Bab 23 ~ Kepalsuan?

717 88 4
                                    

Langit melihat pantulan wajah manisnya melalu cermin besar yang menempel di pintu lemari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit melihat pantulan wajah manisnya melalu cermin besar yang menempel di pintu lemari. Seragam sekolah sudah melekat rapih, menandakan bahwa anak laki-laki itu akan pergi ke sekolah seperti biasa.

Remaja laki-laki yang memiliki senyum indah itu bergegas keluar meninggalkan kamar barunya di rumah Bumantara. Langkahnya dengan santai menuruni anak tangga yang menghubungkan antara lantai satu ke lantai dua.

Langit melangkah kakinya menuju meja makan. Matanya dapat menangkap sosok Angkasa yang sudah terlebih dulu menikmati sarapan paginya.

"Pagi, Bang," sapa Langit dengan melirik sekilas ke arah Angkasa.

"Ya," jawab Angkasa singkat tanpa melihat Langit.

Mata Langit meneliti mencari sosok ayahnya yang belum memperlihatkan batang hidungnya.

"Ayah mana, Bang?" tanya Langit sambil mencomot roti bakar selai coklat yang sudah disediakan oleh maid yang bekerja.

"Pergi."

Lagi-lagi Langit mendengar jawaban yang sedikit ketus dari Angkasa. Ada apa dengan abangnya itu? Apa sedang ada masalah? Begitulah yang saat ini Langit pikirkan.

Langit lebih memilih untuk diam, sambil menikmati sarapan paginya. Daripada semakin merusak mood Angkasa, lebih baik ia diam saja.

Terdengar helaan napas panjang dari Angkasa.

"Langit," panggil Angkasa.

"Ya?" tanya Langit.

"Lo jangan pernah berharap lebih sama gue maupun ayah."

Hati Langit nyeri seperti ditikam sebilah pisau tajam. Jangan berharap lebih? Apa maksudnya? Tanpa tersadar, Langit menitikkan air matanya.

Setelah mengucapkan kalimat menyakitkan itu. Angkasa beranjak pergi meninggalkan meja makan. Menyisakan Langit yang masih terdiam mencerna ucapannya.

"Mereka berbohong? Mereka tidak benar-benar menerimaku?"

Langit berniat menyusul Angkasa. Namun, abangnya itu sudah melesat pergi meninggalkan rumah menggunakan sepeda motor.

"Yah... Ditinggal," ucap Langit sedikit. Sepertinya pagi ini dirinya harus berangkat sekolah menggunakan angkutan umum.

Jarak rumahnya menunju halte terbilang jauh, bisa menghabiskan waktu nyaris lima menit jika berjalan kaki.

Langit menelusuri jalan raya dengan kepala yang menunduk menatap aspal hitam yang dipijaknya. Tiba-tiba sebuah sepeda motor menghampirinya, lalu berhenti tepat di depan Langit.

AstrophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang