Chapter 53

29.3K 2K 430
                                    

P E M B U K A

Keyakinan buat publish chapter ini dan chapter 54 tuh masih 25% alias aku nggak rela 2 chapter itu rilis nantinya 😥

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keyakinan buat publish chapter ini dan chapter 54 tuh masih 25% alias aku nggak rela 2 chapter itu rilis nantinya 😥

Tapi mau gimana lagi

Semoga berani rilis chapter 54 nanti tanpa ganti apapun alias sesuai yang kutulis kemarin-kemarin.

***

Sampai lima belas menit sejak kelopak matanya terbuka karena terusik oleh suara Janu, Jia belum mengubah posisi baringnya. Masih meringkuk terbungkus selimut tebal bersama boneka bebek dalam dekapan. Selama itu juga kegiatannya hanya satu. Memandangi wajah serius penuh wibawa Janu yang sedang berdiskusi dengan rekan kerjanya lewat Zoom.

Sebisa mungkin Jia tidak bergerak atau menciptakan suara apapun yang berpotensi mengusik. Dinilai dari nada bicara Janu mulai meninggi, respons peserta Zoom yang lain, sampai timbul perdebatan sengit, Jia pikir mereka pasti sedang berdiskusi tentang hal serius. Jadi, tidak boleh diganggu. Termasuk olehnya.

Sejak bangun tidur, tenggorokannya memang terasa tidak nyaman. Kering sekaligus gatal. Beberapa kali Jia berdehem sepelan mungkin untuk mengatasi rasa tidak nyaman itu. Batuk yang terus memberontak juga terus ditahan-tahan agar tidak keluar. Karena itulah rasa tidak nyaman di tenggorokan semakin menjadi hingga suara batuk kerasnya lepas tanpa bisa ditahan-tahan lagi.

"Uhuk uhuk."

Refleks Janu menolehkan kepala begitu mendengar suara itu. Mendapati Jia-nya tengah berusaha meredam suara batuk dengan menutup mulut, pria itu langsung meninggalkan sofa. Gelas berisi air mineral sisanya, disambar sebelum melangkah cepat menghampiri si kecil.

"Jangan ditutupi. Nggak papa, keluarin aja batuknya," kata Janu begitu duduk di tepi ranjang. Dengan cekatan ia bantu Jia agar duduk. Baru setelah si kecil duduk sempurna, pria itu mengangsurkan gelas, dan meminta Jia minum pelan-pelan.

Ketika air mineral mulai diteguk, Janu pijat lembut area sekitar ibu jari gadisnya. Saat itulah ia rasakan kalau suhu tubuh Jia-nya tidak normal. Punggung tangan kiri segera dibawa ke dahi guna memastikan. Benar. Gadis dengan pipi dan hidung sedikit memerah itu demam.
"Sayang ... kok nggak bilang-bilang kalau badannya panas gini hmm?" tanya Janu khawatir ketika menerima gelas kosong.

"Anget doang, Om. Jia nggak papa."
Kendati sudah mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, tidak serta merta membuat raut khawatir pergi dari wajah pria yang sedang mengusap kepalanya penuh sayang.

"Nggak papa gimana?" sewot Janu bukan dengan nada yang biasa digunakan. Mengambil satu bantal, ia selipkan di belakang punggung Jia agar gadisnya bisa bersandar lebih nyaman. "Badannya panas gini kok bilang nggak papa? Lupa, ya, kalau aku pernah minta kamu buat kasih tau aku kalau terjadi sesuatu sama kamu. Sakit ya bilang sakit. Jangan diem-diem kayak gini apalagi sampe bilang nggak papa. Iya kalau akhirnya aku bisa peka sendiri, kalau nggak?  Tuh, tuh, batuk lagi. Kayak gitu masih mau bilang nggak papa? Biar apa coba? Biar nggak diurusin? Mau ngapa-ngapain sendiri?"

Baby GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang