Bab 6. Hari Pertama

473 21 1
                                    

Kini Naya berada diruangan pak bos bersama dengan Tias yang menjelaskan apa saja tugas Naya selama dia bekerja sebagai asisten. Begitupula Tias yang memperkenalan Naya secara resmi kepada Arjuna. Pria itu tidak menanggapi perkataan Tias seakan yang wanita itu lakukan hanyalah sebuah formalitas yang sudah berkali-kali ia dengar. Sejujurnya Tias juga malas jika harus menjelaskan hal yang sama secara terus-menerus. Itu juga akibat sikap Arjuna yang seenak jidat memecat asisten yang baru bekerja selama tiga hari hanya karena dia salah memarkirkan mobilnya. Bukankah itu sungguh keterlaluan. Memang!

"Jadi kamu S1 pariwisata. Kuliah dimana?" Tanya Arjuna sambil membolak-balik berkas milik Naya.

Naya terdiam sejenak dan mencoba mengingat kembali dimana tempatnya berkuliah. Bukannya Naya tidak ingat tapi ia tidak tahu kampus mana yang Riska cantumkan didalam daftar riwayat hidupnya.

"Universitas Indonesia pak." Jawab Naya kemudian.

Tampaknya Arjuna sedikit terkejut dengan jawaban yang keluar dari mulut Naya. Dia mengangkat kertas ditangannya dan meminta Naya serta Tias untuk membacanya.

"Universitas Udayana." Gumam Tias setelah membaca lampiran yang ditunjukkan oleh Arjuna.

"Jadi kamu sebenarnya lulusan mana?" Tanya Arjuna yang tampak curiga.

"S1 UNUD sedangkan S2 UI." Jawab Naya cepat.

"Kamu S2? Tapi kenapa disini tidak tertulis apa-apa tentang S2 kamu. Kamu mengarangnya?" Tanya Arjuna lagi.

"S2 nya terpaksa dibatalkan sebab saya harus balik kesini karena ada masalah serius terkait keluarga."

Arjuna dan Tias manggut-manggut. Naya hanya bisa tersenyum canggung untuk menutupi wajahnya yang sudah mulai tegang. Bagaiamana bisa dia sampai salah menyebutkan nama kampusnya? Ini semua gara-gara Riska yang mengatur semuanya membuat Naya kebingungan.

"Baik. Saya rasa sesi perkenalan nya cukup sampai disini. Tias, kamu bisa kembali keruangan kamu sedangkan Nata, kamu tetap disini karena ada yang harus saya bicarakan mengenai tugas-tugas kamu."

Tias mengangguk mengiyakan perintah atasan nya kemudian berlalu pergi meninggalkan Naya dan Arjuna yang masih berada di situasi canggung. Karena melakukan kesalahan yang hampir membuat penyamarannya terbongkar, Naya mulai gemetar ditambah tatapan Arjuna yang membuatnya semakin gugup. Entah apa yang akan Arjuna bahas dengannya. Jelas-jelas tadi Tias sudah menjelaskan semuanya. Apa dia tidak mendengarkan atau dia sudah lupa?

"Apa ada sesuatu yang harus saya tau tentang kamu yang tidak ada didalam berkas ini?" Tanya Arjuna.

Seketika Naya menelan ludahnya. Apa ini? Apa dia sudah ketahuan? Tapi bagaimana mungkin, Naya sudah bersandiwara sebaik mungkin. Apa Arjuna sepintar itu sampai dia langsung tahu kalau Naya bukanlah seorang laki-laki betulan.

"Ma--maksud bapak?" Tanya Naya ragu.

"Iya, misalnya kelemahan kamu. Kamu belum sempat memberi tahu itu ke saya 'kan."

Nafas lega lolos dari mulut Naya. Dia sejenak memikirkan pertanyaan Arjuna. Kelemahan? Sepertinya tidak ada.

"Saya..."

"Kamu mau bilang kalau kamu tidak memiliki kelemahan?" Arjuna berdecih "Sama seperti yang lainnya. Mereka juga berkata demikian tapi hasilnya mereka kabur karena tidak sadar diri."

"Mereka siapa yang bapak maksud?"

"Tidak ada." Arjuna bangkit dan diikuti oleh Naya "Semoga kamu dapat membuktikan kepercayaan diri kamu. Silahkan keluar dan kembali kemeja kamu."

Naya mengangguk kemudian pamit pergi.

"Kita lihat saja, berapa lama kamu dapat bertahan."

***

Naya memijat kakinya yang pegal sebab berlari bolak-balik dari mejanya, ke ruang file lalu ruangan pak bos. Apa Arjuna yang setampan namanya itu akan bersikap seperti ini terus selama Naya bekerja dengannya? Kalau begini lama kelamaan kaki Naya bisa terlepas dari tempatnya. Tapi Naya tidak memiliki opsi lain selain menerima semuanya dengan lapang dada. Dan semoga saja penindasan ini segera berakhir.

Baru saja Naya berdoa agar ini cepat berakhir sekali lagi telepon dimejanya berdering dan Naya yakin sekali kalau itu adalah panggilan dari Arjuna. Naya menarik nafas lalu menghembuskannya lewat mulut. Ia tersenyum terpaksa kemudian mengangkat gagang telepon lalu meletakkannya di telinga sambil tangannya yang sudah siap untuk mencatat.

"Iya pak."

"Kamu ke ruangan saya sekarang."

"Baik."

Dari tadi itu aja yang dia katakan. Keruangannya lah, keruang file lah. Lama-lama Naya jadi hafal dengan setiap perintah yang keluar dari mulutnya. Setelah panggilan terputus Naya beranjak pergi menuju ruangan pak bos yang entah sudah keberapa kalinya Naya menginjakkan kaki disana. Naya mengetuk pintu dan melangkah setelah si pemilik tempat memberinya izin.

Tidak seperti sebelumnya, kini Arjuna sedang menatap keluar jendela yang terbentang luas diruangan nya. Memandangi pemandangan kota yang tampak indah dari ketinggian.

"Ada apa pak?"

Arjuna berbalik "Kamu sudah makan siang?" Tanya nya kemudian.

Okey, ini sedikit mengejutkan Naya.

"Kebetulan belum pak." Jawab Naya cepat.

"Kamu bisa bawa mobil?" Tanya Arjuna lagi.

"Bisa."

"Bagus."

Arjuna melangkah menuju meja kerjanya kemudian membuka laci dan tiba-tiba saja melemparkan sebuah kunci mobil kepada Naya yang dengan sigap ia tangkap.

"Temani saya makan siang diluar."

Belum sempat Naya memproses ucapan Arjuna barusan ia sudah harus mengikuti langkah besar pria itu yang bergerak menuju lift. Naya sampai harus berlari sebab tidak dapat menyesuaikan langkahnya dengan Arjuna yang memiliki kaki sepanjang tiang listrik. Apa dia memakan semacam ranting pohon sampai kakinya jadi sepanjang itu? Entahlah.

Keduanya melangkah masuk setelah pintu lift terbuka. Arjuna menekan tombol menuju basement dan Naya jadi tahu kalau gedung ini punya area basement. Mungkin diperuntukkan bagi pengendara mobil saja. Atau bisa juga hanya untuk pak bos. Tepat sekali tebakannya karena di basement yang memiliki luas hampir seperti lapangan bola itu hanya ada satu mobil dan Naya langsung tahu kalau mobil itu milik Arjuna.

Naya duduk dibangku sopir sedangkan Arjuna duduk dibangku belakang bersikap seolah Naya adalah bawahan dan dia atasan walaupun memang itu fakta nya. Setelah memasang sabuk pengaman, Naya mulai tancap gas dan keluar dari area basement yang ternyata letaknya tidak terlalu jauh dari tempat parkir karyawan.

Dengan mengikuti arahan google maps, Naya dibawa ke sebuah restoran yang tampak cukup sederhana. Mirip rumah makan padang tapi versi Bali. Naya mengecek map sekali lagi untuk memastikan kalau dia tidak salah alamat.

"Ayo turun." Ajak Arjuna.

Eh? Dia tidak salah alamat ternyata.

"Iya, pak."

Mereka masuk kedalam restoran itu dan disambut hangat oleh seorang bapak-bapak yang terlihat seperti pemilik dari tempat itu.

"Kayak biasa ya pak." Ucap Arjuna kepada si bapak.

"Okey. Adiknya mau pesan apa?"

Arjuna terkekeh "Dia bukan adik saya, tapi asisten saya. Jangan salah kaprah, mana mungkin saya punya adik pendek kayak gini."

Dalam hati Naya mengutuk dan mencaci maki Arjuna karena mengatakan bahwa dirinya pendek. Tinggi tubuh Naya sudah standar wanita pada umumnya malah sebaliknya Arjuna lah yang melewati batas kewajaran tinggi manusia.

"Iya, iya. Jadi mau pesan apa?"

"Nasi goreng sama es teh tawar aja, pak." Kata Naya.

Bapak itupun pergi untuk menyiapkan makanan.

"Bapak sering kesi--"

"Arjuna!"

Panggilan itu sontak membuat Arjuna menoleh begitupula dengan Naya yang mencari sumber suara. Dipintu masuk berdiri seorang wanita yang tidak asing bagi Naya.

Riska?!

To Be Continued.

Naya ArjunaWhere stories live. Discover now