Putus

170 37 48
                                    

— PERAHU KERTAS —

"Sepertinya kamu sudah punya pilihannya."

Bita terperanjat kaget, dia hampir saja melompat dari atap gedung sekolah karena dikejutkan oleh suara Sekala yang datang secara tiba-tiba. Seharusnya Bita berdiri di lapangan karena hukuman Pak Feri, tetapi dia melipir ke atap gedung sekolah untuk menyejukkan pikiran. Dan tanpa memberitahu, Sekala datang ke sini.

"Kamu mau hubungan kita berakhir karena ingin mempertahankan hubungan persahabatan kamu?" tanya Sekala.

Bita hanya bergeming.

"Tapi, apa kamu dan Abian benar-benar hanya sebatas sahabat?"

Bita memejamkan matanya, dia berbalik menghadap pada Sekala yang berdiri di sana sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Cowok itu sedikit mengangkat dagunya, memberi kesan angkuh.

"Kita tidak bisa melanjutkan hubungan kita, saya ngga mau terus-terusan ngeliat kamu berduaan sama sahabat kamu itu."

Bita masih belum bersedia untuk buka suara. Sebenarnya agak sakit begitu mendengar Sekala memutuskan hubungan sepihak, tetapi di sisi lain Bita merasa lega dan bisa lebih bebas berinteraksi dengan Abian seperti biasanya.

"Aku juga udah muak sama hubungan kita, Kak," balas Bita. "Aku pikir ... aku memang suka sama Kakak, tapi ternyata aku cuma kagum saja."

"Oh, jadi begitu rupanya."

Bita mengangguk. "Aku ngga keberatan, akupun ... berharapnya kita tetap baik-baik aja setelah ini."

"Kamu suka sama Abian?" tanya Sekala.

"Memangnya buat apa Kakak tahu soal perasaan aku? Rasa penasaran Kakak udah terbayar, ternyata aku ngga sesuai dengan harapan Kakak, 'kan?"

"Jawab saya, kamu suka Abian, 'kan? Laki-laki yang sebenarnya kamu sukai itu Abian."

"Kakak ngga perlu tahu, yang pasti sekarang ... aku lega bisa putus dari Kakak."

"Jawab saya, Bita."

"Kalau begitu, Kakak suka sama Kak Arin, 'kan?"

Kedua tangan Sekala mengepal dibuatnya, pertanyaan Bita bermaksud membalikan keadaan agar bukan dirinya saja yang terpojok saat ini. Rahangnya mengeras dengan sorotnya yang menajam, reflek Bita mundur selangkah dan berpegangan pada ujung tembok penghalang atap sekolah tersebut.

"Bie, gue bawain lo bakwan—"

BUGH!

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Abian menerima tinjuan keras di hidungnya sampai keluar darah. Bita membekap mulutnya sendiri tidak percaya, dia lantas maju memberanikan diri menahan Sekala agar tak melakukan tindakan lainnya.

"Kakak apa-apaan, sih!"

"Sebenarnya kalian berdua saling menyukai, 'kan?" tanya Sekala. "Munafik!"

Setelah mengatakan itu Sekala melengos pergi, menyisakan Abian yang mati-matian menahan nyeri akibat dari tinjuan Sekala. Bita berjongkok di hadapan Abian, dia mengusap jejak darah yang mengalir begitu saja dari hidung Abian.

"Bin, lo masih kuat, 'kan?" tanya Bita cemas. "Duh, kenapa lo tiba-tiba masuk, sih? Kenapa ngga ketuk dulu pintunya?"

Abian menunduk, ia membiarkan darah itu mengalir dengan sendirinya agar terasa lega. Bita mengusap-usap punggung cowok itu, sesekali dia menatap wajah Abian yang tersembunyi karena menunduk.

"Bin~" panggil Bita seraya mengguncang lengan cowok itu. "Bicara dulu, gue ngga tenang, ah."

"Keras banget, anjir," komentar Abian. "Hidung gue masih mancung, ngga, sih?"

"Bin, maafin Kak Sekala, ya," sesal Bita. "Gue juga ngga paham sama dia. Coba sini liat lukanya."

Abian barulah mengangkat kepalanya setelah dirasa darah itu berhenti mengalir, dia biarkan Bita memeriksa wajahnya. Detik berikutnya secara tidak direncanakan pandangan mereka bertaut, dan tautan itu berlangsung selama hampir dua menit lamanya.

"Bie," panggil Abian.

"Eh? Kenapa, Bin?" Bita panik saat Abian tiba-tiba saja menjatuhkan kepalanya di bahu Bita. "Bin, lo pusing, ya? Duh, jangan pingsan di sini, gue ngga bisa ngangkat lo ke bawahnya."

"Lo udah putus dari Bang Sekala?"

"Ih, kenapa lo bahas hal yang ngga penting itu, sih?" tanya Bita sewot. "Lo ngga apa, 'kan? Pusing? Apa gimana? Buruan bilang!"

Bukannya menjawab, Abian malah merengkuh tubuh Bita yang menyebabkan heningnya suasana di atap sekolah tersebut sekarang juga. Kedua tangan Bita berada di dada Abian, sebelumnya dia ingin menolak pelukan namun Abian sudah terlanjur merengkuhnya.

"Lo jangan sedih, Bie," ucap Abian. "Diputusin sama orang yang lo suka pasti sakit banget, tapi gue mohon buat lo jangan sedih, ya?"

Bita dorong dada cowok itu hingga pelukannya lepas, Bita menatap sinis Abian yang memasang raut wajah memelas minta dikasihani. Hidungnya merah begitu, saking kerasnya pukulan Sekala tadi.

"Gue udah lama pengin putus dari Kak Sekala, kok," ucap Bita terus terang. "Penting buat lo tahu, kalo gue baik-baik aja sekarang dan sampai seterusnya."

Iyalah baik-baik saja, sudah dipeluk Abian.

Dan di ambang pintu sana, Nathan berdiri menyaksikan momen manis di antara sepasang insan tersebut. Tapi dia tidak marah, dia hanya sedikit merasakan sensasi tak suka melihat mereka sedekat itu, apalagi sampai peluk-pelukan.

"Pusing, Bie," keluh Abian.

"Ya udah, ayo ke uks."

Nathan berlalu pergi dari sana, dia tak sedikit pun ada niat untuk memanggil dan memberitahukan kehadirannya pada Bita ataupun Abian.

Bita menarik sebelah tangan Abian ke bahunya, ia rangkul cowok itu agar berjalan seimbang sampai ke tempat tujuan. Pasti masih sakit hidungnya, terpukul sedikit saja rasanya sudah nyeri minta ampun, apalagi jika ditinju seperti Abian.

"Lo kenapa datang, sih?" tanya Bita sewot. "Kan, gue ngga minta lo buat datang ke gue."

"Bakwan Bi Inah udah ada, gue tahu lo suka jadi gue beli buat lo," tuturnya. "Tapi maaf, bakwan limited edition buatan Bi Inah harus jatuh tadi, kaget gue tiba-tiba dipukul."

"Berisik lo!"

Meskipun Bita menanggapinya dengan sinis, tetapi cewek ini masih terus berjalan tanpa berniat melepaskan lengan Abian agar tetap dalam rangkulannya. Abian kalau pusing memang benar-benar pusing, Bita takut kenapa-kenapa soalnya.

"Ta, gue serius, deh," ujarnya tiba-tiba. "Kalau sepuluh tahun ke depan kita masih sama-sama sendiri, kita nikah, yuk!"

Bita mencubit pinggang Abian gemas, cowok itu kontan meringis sakit dibuatnya.

"Diam berarti iya, ya?" tunjuk Abian. "Diam berarti lo mengiakan saran gue."

"Emang sepuluh tahun ke depan kita masih hidup?" tanya Bita.

Abian menoleh ke arah Bita dengan cemas, dia yakin kalau sahabatnya ini memang memiliki banyak ketakutan dalam hidupnya. Setelah kedua orang tuanya berpisah, dia jadi banyak menanggung beban tuntutan dari kedua belah pihak. Papa dan Mama minta agar dirinya mendapatkan nilai terbaik di kelas. Mama jarang ke rumah, dan Papa akan menikah beberapa hari lagi. Bita rindu suasana rumah, tapi rumahnya sudah hancur.

"Bie," panggil Abian lemah lembut.

"Ngga apa, yang penting Papa sama Mama sehat, Abang sehat, gue juga bakalan sehat."

"Janji, ya?" Abian mengulurkan jari kelingkingnya. "Berjanji buat selalu sehat dan panjang umur."

Bita mengangguk dan menautkan jari kelingkingnya erat. "Ayo kita ketemu lagi di masa depan dengan versi yang lebih baik, makin baik, dan semakin baik."

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasWhere stories live. Discover now