Prolog

2.1K 107 43
                                    

— PERAHU KERTAS —

Bita Jelita Anatari termenung dalam kegugupan. Besok adalah hari yang paling ia nantikan, yakni pertemuan dengan pembaca-pembaca novelnya yang berjudul Perahu Kertas. Ceritanya mendadak booming begitu dipublikasikan, hal tersebut dikarenakan para pembaca tertarik pada alurnya yang ternyata terinspirasi dari kisah nyata. Kisah yang diambil dari Sang penulis itu sendiri—Bita.

"Penting buat kamu fokus pada pelajaran dan dapat nilai yang sempurna, penting juga buat kamu ingat bahwa kamu harus lanjut kuliah ke Amsterdam."

"Mama ngga suka kamu ikut-ikutan event menulis, Mama ngga suka kamu jadi penulis, ngga ada faedahnya."

"Mama sama Papa ngga suka, Abang juga ngga suka, soalnya rambut kamu sering rontok setelah keseringan ngetik cerita ngga jelas."

Bita bukan tipikal anak pembangkang, tetapi kali ini dia ingin sekali menunjukkan kepada keluarganya kalau hasil dari kerja kerasnya itu menghasilkan karya. Menghabiskan waktu yang tak sebentar saat menyusun satu novel ini, terlebih Bita hanya seorang remaja yang masih kelas sebelas. Namun, rasa percaya diri serta dorongan untuk menunjukkan pada keluarganya membuat dia banyak menghabiskan waktu dengan menyusun alur cerita. Dari sekian banyak cerita yang ia publikasikan ke media, Perahu Kertas menjadi karya pertamanya yang akan terbit.

"Kamu kalau mau pulang ke rumah Mama kamu dulu, soalnya Papa mau liburan sama keluarga Papa."

"Ta, kalau mau liburan sama Papamu dulu, Mama sibuk kerja soalnya."

"Abang belum bisa pulang, Dek."

Padahal Bita ingin mengatakan sekaligus mengundang mereka ke acara penerbitan novelnya nanti. Sudah terjadwal, besok Bita akan bertemu dengan pembaca-pembaca novelnya untuk sekaligus menandatangani buku-buku yang mereka beli secara langsung dari perusahaan penerbitnya. Dia juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada para pembaca yang telah meluangkan waktu mendukungnya.

Dering panggilan mengalihkan atensinya, tanpa pikir panjang Bita menerima panggilan tersebut. Tertulis nama Jangan Diangkat Dia Kriminal, tapi Bita menerima juga panggilan masuk darinya. Abian Gardara  nama sungguhannya, sahabat Bita dari usia delapan tahun.

"A-assalamualaikum, Bie~"

Bita mengernyit. "Waalaikumsalam, kenapa?"

"Hehe, bisa ketemu? Besok lo bakalan sibuk pastinya."

"Bin. Gue takut, gue takut gugup saat acara dimulai, gue takut tiba-tiba gue ngga bisa ngomong sama sekali di depan mereka."

Terdengar suara tawa di seberang sana. "Bie, gue bakalan datang paling awal, gue bakalan jadi orang pertama yang minta tanda tangan lo, jangan khawatir."

"Benar, ya, Bin? Nanti lo bakalan duduk di depan juga, lo bakalan senyum ke gue dan bilang ke gue kalau gue pasti bisa."

"Bisa! Bisa! Bisa!" Abian berseru dengan semangat di seberang sana. "Ingat? Lo bakalan kasih bukti ke orang tua lo, kalo jadi penulis itu bermanfaat, dan semua yang lo kerjain itu menghasilkan karya! Btw, besok gue boleh baca novelnya, 'kan?"

Bita memejamkan matanya, ia menggigit bibir bawahnya sendiri.

"Bin, capek."

"Bie, ada gue di sini."

"Capek~"

Panggilan itu Bita akhiri, ia matikan daya ponselnya begitu saja lalu merebahkan dirinya dan menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut.

Pada tengah malamnya, media sosial SMA Cakrawala mempublikasikan artikel kabar duka atas kematian salah satu murid mereka. Kuat dugaan korban melakukan tindak bunuh diri.

Perahu kertasnya tenggelam satu.

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasWhere stories live. Discover now