maut sedang tersenyum padanya. Wajah yang baru beberapa jam ia kenali. Kini menjelma sebagai malaikat maut.

"A- Arya."

Pemuda itu mengerjab. Ia tersadar dan mendapati Agha telah berdiri di depannya. Kedua tangan Agha sedang sibuk menahan ujung Kaditula yang berusaha menusuk dadanya.

Sorot mata Agha menatap tajam. Memperhatikan, bagaimana Nawasena menggertakan  gigi-giginya.  

"Nawasena?" seru Agha. Namun yang dipanggil tidak menunjukkan respon apa pun. Ia semakin kuat mendorong Kaditula untuk menembus dada Agha.

"Sial!" Agha berdecak kesal. Ujung bilah semakin menusuknya lebih dalam. Agha bahkan sampai terdorong ke belakang. Arya telah roboh ke tanah. Dengkulnya mati rasa sejak tadi.

"Hey! Bocah bodoh! Sadar! Lo akan membunuh semua orang!" Agha berteriak sekeras mungkin. Masalahnya, sorot mata Nawasena seperti predator yang hanya memiliki nafsu membunuh.

Belum tuntas membereskan Nawasena. Para Ahool mulai terbang dan membentuk lingkaran di atas kepala mereka. Arya yang menyadari ancaman terbaru, seketika sadar dari rasa ketakutannya.

Dia bangkit dan mencoba menarik mundur tubuh Nawasena dari belakang. Arya melakukannya sambil memeluk pinggang Nawasena. Namun, sekuat apa pun Arya menarik mundur. Tubuhnya malah ikut terseret maju ke depan.

Apa yang terjadi pada pria ini? Batin Arya. Dari pemuda yang kebingungan dan lemah. Nawasena berubah menjadi sosok yang berbeda.

Mendadak, alarm insting bertahan hidupnya terasa. Ia melepaskan pelukan dari tubuh Nawasena. Karena di saat yang bersamaan, para Ahool mulai menyerang Arya. Mereka terbang merendah dan berputar-putar di sekitar Nawasena.

Ahool-ahool ini mendesis dengan memamerkan gigi-gigi mereka yang tajam.

"M-mustahil," lirih Arya. Ia menggeleng tidak percaya. Makhluk-makhluk itu sekarang melindungi Nawasena. Tidak tinggal diam, Arya mulai menarik busurnya. Seberkas cahaya perlahan-lahan terbentuk menjadi sebuah anak panah.

Panah Arya melesat. Namun, begitu mudah ditangkis salah satu Ahool. Hal tersebut semakin memperjelas argumen Arya. Sementara itu, Agha sudah kian tersudut. Jika dia memaksa menyerang Nawasena dengan posisi sekarang. Ujung Kaditula sudah langsung menusuk jantungnya.

"AWASSS!!!"

Teriakan itu terdengar bersama sebuah bola kaki yang terbang begitu cepat dan menghantam kepala belakang Nawasena. Para Ahool yang terkena tendangan tersebut roboh di aspal jalan dengan tubuh terkapar.

Arya menoleh cepat dan bibirnya tersenyum lebar. Seorang bocah berbaju kuning sedang berlari dengan wajah penuh emosi.

"Magma," seru Agha yang senang melihat kehadiran bocah tersebut.

"Ayo pergi dari sini. Lo bawa bocah itu. Biar gue dan Arya yang menyelesaikan pekerjaan di sini."

"Ada apa?" Alis Agha bertaut bingung.

"Tidak ada waktu."

Magma sudah memutar tubuhnya. Ia membungkuk, mengambil dan menendang bola sepaknya pada para Ahool yang masih ada.

Sementara itu, Nawasena sudah tidak sadarkan diri di atas aspal. Kaditula di telapak tangannya perlahan melebur ke dalam udara.

"Para Senopati sedang dalam perjalanan ke sini," seru Magma yang menyadari raut kebingungan di wajah Agha. "Mereka merasakan adanya ancaman."

Mata Arya dan Agha terpaku pada Nawasena. Keduanya langsung menyadari situasi yang terjadi dan dengan bergegas. Agha dan Arya membawa kabur Nawasena sebelum para Senopati tiba.

...

Nawasena membuka mata. Langit-langit berwarna putih terasa sangat dekat di wajahnya. Kemudian, ia merasakan kasur empuk di bawah punggungnya. Benda itu berderit saat Nawasena bergerak.

Merasa deja vu, tubuhnya kembali penuh perban. Dia melongok ke arah bawah dan tidak menemukan Arya. Sensasi sakit itu sudah tidak terasa, namun Nawasena yakin, mereka akan kembali timbul saat efek obatnya sudah habis.

Dia merangkak turun dari ranjang atas, lalu berjalan keluar kamar. Seluruh pakaian yang Nawasena gunakan telah diganti. Dari depan kamar, ia bisa mendengar suara orang sedang bercakap-cakap. Perlahan, ia tersadar. Ada Magma di antara Agha dan Arya.

"Sudah bangun?" komentar Magma dengan sinis. "Masih hidup rupanya."

Nawasena tidak ingin membalasnya. Ia menatap Agha dengan sorot penuh ingin tahu. Pria itu menghela napas sambil menyajikan sepiring pisang goreng di hadapan Magma.

"Lo ingat yang terjadi dua hari lalu?"

Sontak, pertanyaan Agha membuat mata Nawasena terbelalak.  "Dua hari? Gue tertidur selama dua hari?"

"Lo ingat apa yang terjadi?" tanya Agha lebih lanjut.

Nawasena memutar otaknya. Satu-satunya hal yang ia ingat sensasi terbakar saat para Ahool kembali melukai pergelangan tangannya.

"Benar dugaan kami. Kakak tidak ingat apa-apa." Magma kembali berkomentar sinis.

"Sebenarnya, apa yang terjadi? Gue tidak ingat apa-apa."

Nawasena tidak melihat Arya di dapur. Dia cemas, terjadi sesuatu padanya.

"Ada darah Ahool dalam diri Kakak." Magma berujar terang-terangan. Dia melirik Nawasena yang sedang melototinya. "Kutukan Ahool mengalir dalam darah Kakak. Dua hari lalu, kutukan tersebut mengendalikan tubuh Kakak tanpa sadar. Kakak menyerang Arya dan hampir membunuh tukang pukul ini. Selama Kakak tidur, Agha mengambil sampel darah Kakak dan dari hasil yang kami dapatkan. Kakak telah berubah menjadi setengah monster."

Kata-kata Magma seperti berputar-putar di benak Nawasena. Dia antara sadar dan tidak sadar.

"M-mustahil. Apa gue jadi monster begitu saja? Seperti dalam fiksi-fiksi fantasi? Gara-gara cakaran Ahool di mata gue?"

Nawasena tertawa. Tetapi tawanya terdengar hambar. Dia sama sekali tidak percaya. Kehidupannya mustahil berubah 180 derajat.

"Lihat cermin," ujar Magma dengan malas. "Setidaknya Kakak masih bisa berkaca."

Tanpa sadar. Tubuh Nawasena bergerak mencari-cari benda tersebut. Cermin yang dimaksud Magma, tergantung tidak jauh dari lemari penyimpanan.

Nawasena berjalan mendekat dan dia kehilangan ekspresi wajahnya. Mata kirinya berwarna semerah darah. Berbeda jauh dengan mata kanan yang tampak normal.

Saat ia menatap mata kirinya, Nawasena seperti melihat jati dirinya yang lain. Sosok yang sangat menakutkan dan haus akan darah. Buru-buru, ia memalingkan wajah dari cermin. Dia tidak sanggup memandang mata tersebut lebih lama. Di tambah, warna rambut kirinya juga berubah sebagian menjadi kemerahan.

"Kok enggak ketawa lagi?" Magma kembali menyindir. "Ahahaha, panik ya? Kasian."

Nawasena menarik napas dalam-dalam, jika tidak ada Agha. Dia akan sangat berani memukul kepala Magma agar bocah itu tidak bisa lagi meledeknya.

"Duduklah, Nawasena. Gue yakin, lo butuh waktu untuk semua ini."

Nawasena mendadak merasa bersalah pada Agha. Dia tidak bisa mengingat apa pun. Dia telah menjelma menjadi seorang monster pada orang yang telah membantunya.

"Maaf," ucap Nawasena dengan perasaan bersalah. "Gue merepotkan semua orang."

Agha menggeleng. "Sudah tugas kita sebagai manusia saling membantu. Ada sesuatu yang ingin gue bicarakan sama lo. Sesuatu yang menjadi dalang semua ini terjadi. Ini semua tentang abad kekosongan."

__//___//___//__
Tbc

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang