Bab 2. Amanat Sang Ayah

628 25 2
                                    

Bersama duduk melingkar didepan teras. Ayudia mulai bercerita bagaimana awal mula dia yang sampai bisa berurusan dengan renternir. Sebenarnya, Ayudia tidak niatan sama sekali untuk meminjam uang dari mereka namun setelah mendengar bahwa suaminya--Weda harus segera dioperasi agar dapat mengangkat kanker dikepalanya menjadikan renternir jalan terakhir yang bisa dia ambil. Weda tidak memiliki tanggungan kesehatan serta saat itu tabungan mereka tidak mencukupi jika digunakan untuk operasi ditambah mereka juga harus membayar biaya perawatan Weda selama dirawat di rumah sakit. Dan itu semua memiliki jumlah yang tidak sedikit.

Ayudia tidak ingin memberatkan Naya yang saat itu baru memulai semester barunya. Ayah dan ibu Weda juga sempat memberikan isi dari tabungan mereka namun masih belum cukup. Dan dirasa sudah tidak ada jalan keluar, Ayudia minta dikenalkan oleh orang yang mungkin saja bisa meminjami nya uang dengan jumlah besar. Tapi siapa yang menyangka kalau Ayudia malah dibawa ke renternir. Mereka menawarkan jumlah yang tak terduga jadi dengan berat hati Ayudia menyetujuinya dan menjadikan rumah mereka sebagai jaminan nya. Itupun tanpa sepengetahuan Weda ataupun orang rumah. Hanya Ayudia dan Adit yang mengetahuinya.

Naya mengusap wajahnya gusar. Ia bangkit dari tempat duduknya lalu berteriak frustasi sampai membuat Adit terkejut sekaligus ketakutan. Mamanya hanya menangis dan tidak tahu bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Naya. Rumah ini adalah harta paling berharga yang telah ditinggalkan oleh ayah mereka namun kini harus dirampas.

Nenek yang juga ikut mendengar kan cerita Ayudia mencoba untuk mengerti dengan keputusan sang menantu. Wanita tua itu mengelus pundak Ayudia yang menangis dipelukkan nya. Kakek berdiri bersama Naya yang sedang mondar-mandir mencoba mencari jalan keluar. Otak cerdasnya serasa membeku setelah ditampar oleh fakta yang begitu memilukan. Kakek mengelus bahu Naya yang bergetar hebat sebab menangis. Ia pelan-pelan dituntun untuk kembali duduk disebelah mamanya.

"Kita bisa pakai uang beasiswa aku." Cetus Naya ditengah isak tangisnya.

Semua orang menoleh. Kaget mendengar keputusan berani yang diambil oleh Naya.

"Setidaknya uang itu bisa menjadi jaminan sementara agar rumah ini nggak diambil sama para renternir itu. Sisanya aku akan cari dengan cara bekerja." Lanjutnya.

"Tapi, memangnya bisa?" Tanya Adit.

"Bisa, pasti bisa dan harus bisa!" Jawab Naya penuh keyakinan "Aku akan mencari pekerjaan untuk membayar hutang kita. Juga untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah Adit." Lanjutnya.

Kakek menepuk bahu Naya yang langsung menoleh setelahnya "Kalau urusan uang sekolah dan uang dapur serahin ke kakek. Kamu nggak perlu menanggung semuanya, kita keluarga jadi harus saling bahu membahu." Ucap kakek menengahi.

Semua orang tersenyum lega. Naya menoleh kembali kearah mamanya yang masih saja menunduk sedang menangis.

"Ma, jangan nangis lagi. Kita udah menemukan jalan keluarnya jadi mama jangan menyalahkan diri mama lagi. Naya minta maaf sama mama karena sempat emosi." Kata Naya sembari memeluk sang mama dan diikuti oleh Adit.

Ayudia mengelus wajah kedua anak-anak nya. Dia bangga sebab masih diberikan kesempatan untuk melihat mereka tumbuh dewasa dan kuat dengan cobaan yang menghampiri.

"Kita memulai ini sama-sama dan kita harus mengakhiri nya sama-sama juga. Naya sayang mama, jadi mama jangan sedih lagi."

"Adit juga sayang mama dan kak Naya. Semoga masalah ini cepat selesai supaya kita bisa senyum sama-sama lagi. Adit janji akan bantu juga." Timpal sang adik.

Naya mencubit pipi Adit gemas "Si bocah, udah gede ya kamu sekarang.  Tapi kamu bantu belajar yang rajin aja udah cukup kok, Dit." Ucapnya.

"Sakit kak!" Pekik Adit kesakitan "Aku udah SMA, ya jelas lah udah gede. Jangan anggap aku anak kecil terus, aku juga bisa bantu kakak." Lanjutnya.

"Kamu bantu hemat kuota aja deh. Jangan sering-sering main game. Entar mata kamu rusak terus kakak harus mengeluarkan uang untuk bawa kamu ke dokter mata. Belum lagi biaya pembuatan kacamata. Bisa bangkrut kakak." Tambah Naya menasehati.

Adit mendengus kesal "Iya, kak." Jawabnya merajuk.

***

Hari berikutnya adalah pertemuan keluarga Naya dengan pengacara ayahnya. Membahas aset yang mungkin saja masih tersisa dan dapat membantu mereka untuk menyelamatkan rumah. Naya, Ayudia dan Adit duduk bersama diruang kerja Weda ditemani oleh pak Bagus yang merupakan pengacara kepercayaan sang ayah. 

Wajah tegang dan penuh antisipasi, Naya tunjukkan kepada pria berjas rapi yang membawa tas tangan ala orang kantoran itu. Dari dalam tasnya ia mengeluarkan beberapa map yang berisi kertas-kertas penting. 

"Resort yang ada di daerah Ubud telah dijual beliau untuk membayar upah karyawan. Beberapa tahun terakhir perusahaan beliau mendapat masalah serius sampai banyak dari para investor yang membatalkan kontrak dan menyebabkan keuangan kantor menjadi tidak stabil. Oleh sebab itu beliau memutuskan untuk menjual aset berharga untuk menutupi kerugian dan menggaji para pegawai." Jelas pengacara itu panjang lebar.

"Tapi apa mungkin, papa saya punya aset lain yang dia tinggalkan?"

Pak Bagus berdehem panjang seraya membolak-balik kertas ditangannya.

"Satu-satunya aset yang beliau tinggalkan hanyalah rumah ini. Sisanya sudah lama dijual." Jawab pak Bagus "Tapi ada yang beliau titipkan ke saya untuk diberikan kepada mbak Naya."

Setelah menyerahkan amplop surat yang disebutkannya, Pak Bagus pun pamit pergi karena tugasnya sudah selesai. Naya kembali kekamarnya untuk membaca isi dari surat yang ayahnya titipkan kepada sang pengacara. Ada secarik kertas berisi tulisan tangan ayahnya terukir diatasnya.

Dari papa untuk Kanaya.

Papa hanya ingin mengucapkan terima kasih karena Naya bisa mewujudkan mimpi Naya.

Baru membaca satu kalimat air mata Naya jatuh tak dapat tertahan.

Naya selalu berhasil membuat papa bangga sama Naya. Tapi Naya jangan lupa jika ingin membahagiakan orang lain, Naya lah yang harus lebih dulu bahagia.

"Naya akan selalu bahagia selama papa bahagia." Ucap Naya seolah membalas kata-kata dalam surat itu.

Naya jangan terlalu memaksakan diri. Nanti Naya juga yang susah. Papa akan selalu mendukung apapun keputusan Naya ke depannya. Tapi papa minta maaf karena kali ini papa harus lepas tanggung jawab untuk menjaga Naya, mama dan Adit.

"Papa nggak pernah kayak gitu. Papa adalah laki-laki yang sangat bertanggung jawab."

Kalau Naya sudah menerima surat ini mungkin papa sudah tidak bersama kalian lagi. Jadi papa minta tolong sama Naya untuk menjaga keluarga kita. Jangan biarkan mama mengangis dan jangan lupa mengingatkan Adit untuk mengerjakan tugasnya. 

"Pasti pa. Naya nggak akan biarkan mama menangis lagi dan soal Adit serahin aja ke Naya." Kekeh Naya mengingat kelakuan Adit yang malas belajar.

Papa akan pergi dan tidak akan pernah kembali tapi papa akan selalu ada disaat kalian rindu. Papa akan menjaga kalian dari tempat papa sekarang.

Terima kasih, Kanaya.
Putri kecil yang selalu papa banggakan.

To Be Continued.

Naya ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang