Bab 17 ~ Harus Apa?

770 89 9
                                    

Tubuh Langit masih terkulai lemas di atas brangkar rumah sakit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Tubuh Langit masih terkulai lemas di atas brangkar rumah sakit. Matanya masih terpejam sempurna, setengah wajahnya tertutup masker oksigen, tidak lupa juga jarum infus yang bertengger di punggung tangannya.

Setengah jam yang lalu, Langit sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Bahkan dokter sudah mengizinkan Rei, Azriel dan Arfian untuk menemui dan menemani Langit.

Rei menatap sendu wajah pucat adiknya itu. Sungguh, ingin rasanya Rei mencabik-cabik wajah Angkasa yang membuat Langit terbaring lemah di rumah sakit.

"Cepat bangun, Dek. Hati gue gak tenang lihat lo tutup mata gini. Ayo bangun, tunjukkan senyum manis lo itu." Rei mengusap lembut surai hitam legam milik Langit. Tanpa tersadar, Rei menitikkan air matanya.

Azriel perlahan mendekati Rei, disusul oleh Arfian di belakangnya. Awalnya mereka hanya berdiri di dekat pintu, tanpa membuka suara sedikitpun.

Azriel menepuk pundak Rei pelan beberapa kali, guna menyalurkan semangat untuk pemuda berwajah blasteran itu.

"Kata dokter, Langit sebentar lagi siuman. Kita tunggu aja, lo gak perlu khawatir. Langit pasti baik-baik saja," ucap Azriel berusaha untuk menenangkan Rei.

Rei mengusap air matanya. Benar kata Azriel, ia harus berpikir positif.

"Iya, Bang. Btw, thanks, ya. Udah mau antar Langit," ucap Rei pelan.

"Sama-sama. Santai aja, Rei. Gue udah anggap Langit kayak adek gue sendiri. Mulai sekarang, kita harus saling menjaga Langit. Gue paham sifat Angkasa, anak itu agak sulit melupakan masa lalu." Arfian ikut membuka suara.

Azriel dan Arfian sudah berteman dengan Angkasa sejak sekolah dasar, membuat mereka sangat paham dengan sifat Angkasa yang keras kepala.

"Gue janji bakal bantu semampu gue untuk menyatukan kembali kakak beradik ini. Jujur, posisi Langit saat ini jauh lebih sakit dari Angkasa," kata Azriel ikut menimpali perkataan Arfian.

"Gue juga gak nyangka kalau bang Angkasa segitu bencinya sama adek kandung sendiri. Dia masih belum bisa menerima takdir, padahal kejadian itu udah sepuluh tahun berlalu." Rei kembali menatap Langit sendu.

Tiba-tiba tiga pasang mata menangkap pergerakan kecil dari jari-jari Langit. Lenguhan sedikit terdengar dari mulut Langit. Perlahan, bola mata hazel itu terbuka dengan sempurna, walaupun masih sedikit penyesuaian cahaya lampu yang masuk.

"Langit! Ada yang sakit? Mana yang sakit? Lo mau apa? Makan? Minum? Atau mau gue panggilkan dokter? Ayo bilang aja, gak usah segan."

Baru saja membuka mata. Langit langsung diserang pertanyaan bertubi-tubi dari sahabat satu-satunya itu.

Di balik masker oksigen yang dikenakannya, Langit tersenyum manis menanggapi pertanyaan Rei. Langit tau jika Rei sangat menghawatirkannya.

"Tanya satu-satu," kata Azriel sedikit geram saat mendengar suara cerewet dai Rei.

AstrophileWhere stories live. Discover now