Rasanya Bukan Sahabat

153 27 14
                                    

— PERAHU KERTAS —

Setelah perjuangan yang cukup menguras tenaga, akhirnya mereka mendapatkan serangga yang dicari-cari. Kalau boleh jujur, mencari sesuatu dengan orang-orang yang membuat nyaman itu terasa menyenangkan, malahan waktu rasanya berjalan lebih cepat, hingga memaksa mereka untuk pulang.

Kedatangan Sona—gebetan Bang Juna, membuat malam Bita lebih baik. Bagaimana tidak? Meja makan dipenuhi oleh sajian masakan yang sengaja dibuat Sona atas izin Bang Juna. Tujuannya ke sini sebenarnya juga mau bertemu dengan Bita.

Sona satu tahun lebih tua dari Bita, ia pun merupakan senior di sekolahnya yang dikenal dengan julukan primadona, bergabung dengan Arin—sahabatnya Sekala. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Bita pada Sekala lagi, karena perasaan itu telah tenggelam.

"Kak Sona pinter banget masaknya," ucap Bita. "Bisa kali sering-sering masakin Bita."

"Ta," tegur Arjuna. "Jangan didengarin, Bita memang suka aneh-aneh."

Sona terkekeh. "Ngga apa, kali, Kak. Lagipula aku ngga bakalan ngeracunin Bita."

"Bukan begitu, dia suka ngelunjak kalo dibaikin."

Bita mendelik, ia memaksa satu sendok makanan masuk ke mulutnya dengan tatapan yang tak lepas dari Sang abang. Punya abang seperti Arjuna itu awalnya anugerah, tapi kalau sudah keluar sifat aslinya berubah jadi musibah.

"Ta, Kakak bawain soal-soal kemarin buat dibaca-baca sebelum ulangan," kata Sona. "Baru kekumpul semuanya."

"Wah~" Bita menerima satu tumpuk kertas ulangan tersebut. "Kak Sona memang terbaik, makasih banyak, ya, Kak."

Sona balas tersenyum. "Ngga masalah, Ta. Semoga bisa membantu kayak tahun sebelumnya."

"Pastilah, Kak." Bita mengacungkan jari jempolnya. "Bang Juna, lihat Kak Sona, nih. Dia membantu Bita, ngga kayak Abang."

Arjuna sih hanya senyum-senyum saja, sambil sesekali melirik Sona dengan penuh arti. Berkat perkenalan singkat Bita saat MPLS berujung akrab dan membantu saat ulangan semester tiba. Tahun kemarin, Bita dapat nilai bagus karena mempelajari soal-soal tahun sebelumnya dari Sona. Saat pertama kali main ke rumah, Abang Juna langsung jatuh hati padanya.

"Kakak nginep di sini?" tanya Bita. "Tidur di kamar Bita aja, di sana aman, kok."

Sona memicingkan matanya berpikir. "Kayaknya ngga, soalnya di rumah lagi ada Ibu sama Ayah, jadi setelah ini langsung pulang."

"Yah," keluh Bita. "Kakak ke sini dari sore, ya? Harusnya Bita pulang buru-buru tadi."

"Ngga apa, kali," sahut Arjuna. "Nanti Abang yang anterin Sona pulang."

Kedua sudut bibir Bita terangkat membentuk senyuman penuh curiga, tentu saja hal itu membuat Arjuna memalingkan pandangan ke sembarang arah. Panik dia, wajahnya sampai merah-merah pula.

"Saya anterin, mau?" tawar Arjuna.

"Boleh," jawab Sona. "Kalo ngga ngerepotin, hehe."

"Santai aja, kali," kata Arjuna. "Malahan saya berterima kasih karena kamu mau masak sebanyak ini, terus kasih Bita bantuan buat ulangan pula."

"Bita udah kenyang, nih!" seru Bita. "Ini Bita boleh ke kamar duluan, ngga? Soalnya masih ada tugas."

"Ya udah, sono!" usir Arjuna.

Bita mendelik. "Awas, Bang Juna buaya."

"Ta, kalo mau ke kamar ya ke kamar aja!" tegur Arjuna yang tak mau semua aibnya dibuka oleh Bita.

"Bawel!" cetus Bita. "Papay Kak Sona, makasih bantuannya, dan semoga Kakak cepat peka~"

"Bitaaa, pergi!" desak Arjuna.

"Lho?" Sona kebingungan. "Aku ke sini buat ketemu sama Bita, kenapa kamu usir dia?"

"Saya mau bicara serius sama kamu, Na."

— PERAHU KERTAS —

Pada pukul 20.00 Bita menerima pesan masuk dari Abian. Tanpa pikir panjang dia langsung ke luar rumah dan mendapati cowok itu sudah menunggunya. Bita bingung kenapa tiba-tiba Abian minta bertemu, tapi kemudian Bita ikut juga saat Abian mengajaknya ke danau.

Abian bawa karpet dari rumah, dia juga bawa beberapa camilan untuk menemani obrolan malam ini, jangan lupakan kertas origami yang akan dijadikan tempat melampiaskan keluh kesah di pikiran.

Keduanya menulis untuk waktu yang tak lama, kemudian melipat kertas tersebut hingga membentuk perahu seperti biasanya. Mereka apungkan perahu kertas tersebut di atas danau, mereka berikan dorongan menggunakan telapak tangan sehingga perahu tersebut melaju hingga ke tengah danau.

"Ada apa, Bin?"

"Ngga apa," jawab Abian. "Cuma mau lebih sehat dari sebelumnya aja."

Bita meraba kening Abian memastikan, ia mengernyit bingung karena suhu tubuh cowok ini terpantau normal. Lalu, Bita memiringkan kepalanya yang membuat Abian spontan menyungging seulas senyuman tipis.

"Pusing lagi?" tanya Bita. "Tensi lo naik lagi?"

"Iya."

Bita mencebikan bibirnya. "Udah makan? Minum obat?"

"Udah, makanya bisa nyamperin lo juga, cuma butuh temen ngobrol aja."

Bita manggut-manggut paham. "Mikirin apa, sih, Bin?"

"Mikirin lo."

Plak!

Tangan ringan Bita berhasil mendarat sempurna di pipi mulus Abian. Cowok itu meringis sakit, tapi tetap mempertahankan senyumannya karena sudah biasa dengan perbuatan sahabatnya ini.

"Serius, Bie."

"Apasih? Lo ngga usah mikirin gue, gue aja ngga pernah mikirin diri sendiri," protesnya. "Fokus aja sama hal-hal yang baik, biar tensi lo ngga naik."

"Coba sini gue lihat lukanya."

Abian masih kepikiran pastinya. Dia melihat dengan jelas bagaimana Bita harus menahan tubuhnya saat motor Nathan hampir menabrak mobil hilang kendali itu. Lukanya perlahan mengering, berarti obatnya bekerja dengan baik.

"Bin, ngga apa, ini luka ringan," kata Bita. "Lo ngga perlu secemas itu. Apa yang lo pikirin sebenarnya, hah?"

Pandangan Abian jatuh ke bawah, senyuman di bibirnya menghilang seketika. Lalu, Bita mengangkat dagunya yang membuat cowok itu kembali menunjukkan senyumannya.

"Bie, jangan jauh-jauh dari gue, ya," katanya. "Lo itu ibaratnya orang penting dalam hidup gue."

"Bin."

"Gue tahu, lo pasti sedih karena habis diputusin sama Bang Sekala, ditambah sebentar lagi ... Om Pram bakalan menikah."

Bita mengalihkan jemarinya ke pipi mulus Abian, ia menepuk-nepuknya sambil terkekeh gemas.

"Ini yang membuat gue bangga punya sahabat kayak lo, Bin," ungkap Bita. "Tanpa bicara lo selalu tahu apa yang gue butuhkan, tanpa dikasih tahu lo selalu datang ke gue."

"Sehat-sehat, ya, Bie." Abian makin mengembangkan senyumannya. "Kita harus sering ketemu entah itu besok atau sampai beribu-ribu hari berikutnya. Ingat, yang sayang sama lo itu banyak."

Bita tidak tahu kenapa tiba-tiba ada dorongan untuk memeluk Abian. Dia merasakan betapa hangatnya Abian saat membalas pelukannya, betapa nyamannya ketika Abian memberikan usapan-usapan lembut di punggung.

"Nanti temenin gue ke nikahan Papa, bisa?"

"Bisa banget, nanti gue siapin baju yang keren supaya lo ngga malu jalan di samping gue."

Bita dan Abian kalau sedang akur adem, ya. Rasanya seperti mereka bukan sahabatan, tapi lebih dari itu.

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasМесто, где живут истории. Откройте их для себя