Tiga Dini Hari

212 41 16
                                    

- PERAHU KERTAS -

"Hmm, kenapa?"

"Bie, gue di klinik Bunga."

Bita beranjak duduk seketika, bahkan dia melupakan kalau tata cara bangun dari tidur yang baik ialah dengan membiarkan tubuhnya rileks terlebih dahulu. Memang dasar Abian, tidak kenal waktu kalau menelepon. Dilihatnya Jiah dan Jihan yang tidur di sampingnya, mereka berdua masih tidur nyenyak padahal Bita melakukan gerakan yang tiba-tiba dan bahkan terjadi guncangan.

"Iya, gue otw ke sana."

"Duh~" Jiah mengaduh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ada gempa, ya?"

"Hmm, masa, sih?" sahut Jihan serak.

Tapi mereka tidak lanjut bersuara lagi setelah guncangan itu berakhir. Bita kini mengambil jaket tebal, sebelum benar-benar pergi dia membasuh wajahnya terlebih dahulu. Saat ini jam tiga dini hari, tapi Bita tak peduli karena dia tahu betapa Abian membutuhkan sesosok pendamping. Cowok itu selalu segan memberitahu kedua orang tuanya, apalagi di jam seperti ini.

Kedua sudut bibir Bita terangkat membentuk senyuman, dia yakin jika kunci motor yang dilihatnya saat ini adalah milik Arjuna. Tanpa pikir panjang Bita mengambilnya, berlari ke garasi dan menemukan motor yang lengkap dengan helm-nya.

"Bita pinjam sebentar ya, Bang Juna~"

Bita pakai helm itu meski kebesaran, Bita nyalakan mesin motornya lalu menarik keluar kendaraan beroda dua tersebut dari garasi. Kalau soal mengendarai, Bita tidak bisa disebut jago, tapi Bita memang sudah bisa. Dia hanya perlu ikut tes supaya dapat SIM, dan minta izin beli motor ke Mama atau Papa.

Motornya melaju dengan pelan tapi pasti, namanya juga jarang mengendarai motor seorang diri, biasanya dibonceng Abian. Tapi laju yang pelan itu berhasil mengantar Bita ke klinik 24 jam Bunga yang disebutkan sebagai tempat Abian berada saat ini. Pusing lagi cowok itu, karena akhir-akhir ini Abian memang sering mengeluh pusing.

"Bin."

Bita sampai di salah satu bilik ruangan, dia menutup korden itu demi kenyamanan Abian. Dilihatnya cowok bertubuh besar nan kekar tengah berbaring, dengan tanpa berdosa cowok itu menyengir menampilkan sisi terbaiknya.

"Lo ngga apa-apa, 'kan, ya?"

"Ngga ada luka di dalam kepala lo, 'kan?"

"Udah dicek isi kepala lo?"

"Ini kebanyakan nonton plus makanya sering pusing, nih."

"Bin, ngomong!"

Abian terkikik, dia menutup mulutnya dengan jari telunjuk mengingatkan Bita kalau saat ini adalah jam rawan berisik, terlebih ketika di klinik seperti sekarang ini. Bita tarik napas sepanjang mungkin, lalu diembuskan seperlahan mungkin.

"Oke, jadi lo kenapa kali ini?"

"Tekanan darah gue naik lagi katanya," jawab Abian.

Bita menoyor lengan Abian geram, raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang tak terbendung mendengar jawaban cowok itu. Bagaimana tidak naik, beberapa jam yang lalu Abian mengkonsumsi kopi, sudah dibilang harus menghindari minum kopi, tapi tetap saja memesan.

"Dasar gila!" hardik Bita pelan tapi menekan. "Kan, minum yang ngga bakalan ngebuat lo sakit, bodoh."

Abian menyengir. "Udah agak baikan sekarang, kok."

"Mati baru tahu rasa lo, ya."

"Eh, gue ngga mau mati sebelum menikahi lo dan jadi ayah buat anak-anak kita nanti, ya."

"Najis!" Bita memekik tak sudi seraya memukul lengan Abian.

"Sakit, Bie~" keluhnya manja.

"E-eh, i-iya maaf, maaf, habisnya lo, sih."

Abian beranjak duduk dengan perlahan, dia pun menurunkan kedua kakinya dari ranjang klinik tersebut. Karena sudah lebih baik, ditambah ada yang datang menjenguknya, Abian bisa pulang.

"Yuk, antar gue bayar ini-itu dulu, biar diizinin pulang."

"Hmm."

Kalau ada apa-apa, Abian lebih suka bicara kepada Bita terlebih dahulu. Rasanya memalukan ketika mengadu pada orang tua atau adik, beruntunglah Abian dikaruniai Bita yang tak pernah canggung atau tanggung-tanggung ketika dirinya membutuhkan seseorang. Sama-sama saling menguntungkanlah.

Selesai bayar ini-itu mereka pun keluar dari klinik, kata susternya juga Abian kelihatan lebih baik dibanding sebelumnya. Berarti dia memang sudah baik-baik saja, Bita tak merasa cemas lebih lama lagi padanya.

"Bawa motor?"

"Ngga, gue bawa harga diri."

Abian terkikik, lalu saat diteliti lagi ternyata Bita masih pakai piyama. Meskipun bajunya sudah ditutup oleh jaket tebal dan keren, tapi saat melihat ke bawah ternyata celana cewek ini bentukannya seperti piyama.

"Lapar, nih," kata Bita. "Nyari makan, yuk!"

"Boleh."

Maklum. Bita baru sekali bawa motor sendirian, alhasil dia tinggalkan motor Arjuna di parkiran tanpa sedikit pun ingat. Dia naik ke motor Abian, pergi dari klinik tersebut untuk mencari pedagang yang sudah buka di jam sekarang ini. Pasti ada satu atau dua pedagang, apalagi ini sudah pagi.

"Bubur?" tanya Abian.

"Boleh, deh," jawab Bita. "Sekalian sama sotonya, bisa?"

"Iya."

"Eh, kayaknya itu ketopraknya enak, boleh sekalian juga?"

Abian tertawa kecil dibuatnya, kalau urusan makanan Bita itu tidak sulit sebenarnya. Ya tinggal menunjuk saja ingin apa-apa, tapi saat dimakan nanti pasti banyak sisa. Ujung-ujungnya Abian juga yang harus menghabiskan.

Setelah keluar uang untuk bayar klinik, Abian juga harus keluar uang membayar makanan untuk Bita yang telah berbaik hati datang tepat waktu. Tempat pilihan untuk makan ya ke danau biasa, duduk di tepiannya dan sarapan berdua. Pasti sepi juga di sana, tapi mereka tak pernah kenal waktu.

"Harus dihabisin, jangan nyuruh gue yang ngabisin," kata Abian.

"Gampang~"

Tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul empat lebih, dan mereka sedang asyik sarapan di depan danau yang tenang. Jangan khawatir soal pencahayaan, karena danau ini banyak dikunjungi, jadi sudah pasti banyak lampu-lampu menerangi.

"Ini ngga bawa kertas origami?" tanya Abian.

"Ngga, ngga sempet, keburu panik," jawab Bita.

Abian terkikik, Bita yang merasa terganggu dengan suaranya pun kontan menggeplak lengan cowok itu. Alhasil Abian berhenti tertawa seraya memohon ampun tak mau kena pukulan lainnya.

Sebentar lagi pasti adzan subuh, di rumah Bita mungkin orang-orang akan menduga Bita diculik atau mengigau. Kebetulan Jihan dan Jiah menginap di rumahnya, mau menyambut kepulangan Tante Siska yang katanya akan datang ke rumah jam setengah tujuh pagi. Jangan heran, karena mereka sedekat itu.

"Lho, kunci apa ini, ya?"

Abian menelan sisa makanan di mulutnya sambil menatap Bita yang kini memasang raut wajah bingung, cewek itu mengangkat kunci motor milik Arjuna.

"Itu kayak kunci motor," kata Abian. "Tapi kunci motor gue ada di sini."

"Astagfirullah!"

Abian mengerjap. "K-kenapa, Bie?"

"Bin!" serunya heboh. "Gue bawa motor, lho. Tadi gue ke klinik pake motor Abang!"

"Hah? Lo yang bener aja, sih?!"

Bita menganggukan kepalanya mantap, meskipun panik dia masih sempat untuk menyendok bubur ke mulutnya. Selagi belum ada panggilan dari Bang Arjuna, Bita masih bisa makan, bukan?

- PERAHU KERTAS -

Perahu KertasKde žijí příběhy. Začni objevovat