•1•

247 22 2
                                    

Di ruangan penuh tumpukan berkas ada seseorang yang tidak mengalihkan tatapan dari dokumen yang berada di tangannya. Seolah terpaku dengan isi tulisan tersebut. Sesak memenuhi hatinya, kala ia mengerti arti tulisan di dokumen itu.

Di genggam kertas itu hingga remuk dan di tarik sampai robek dan terlepas dari map hitam yang melindungi berkas itu.

Di bawanya kertas itu, berjalan menuruni anak tangga. Emosi yang menyelimuti membuat kertas remuk tertutup oleh tangan.

Sesampai di meja makan, terdengar dua orang saling tertawa. Sahut menyahut pembicaraan romantis klise.

"Bohong . . . !!"

"Kalian semua pembohong . . . !!" Teriak frustasi Chan.

Kedua orang itu terkejut mendengar jeritan sang anak.

"Chan !! Jaga sikap kamu !!" Sang ayah memperingatkan.

"Sayang. . . Jangan di marahi Chan. Biar aku yang bicara sama Chan." Ibu mencoba melerai.

Ibunya mendekati sang anak yang sudah di selimuti kabut emosi "Chan, kamu kenapa nak ?" Tanya sang ibu lembut mendayu sambil mengelus pundak sang anak.

Chan melirik tajam sang ibu di sampingnya. Membuat elusan lembut di pundak berhenti.

Chan membuka lembaran kertas yang sudah remuk dan perlihatkan kedua orang tuanya. Ekspresi terkejut tercetak jelas di wajah ayah dan ibu.

"Dari mana kamu dapat itu ?" Sang ayah merebut kertas itu dan mencoba menyembunyikan di saku celana.

"Bukan menjelaskan, tapi malah bertanya. Aku butuh PENJELASAN !! AKTA CERAI ITU BAHKAN SUDAH DUA TAHUN YANG LALU !!? KENAPA KALIAN BERTINDAK SEOLAH-OLAH TIDAK ADA YANG TERJADI !!? HAH !!? KALIAN BOHONG !! KALIAN PIKIR BISA NUTUPIN ITU SELAMANYA !!?" Emosi Chan tumpah tidak tertahankan lagi. Berteriak bagai orang kesetanan.

"Nak. . . Maafkan ibu ya. Kami gak bermaksud membohongimu. Susah mencari waktu yang tepat untuk membicarakan itu."

"Cih. Berarti akta itu benar ya. Dua tahun kalian bohong. Luar biasa akting kalian." Chan bertepuk tangan sangat keras. Membuat kedua orang tuanya merunduk malu.

"Sekarang kalian gak perlu akting lagi. Lakukan apa yang ingin kalian lakukan. Silahkan. . . Gak guna juga aku sebagai anak mempertahankan kalian."

"Chan. Ayo ikut ayah. Kamu bisa jadi perwaris perusahaan besar. Jadi CEO mengantikan ayah."

"Nak. . . Ikut ibu saja ya. Tenang saja, segala kebutuhanmu akan tercukupi. Ibu janji."

Chan memejamkan mata menutup kedua telinga dan menggelengkan kepala sekuat-kuatnya. Tidak pernah menyangka keluargannya hancur. Pernikahan berumur belasan tahun harus kandas. Ia tidak pernah sekalipun melihat kedua orang tuanya beradu mulut, bahkan tidak pernah sekalipun.

Entah atas dasar apa keduanya memutuskan untuk bercerai.

"Chan"

"Nak"

Chan membuka mata "Aku gak ikut sama siapapun."

"Chan !! Kamu gak bisa gitu. Kamu perwaris satu-satunya. Lebih baik ikut ayah. Ayo kita buat kenangan bersama."

"Nak. Kamu bakal kesepian kalo sendirian."

"CUKUP !! silahkan keluar. Aku muak dengarnya. KELUAR !!" Chan berjalan meninggalkan mereka yang terdiam. Masuk ke dalam kamar, membanting pintu hingga dinding bergetar.

Chan menangis, berteriak, sakit luar biasa. Ternyata kesibukan mereka hanya bohong. Jarang pulang, hanya bohong. Semua keharmonisan itu. . . . . . . Bohong.

belle àmeWhere stories live. Discover now