Chapter 50

18.2K 2.5K 392
                                    

P E M B U K A

Saat itu usia Yuda di penghujung angka belasan. Pulang lebih awal lantaran acara tiba-tiba batal, kedatangannya disambut oleh Hanna yang sedang menangis di sofa ruang tamu. Sendirian. Kondisi ruang tamu berantakan. Kepingan pecahan vas bunga tercecer di dekat Hanna. Yuda juga menemukan memar samar di bawah tulang pipi. Meski wanita itu sudah mengatakan kalau dirinya baik-baik saja dan kekacauan terjadi karena kondisinya yang membutuhkan pelampiasan atas rasa penat, Yuda tidak serta-merta percaya. Diam-diam ia mencari tahu. Dimulai dari orang terdekat: Bagaspati.
Keingin tahuannya ini menjadi cikal kebencian pada seseorang yang ia panggil Ayah. 

Fakta jika Bagaspati menghancurkan kepercayaan Hanna mendatangkan kemarahan hebat tak termaafkan.
Yuda melakukannya dengan kesadaran penuh dan tidak ada penyesalan sedikit pun ketika pukulan keras yang dilayangkan membuat Evelyn tergeletak bersimbah darah dengan mulut tak berhenti menggumamkan kata maaf. Yuda menikmati momen ketika darah wanita itu merembes keluar melumuri gaun putih anak kecil yang menangis ketakutan di dekatnya.

Hati nuraninya sudah mati.
Tidak ada rasa belas kasih tersisa, pun ketika melihat punggung anak kecil itu bergetar hebat dengan suara tangis kian menyesakkan. Bahkan saat anak kecil itu tertatih menghampirinya untuk meminta pertolongan dengan suara terbata-bata, Yuda menyentak kakinya kasar sampai anak kecil bergaun putih itu terhempas ke sudut ruangan. Sedetik kemudian balok di genggaman dilempar. Sedikit lagi balok itu jatuh mengenai anak kecil yang mengerang pilu menyentuh pundaknya yang baru saja menubruk dinding. Saat itu juga Evelyn dengan kondisinya yang memprihatinkan, menghampiri dan memberi pelukan sebagai upaya untuk melindungi si gaun putih. Dari tempatnya, Yuda mendengar semua. Mulai dari aduan, rengek kesakitan si gaun putih sampai kalimat-kalimat menenangkan dengan suara lirih dari Evelyn yang berusaha keras agar tetap sadar.

Yuda tidak pernah menyangka kalau di masa depan ia jatuh cinta pada gadis yang ternyata adalah anak kecil bergaun putih bersimbah darah dari masa lalu. Anak kecil yang pernah memohon dengan sangat, namun diabaikan begitu saja. Yuda mengingat baik. Setiap langkahnya diiringi jerit tangis anak kecil yang begitu naif karena masih berharap dan percaya ada kepingan rasa kasihan tersisa untuknya.

Sorot matanya yang penuh luka dan harap,
suara isak tangisnya,
dan kalimat permohonan yang terbata-bata itu hadir di malam-malam setelah ia mendapat kabar kematian Evelyn dan si anak kecil bergaun putih. Hadirnya menggerus habis ketenangan dan mendatangkan gelombang rasa takut yang menghantamkan rongga dada. Butuh waktu cukup lama untuk membuatnya berdamai dengan rasa takut itu. Ia tidak melewatinya sendiri. Ada Hanna yang setia menemani.

Setelah bertahun-tahun berlalu, saat Yuda sudah mendapatkan ketenangannya kembali, rasa takut itu datang lagi ketika mengetahui siapa Jia. Pantas saja ia tidak asing dengan sorot mata yang gadis itu miliki. 

"Kenapa waktu itu Mas Yuda pergi? Apa Jia kurang keras teriaknya jadi Mas Yuda nggak denger? Padahal kalau waktu itu Mas Yuda mau tolongin, mungkin hari ini Jia masih punya mommy."

Baby GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang