25

119 23 4
                                    

Perubahan wujud Kafin membuat Nawasena terpana. Kafin tidak terlihat tua seperti yang ia ceritakan sebelumnya. Kendati demikian, Nawasena membiarkan makhluk itu untuk tidur di pundaknya.

Belum juga kereta melintas jauh meninggalkan Stasiun Bendungan Hilir. Yolai pun terkulai di pundak Nawasena di sisi lain. Pemuda ini hanya bisa menghela napas dengan menanggung berat dua kepala di pundak.

Selama Senayan Express melaju melintasi lintasan-lintasan yang asing. Nawasena bisa melihat pemandangan yang berbeda-beda.

Mulai dari kawasan padat penduduk, gedung-gedung pencakar langit, hutan pinus yang nyaris mustahil berada di tengah-tengah pusat ibukota serta lautan yang ombaknya berwarna biru.

Tanda pemberhentian selanjutnya membuat Nawasena harus membangunkan Kafin dan Yolai. Jumlah penumpang di dalam gerbong tinggal separuh. Kafin bangun sambil mengucek mata, sedangkan Yolai merenggangkan badan.

Ketiganya pun turun bersama. Nawasena takjub, peron tempat mereka berada hampir seluruhnya di selimuti tumbuhan merambat di mana-mana.

Mulai dari tiang-tiang hingga bangku ruang tunggu. Di sana tidak ada lampu sebagai penerangan, sebagai gantinya. Ribuan kunang-kunang terbang di sekitar, sebagian besar berputar-putar di papan nama Stasiun Bajangratu.

Di ujung peron terdapat sebuah candi berbentuk gapura. Gapura ini memiliki daun pintu dengan adanya dua lubang di ambang pintu. Ke sanalah Nawasena dan yang lainnya berjalan. Tidak ada penumpang Senayan Express yang turun selain mereka.

"Apa ini aman?" tanya Nawasena pada Yolai.

Yolai menggeleng. "Gue tidak yakin. Ini pertama kalinya gue ke sini. Tempat ini memang tidak dijaga kesatria bhayangkara. Tapi, gapura itu memiliki sihir yang bisa mendeteksi siapa pun."

"Jadi?" tukas Kafin yang maju selangkah di depan Nawasena dan Yolai. "Ini aman. Percayakan pada gue. Manusia, lo masuk lebih dulu dan lo." Kafin menunjuk Yolai. "Ikut di belakangnya. Gue akan jadi orang terakhir yang masuk."

Nawasena rasa itu pilihan yang masuk akal. Nawasena punya dua darah di dalam dirinya sebagai Anomali dan Tucca, sedangkan Yolai adalah manusia Ahool murni. Jejak sihir Kafin yang masuk dari belakang, bisa menyamarkan identitas mereka.

Dengan langkah mantap dan menarik napas dalam-dalam. Nawasena pun melangkah masuk melewati gapura. Sesaat tidak ada yang terjadi dan Yolai pun turut melangkah masuk. Lalu diikuti Kafin dari belakang.

Dibalik gapura, Nawasena dan kawan-kawan disambut oleh orang-orang kemaharajaan yang berpakaian tradisional modern. Beberapa wanita menggunakan kebaya sebagai atasan dan bawahan rok polos yang mekar dan mengembung seperti gaun, sedangkan para pria terlihat seperti para pendekar. Di antaranya ada yang bertelanjang dada dan bawahan kain yang dililit sedemikian rupa.

Sebagian besar kaum pria, memanjangkan rambut mereka dan mengikatnya menjadi satu. Di ujung jalan, Nawasena menangkap para pria lain yang menggunakan baju jirah berpanel. Mereka tidak membawa apa pun. Tetapi Nawasena tahu, senjata itu akan tampak bila ada  sesuatu yang perlu di bereskan.

"Ikut gue." Kafin menarik kerah belakang baju Nawasena. "Setiap pengunjung dari luar kemaharajaan wajib mengganti pakaian mereka dengan tradisi di sini."

"Tapi, gue enggak punya uang kemaharajaan. Apa rupiah bisa digunakan?"

Kafin tersenyum tipis. Seolah-olah, uang bukanlah hal yang perlu di khawatirkan.  "Gue traktir."

"Anda punya uang?" tebak Yolai sopan. Nawasena merasa ada yang berbeda dari cara bicara temannya ini.

"Punya," jawab Kafin sambil melihat-lihat toko yang akan mereka masuki. Sebuah pilihan membuat Kafin mendorong pintu yang bagian terasnya penuh dengan pot-pot berbunga kamboja.

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now