18. Pergi dan Menghilang

9K 596 85
                                    

"Selamat pagi ma."

Ayu tersenyum lembut setelah mendudukkan bokongnya di kursi samping sang mertua.

"Pagi sayang, tumben telfon mama buat dateng? Biasanya kamu langsung ke rumah kalau kangen."

Ayu hanya diam dengan senyum tipis. Tak lama perempuan itu mengeluarkan ponsel dan memutar audio membuat sang mertua mengerutkan kening bingung menyaksikan gerak-gerik sang menantu.

"Mama harus dengar ini."

Tak ada penolakan. Raut sang mertua yang awalnya bingung kini berubah tegang saat kalimat demi kalimat dengan suara yang amat dikenali menguar memenuhi pendengaran mereka.

Ayu yang diam memperhatikan sejak tadi hanya bisa menikmati setiap ekspresi sang metua. Kini ia sudah bisa menyimpulkan kecurigaannya.

"Mama sudah dengar semuanya kan? Dan pasti juga sudah paham dengan pembicaraan tadi."

Ayu berusaha memancing. Ia tak mungkin hanya diam setelah perselingkuhan suaminya beberapa hari yang lalu baru saja terbongkar. Dia tak ingin lemah dengan melupakan dan memaafkan karena disini ia juga menuntut keadilan.

Mama mertuanya, ia yakin perempuan paruh baya itu juga mengetahui kebohongan suaminya.

"Sayang, mama--,"

"Jawab iya atau tidak ma. Aku tidak butuh alasan apapun."

"Ayu kamu tahu semua ini mama lakukan karena menyayangi kamu nak. Mama tidak berniat untuk berbohong tapi keadaan yang memaksa."

"Untuk aku apa untuk anak mama sendiri?"

Rosa diam. Ucapan Ayu tak bisa membuatnya berkutik. Menantunya cerdas dan tak akan mudah mempercayai kalimatnya walapun itu sebuah kebenaran.

"Kamu tahu Rere bukan perempuan yang mau mengalah. Dia bisa melakukan apapun untuk menyingkirkan kamu dan Ila kalau mama tidak menuruti keinginannya."

"Apa mama berfikir aku akan diam aja diperlakukan seperti ini? Aku bagaikan keledai bodoh yang gak tau apa-apa selama ini. Jadi setelah semua terbongkar apa mama yakin kalau aku masih mau jadi istri Bian?"

Rosa meneguk ludah kasar. Kalimat panjang Ayu membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Ayu tidak mungkin meninggalkan putranya karena menantunya sangat mencintai putranya.

"Aku akan meminta berpisah ma."

Rosa menjerit panik.

"Tidak. Kamu akan tetap jadi istri Bian dan menantu mama!"

"Keputusanku ada di tangan aku, bukan kalian. Dan disini mama tidak punya hak untuk mencampuri keputusanku."

"Bian tidak akan melepaskan kamu Ayu. Mama jamin itu. Dan kalau kamu memaksa bercerai apa kamu yakin bisa menghidupi diri kamu sendiri? Kamu hanya ibu rumah tangga yang tak punya penghasilan."

"Mama lupa seberapa besar saham perusahaan kalian yang sudah berpindah atas namaku?"

Rosa melupakannya. Namun ia tak boleh panik. Ayu memang memiliki saham di perusahaan keluarganya namun bukan berarti perempuan itu bisa lepas begitu saja dari putranya.

"Bian tidak akan membiarkan hak asuh Ila jatuh ke tanganmu!"

Rosa memberi ancaman. Perempuan paruh baya itu tidak akan mudah melepaskan menantunya.

Rosa sangat menyayangi Ayu juga mencintai cucunya.

"Biarkan pengadilan yang menentukan karena sampai kapanpun aku gak bakal tinggal diam diperlakukan seperti ini!"

Ayu meninggalkan sang mertua. Dia tak ingin durhaka dan dicap menantu tidak tahu diri. Namun sungguh dia pun akan tetap membela diri jika disakiti.

Mertuanya tak akan pernah berani melakukan ancamannya. Keluarga suaminya tak akan ada yang bisa menahannya.

Malam harinya Bian tak pulang ke rumah, begitu juga sebulan setelahnya. Laki-laki itu hanya memberi kabar satu kali dan menghilang tak bisa dihubungi.

Ayu sudah membulatkan tekat. Berada dalam keadaan tertekan dan stres membuat kandungannya bermasalah.

Ayu harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memeriksakan janinnya dan memastikan semuanya baik-baik saja. Apalagi selama beberapa hari ini ia sering mengalami flek yang sudah pasti membuatnya berfikir hal-hal mengerikan.

"Mama kenapa barang-barang kita di kemasi ke dalam koper?"

Ila menatap jejeran koper yang sudah tertata rapi di ujung kamar.

"Kita mau liburan ya? Tapi kan Ila belum libur sekolah."

Ayu tahu pertanyaan seperti ini akan putrinya ajukan. Namun ia pun sudah menyiapkan jawabannya.

Walaupun mungkin akan membingungkan putrinya.

"Kita ke rumah nenek yang di desa. Nanti kita menginap di sana."

"Kenapa? Kita gak ajak ayah?"

"Ayah sibuk kerja tapi mama sudah kabari ayah kok."

Ila masih tampak kebingungan. Gadis kecil itu menggaruk kepala dengan langkah mendekati sang mama.

"Ila mau kan temani mama?"

Ila mengangguk ragu. Gadis kecil itu menatap sang mama yang kini melepaskan senyum lembut.

"Ya sudah kalau begitu sekarang Ila tidur siang sendiri dulu ya. Mama mau beresin sisa barang-barang kita."

Ila menurut. Setelah mencium kedua pipi sang mama, gadis cantik itu berlari menuju kamarnya sendiri sedangkan Ayu sudah meminta orang untuk mengangkut barangnya ke dalam mobil. Mengirimkan lebih dulu ke Jogja, kota yang akan menjadi tempat pelariannya.

Ia sudah bertekad dan tak ada seornag pun yang berhak mengaggalkan rencananya.

*****

"Ila sudah siap?"

Ayu menoleh ke samping, menatap putrinya yang melemparkan pandangan ke jendela mobil, menatap rumah mereka.

"Sudah. Tapi Ila takut nanti ayah nyariin kita mama."

"Mama kan sudah minta izin sama ayah. Jadi gak mungkin dong ayah nyariin. Tadi nenek juga dateng dan tahu kita bakal pergi kan?"

Ila mengangguk namun walaupun begitu gadis kecil itu tetap terisak sedih.

Ayu memahami perasaan putrinya. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa selain memberikan usapan menenangkan.

Ia memamg sudah membicarakan hal ini pada mama mertuanya. Namun tak ada kata yang keluar mengenai kemana ia dan putrinya akan pergi.

Rosa awalnya menolak dan terus menahan. Tapi Ayu sendiri tak tinggal diam dan begitu saja mau menurut. Ayu mengeluarkan segala argumen juga ancaman-ancama yang mau tak mau membuat Rosa kalah telak dan mengalah.

Kini mereka sedang dalam perjalanan. Ayu tak langsung ke bandara untuk penerbangan ke Jogja.

Perempuan itu berganti-ganti taksi untuk menghilangkan jejak. Berharap usahanya kali ini tak akan berakhir ditemukan Bian.

Ayu juga sudah meminta bantuan Sinta, meminta tolong pada sahabatnya itu untuk merahasiakan dimana letak kota persembunyiannya.

Ayu akan memulai hidup baru dengan anak-anaknya, mengubur masa lalu sedalam-dalamnya dan membangun masa depan indah bersama mereka.

Tak lagi ada harapan untuk bersama Bian. Nama laki-laki itu akan ia buang sejauh-jauhnya.

Dia sudah mengirimkan seorang pengacara untuk mengurusi perceraiannya. Ia sendiri tak ingin berhubungan dengan keluarga Bian.

Jahat karena memutus hubungan antara ayah dan anak. Namun semua Ayu lakukan untuk kebahagiaannya dan anak-anak.

Ia tak ingin mereka semakin terluka jika tetap memaksa tinggal bersama. Hidup dengan dua orang ibu dan keluarga tiri tak akan pernah bisa membuat hidup anak-anak bahagia.

Ayu tak sudi di madu dan tak pernah ikhlas berbagi suami.

"Mama janji akan membahagiakan kalian. Maaf karena menghadirkan kalian untuk dibawa dalam kerumitan seperti ini."

Tengah malam. Maaf baru sempat update hehe.

Semoga suka dan jangan lupa tinggalkan jejak untuk next part ya.

Ada yang setuju dengan langkah Ayu atau kontra dengan keputusannya?

Pernikahan yang Ternoda (PDF/KARYA KARSA/DREAME)Where stories live. Discover now