32

97 14 12
                                    

"Jantungnya," gumam Airin. Lantas melirik ke arah Kafin, meminta jawaban.

"Dia Tucca," balas Kafin datar. "Tapi jangan bertanya lebih jauh di mana jantungnya."

Airin tahu, itu bukan topik yang bisa digali. Kafin secara tersirat menunjukkan ancaman. Dia lalu beralih menatap Yolai dengan sorot menilai. Kemudian berpaling pada Nawasena.

"Apa kalian berdua bisa meninggalkan gue sendiri di sini?"

"Tidak!" seru Yolai dan Kafin serempak.

"Lakukan di depan mata gue," titah Kafin. Melangkah sedikit lebih dekat ke Airin. Menegaskan tidak ada yang namanya penawaran.

"Baiklah." Airin tidak ingin berdebat lebih jauh. Dia kembali meletakkan tangan di dada Nawasena dan mengucapkan sebuah mantra. "Anjana Omprakash."

Seberkas cahaya kebiruan, sekonyong-konyong menyelimuti tubuh Nawasena. Anjana Omprakash merupakan mantra tingkat tinggi memanggil cahaya suci untuk membantu pemulihan pada diri seseorang yang terluka. Mantra ini digunakan pada pertolongan pertama.

Lima menit berlalu. Pucat di wajah Nawasena berangsur menghilang. Tetapi, kesadarannya tidak kunjung pulih. Alis Airin bertaut, racun pada tubuh Nawasena jauh lebih berbahaya dari yang Airin pikirkan.

Tanpa diduga oleh Yolai dan Kafin. Airin menggigit ibu jari kanan Nawasena dan menyesap darah yang mengalir keluar.

"Apa yang lo lakukan?!"

Tubuh Airin didorong kasar oleh Yolai. Pria Ahool itu panik bukan main. Dia dan Kafin tahu, Nawasena memiliki darah yang terkutuk. Dan darah itulah yang membuat Nawasena menjadi seorang Tucca.

"Jangan khawatir," seru Airin. "Gue baik-baik saja."

"Bukan itu!" Nada suara Yolai meninggi. "Bukan soal racunnya. Ada darah kutukan Ahool di dalam tubuh Nawasena. Cepat muntahkan!"

Airin agak terkejut, tatkala Yolai mengguncang tubuhnya dengan kasar. Sesekali memukul punggung Airin agar gadis itu memuntahkannya.

"Berhenti!" Kafin terpaksa turun tangan. Dia menjauhkan tangan Yolai dari pundak Airin. "Dia pasti bisa menjelaskannya. Gadis ini dukun."

"Ugh, thanks. Tapi gue lebih suka disebut penyihir. Gue punya ijazah."

"Apa pun itu," sindir Kafin tidak peduli. "Lo tidak seharusnya melakukannya. Tapi, gue tahu. Lo pasti punya alasan."

Airin mengganguk. Lalu bangkit dari sisi Nawasena. "Racunnya jauh lebih berbahaya dari yang gue duga. Efek sampingnya berhasil hilang. Tapi, kesadarannya belum pulih. Itu jadi catatan buat gue—"

Mendadak, Airin muntah darah. Ia pun jatuh merosot ke lantai sambil meremas dada. Tubuhnya terasa terbakar dan sesak. Melihat gejala yang menyerang dirinya. Ujung bibir Airin tertarik tipis.

"Racun Leak," lirih Airin dengan keringat mencucur di pelipis.

"Racun Leak?" Yolai mengulang kalimat tersebut. Menatap tidak percaya pada Airin. Lalu beralih pada Nawasena.

Menurut keyakinan masyarakat Bali, Leak merupakan manusia yang mempraktikkan ilmu hitam. Saat matahari masih bersinar, ia hanyalah manusia biasa. Namun ketika malam telah tiba, ia berubah menjadi makhluk mengerikan yang memangsa bayi untuk memperkuat ilmunya.

"Lo baik-baik saja?" Entah mengapa. Airin merasa tertengun melihat perubahan lembut dalam nada bicara Kafin.

"Baik-baik saja."

"Apa lo merasakan darah kutukannya?" tanya Kafin lebih lanjut. Ini akan jadi runyam, kalau seseorang tertular darah kutukan Nawasena.

"Tubuh gue punya kemampuan untuk mendetoks racun dan hal berbahaya. Soal darah Tucca, itu sudah gue minimalisir." Airin kembali batuk dan memuntahkan darah di telapak tangannya. "Racunnya udah terindentifikasi. Jadi, hanya masalah waktu. Gue akan baik-baik saja."

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now