Pesan Bita Untuk Papa

143 26 17
                                    

— PERAHU KERTAS —

"Mama lagi apa di sana?"

"Baru aja selesai mandi, ini Mama lagi istirahat. Kamu sudah makan atau belum?"

"Mama sendiri, udah makan atau belum?"

Terdengar suara kekehan di seberang sana. Ternyata buah yang jatuh memang tidak jauh dari pohonnya. Alih-alih menjawab pertanyaan, Bita malah membalikan pertanyaan yang membuat Mama Siska terkekeh. Andai saja Bita masih kecil, dia pasti tak akan jauh dari Mama.

"Sudah, Mama tadi makan bareng beberapa karyawan, ternyata makan bareng-bareng itu ngebuat selera makan jadi naik."

"Nih, ya, Ta. Karyawan-karyawan Mama itu udah banyak sekarang, cabang barunya juga udah mulai dibuka di daerah Jakarta."

"Mama seneng banget, Ta. Akhirnya mimpi Mama buat ngebuka butik tercapai, ditambah lagi punya karyawan banyak yang alhamdulillah sejahtera, mereka masih muda-muda, Mama jadi berasa ikut muda lagi, deh."

Di saat Bita mengobrol panjang dengan Mama Siska, Abian mati-matian menahan rasa sakit saat Satria menjambak rambutnya. Demi apapun, ternyata bocah ini sangat nakal, apalagi saat minta membeli boba untuk yang kali kedua. Beli satu itu cukup, Satria juga masih kecil.

"Ta," bisik Abian. "Ini rambut gue bisa botak, Ta."

Bita menodongkan telapak tangannya ke wajah Abian, meminta cowok itu agar tidak berisik apalagi jika sampai menyebut Satria sebagai adiknya. Sebab, sekarang dia sedang menelepon Mama Siska, sedang mendengarkan Mama Siska yang punya cerita. Terkadang Bita rindu dengan celotehan Mama Siska, tapi sekarang mereka berjarak.

"SATLIA MAU BOBA LAGI, KAK!"

Teriakan Satria membuat Bita kontan menoleh, dia terpaksa memberitahu Mama Siska untuk mengakhiri panggilan sekarang. Setelah itu, Bita terkejut melihat Abian yang rambutnya sudah acak-acakan, berbeda dengan penampilannya beberapa jam lalu.

"Gue udah bilang dari tadi, rambut gue udah habis berapa helai, tuh," katanya.

Bita tersenyum kikuk, lalu ia menarik pelan Satria ke hadapannya hingga kini mereka berhadapan. Tentu saja Bita harus sedikit membungkuk, sebab tinggi bocah ini hanya sepinggang Bita.

"Nanti kalau sampai Mama Nindy marah, Satria ngga takut?" tanya Bita lemah lembut. "Satria masih kecil, nanti e'e' nya jadi boba, mau?"

Satria mencebikan bibirnya lucu. "Tapi, Kak. Satlia mau boba lagi, soalnya enak, pokoknya belikan satu lagi, ya~"

"Ngga bisa, nanti belinya pekan depan saja, oke?"

"Maunya sekalang, Kak Bita~"

"Satria, plis. Nanti kamu bisa demam karena kebanyakan minum boba malam-malam, ngga kasihan nanti sama Mama kamu? Malam inikan Mama kamu sama Papa mau—"

"Ta." Abian kontan memotong.

"Mau apa, Kak?" tanya Satria.

Bita menegakkan tubuhnya, dia melirik Abian sambil memberi kode pada cowok itu untuk melanjutkan. Namun, alih-alih mengerti, Abian malah terus bertanya-tanya sambil mengangkat dagunya, tidak lupa ia menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

"ABANG, BOBA SATU LAGI, MAU LASA VANILA, YA!"

Bita dan Abian kecolongan. Aksi kode-kodean yang tak kunjung dipahami oleh lawan bicaranya itu membuat Satria punya kesempatan kabur. Bocah itu berlari menyeberangi jalanan yang sepi, berdiri di depan pedagang boba.

"Ih, lo ngga peka banget jadi cowok, sih!" kesal Bita. "Awas lo, ya!"

"Kak Abian!"

Bita berlari menyusul Satria, sementara seruan seorang perempuan justru menahan langkah Abian. Abian memicingkan matanya bingung, mencaritahu siapa perempuan tersebut.

"Yura? Ngapain kamu di sini? Sea sama kamu, kah? Atau kamu sendirian?"

"Lho, inikan daerah rumah aku, Kak."

Abian celingukan, dia menepuk jidatnya baru sadar kalau saat ini dia sedang tidak berada di daerah perumahannya. Pantas saja ada teman Sea di sini.

"Kakak di sini ngapain?" tanya Yura.

"Itu." Abian menunjuk Bita dengan dagunya.

"Oh? Sama Kak Bita ternyata." Yura manggut-manggut paham. "BTW, yang menikahi Tante Nindy itu Papanya Kak Bita?"

"Iya. Kenapa emang?"

"Ngga, sih. Soalnya sering lewat, terus mukanya kayak ngga asing aja, ternyata ada sedikit mirip Kak Bita."

Abian tertawa kecil dibuatnya, ia menoleh ke arah Bita lagi dan dikejutkan dengan satu bulatan hitam yang keluar dari salah satu lubang hidung Bita. Parahnya lagi, Bita tampak terbatuk-batuk pasca bola hitam tersebut keluar dari hidungnya.

"Ta!"

"Ya ampun, Mbak. Minumnya pelan-pelan," tegur Si Pedagang.

"Ih, bobanya jatuh satu," kata Satria. Bocah itu sudah berjongkok hendak mengambil, tapi Bita lebih awal menahannya. "Itunya jatuh, Kak."

"Ini aja, itu kotor!" Bita segera menyerahkan boba yang hampir habis setengahnya itu. "Ayo pulang!"

"Ta, lo ngga apa-apa, kan? Tadi gue liat ada keluar boba dari idung lo, lo ngga apa, kan?"

"Ngga!"

"Lho?"

"Ayo Satria, cepat!"

Abian kebingungan. Dia bahkan tidak tahu di mana letak salahnya sekarang, atau memang perempuan sesulit itu untuk dimengerti, ya?

"Ta, tungguin gue!"

"Eh, Masnya bayar dulu!"

— PERAHU KERTAS —

"Satria tidak boleh jajan sembarangan, apalagi sampai jajan minuman yang ada di pinggiran jalan begitu. Imunitas tubuhnya itu ngga kayak anak-anak pada umumnya, sekarang kamu lihat!"

"Saya minta maaf, Bita juga pasti tidak tahu kalau Satria ini mudah sakit."

"Dari awal aku udah ragu, ya. Seharusnya kamu ngga ngebiarin Satria pergi sama anak kamu!"

"Nindy, jangan kencang-kencang, Bita masih di sini."

"Kenapa emang? Dia memang harus dengar, supaya dia tahu kalau Satria ngga bisa asal dikasih makanan, apalagi minuman kayak gitu!"

Begitu pesta selesai, Satria tiba-tiba saja kejang, suhu tubuhnya naik drastis sehingga beberapa menit lalu dokter terpaksa dipanggil untuk memeriksanya. Bita yang jadi tersangka sekarang, dia mendengar semua perdebatan di antara Papa Pram dengan Tante Nindy.

Tante Nindy pergi ke kamar Si kecil, sehingga Papa Pram punya kesempatan untuk menenangkan putrinya. Dilihatnya Bita yang berdiri dengan kepala yang tertunduk dalam, penuh rasa bersalah.

"Bita percaya kalo setiap Ibu itu sayang sama anaknya, Bita juga percaya kalo Ibu tiri itu ngga semua jahat, di sini Bita yang salah, iya Bita tahu."

"Bita minta maaf. Bita ngga bakal mengulangi hal yang sama. Pa, Bita mau pulang sekarang, Bang Juna di jalan buat jemput Bita."

Papa Pram merengkuh tubuh Bita.

"Kamu ngga salah, Papa yang salah, maaf," bisik Papa Pram. "Menginap saja di sini, sudah terlalu larut."

Bita menggeleng. "Papa bahagia sama keluarga baru Papa?"

"Iya, kenapa?"

Pelukan itu merenggang, Bita tersenyum simpul sembari menatap Papa Pram yang sudah berganti pakaian menjadi piyama.

"Bang Juna udah di jalan, dia juga pasti ngga bakalan mau nginep," kata Bita. "Kalo memang Papa bahagia sama keluarga Papa yang sekarang, bagus. Bita ikut bahagia."

"Ta," panggil Papa Pram.

Bita makin tersenyum. "Selagi Papa ngga dijahati, Papa pertahankan. Asal Papa jangan jadi jahat."

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasWhere stories live. Discover now