Hari Pernikahan Papa

151 26 12
                                    

— PERAHU KERTAS —

Hari ini Papa Pram menikah dengan Tante Nindy. Jika ditanya bagaimana perasaan Bita, sudah pasti tak senang. Hal yang paling Bita inginkan itu kembalinya keluarga kecilnya seperti dahulu, terdiri dari Papa, Mama, Abang, dan dirinya. Dia iri dengan kehidupan harmonis teman-temannya, hanya keluarganya saja yang terpisah begini.

Abian mengalihkan atensinya dari ponsel yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya, ia dibuat terpaku membisu dengan penampilan Bita yang berbeda 180° dari biasanya. Dengan riasan tipis di wajah itu, serta rambut yang digerai, menambah kesan segar pada diri Bita. Sungguh, Abian hanya kebagian berkedip beberapa kali saja, saking kagumnya dengan Bita yang bisa disebut jarang dandan.

"Kenapa, Bin?" tanya Bita cemas. "Gue ngga cocok pake baju ini, ya? Atau dandanan gue terlalu menor? Ih, gue mau balik lagi ke dalam buat protes, ah!"

"Cantik."

"Hah?"

"Lo cantik, Bie."

Semburat kemerahan timbul di kedua pipinya, merah pipi yang sebelumnya tampak sedikit kini bertambah akibat salah tingkah dengan perkataan Abian. Tak mau dilihat lebih lama oleh cowok itu, Bita pun mengambil bantal sofa di dekatnya dan tak sungkan untuk melemparkannya ke arah Abian. Bisa-bisanya Bita merusuh di saat dia sudah tampil anggun begitu.

"Ayo sini!" Abian menyambut dengan senang hati, ia bahkan memberikan ruang kepada Bita untuk merangkulnya. "Cepet, nanti keburu ada yang gandeng duluan."

Bita merotasikan bola matanya malas. "Lagian siapa yang mau gandeng lo? Paling juga nenek-nenek mau nyebrang, tuh!"

"Enak aja, gini-gini gue ganteng, ya. Banyak yang suka, banyak adek kelas yang suka sama gue, tuh! Bahkan, tante-tante juga pada demen sama gue," cerocosnya.

"Huek!" Bita berlagak muntah. "Ngga usah kepedean, deh, jadi orang. Siapa tahu mereka begitu biar lo ngga sedih-sedih amat, secara lo itukan jomblo terus."

Abian menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan. Dia hampiri Bita yang tak mau kalah berdebat dengannya, dan tanpa ragu ia tarik sebelah tangan cewek itu hingga merangkul lengannya. Sandi dan Nathan datang dari arah dapur, mulut mereka menganga melihat Bita dan Abian yang seperti calon pasangan yang akan bertunangan, di masing-masing tangan mereka ada piring berisi sepotong kue.

"Ngga usah begitu, nanti ditimpuk sama bantal!" tegur Abian. "Biasa aja, ini anak kalo salah tingkah suka ngereog!"

Bita mendaratkan beberapa kali pukulan di lengan Abian, membuat cowok itu meringis sakit minta dilepaskan. Tapi sayang, Bita sudah terlanjur menempel dengannya sekarang.

Jiah dan Jihan juga mulai keluar dari kamar, merekalah alasan mengapa Bita sampai secantik ini. Berkat tangan-tangan ajaib keduanya, Bita berhasil menunjukkan pesonanya sebagai perempuan.

"Ayo berangkat!" ajak Jiah. "Bita cantik, kan? Puji dulu siapa yang ngedandanin."

Jihan terkekeh-kekeh. "Kalo yang jarang dandan terus didandanin, pasti pangling."

"Eh, bentar dulu." Bita melepaskan rangkulannya di lengan Abian. "Bentar dulu, ada yang aneh dengan kue-kue itu."

"Kenapa?" tanya Sandi. Dengan tidak berdosa ia melahap satu potong kue tersebut sekaligus.

"Ih! Kenapa dimakan duluan?" protes Bita. Lalu, Bita ambil sepotong kue dari tangan Nathan. "Ini kayak kue yang bakalan gue bawa ke pernikahan Papa, deh."

"Ta?" Sandi menelan sisa kue di mulutnya dengan susah payah. "Beneran?"

"Eh!!!" seru Jiah dan Jihan yang langsung menghampiri Bita.

"Bita jangan marah-marah, lo udah cantik, lo udah didandanin dengan susah payah, jadi tolong tahan!" pesan Jihan.

Jiah mengangguk mantap. "Ngga apa, kita bisa patungan beli kue baru di jalan nanti, oke? Jangan marah, oke?"

Bita mengembuskan napas kasar. "Awas kalian berdua, ya!"

— PERAHU KERTAS —

Papa Pram menikahi janda satu anak, hal itu membuat Bita harus berkenalan dengan bocah laki-laki yang entah kenapa kelihatan lucu dengan pakaian jas senada dengannya. Apalagi saat dibawa ke teman-temannya, Bita berasa bawa anak yang bapaknya itu Abian. Bajunya hampir mirip dengan Abian, sih. Acara pernikahan digelar malam-malam, sebab siang para tamu sibuk bekerja.

"Namanya Satria," ucap Bita. "Ngga tau tiba-tiba aja nempel sama gue, terus mau ikut gue ke mana-mana."

"Itu berarti Bokap lo bisa dipercaya dan memang jodohnya Tante Nindy," ucap Sandi. "Karena Bokap lo bisa dipercaya, otomatis anak kecil pun bakalan percaya sama orang terdekat Bokap lo."

Bita manggut-manggut paham, dilihatnya Satria yang merupakan bocah laki-laki berusia enam tahun sedang asyik makan kue.

"Kakak mau?" tawar Satria saat sisa sedikit kue di tangannya. "Nanti Satlia ambilkan yang balu."

Bita terkekeh. "Ngga usah, Sayang. Kakak udah kenyang, soalnya tadi habis makan."

"Makan apa?" tanya Satria. "Kue enak, Kakak halus makan kue bial tidak kulus begitu."

Jiah melipat bibirnya sendiri, tapi tawanya masih kedengaran yang membuat Bita kontan mendelik ke arahnya. Beda lagi ketika memandang Satria, Bita begitu lembut pada anak kecil tersebut.

"Om," panggil Bita pada Abian. "Om keren banget, pacalnya Kak Bita?"

"Eh?" Abian bingung.

"Ngga, lah!" elak Bita cepat. "Dia cuma sahabatnya Kakak, semua yang ada di sini itu sahabatnya Kakak."

"Telmasuk Om Budi, Tante Mila, Nenek Nulul, Kakek—"

"Maksudnya mereka berlima, Satria," potong Bita dengan penuh kehati-hatian.

"Lembut banget ngomongnya, Ta," sindir Jihan. "Biasanya juga ngegas, ya?"

"Bener-bener, biasanya juga teriak-teriak kayak orang kelaparan," sahut Sandi setuju.

Nathan berlutut di hadapan Satria yang sedang duduk di kursi, dia memberikan sepotong kue lagi kepada Satria. Bocah itu menerimanya dengan senang hati, serta tak lupa menampilkan cengiran khas dengan beberapa noda cokelat di giginya.

"Makasih Om," ucapnya.

"Sama-sama, kamu suka banget, ya?"

Satria mengangguk mantap dan lanjut makan kue pemberian Nathan. Bita kagum dengan sikap Nathan padanya, hangat sekali. Hal itu jelas menimbulkan hawa panas di sekitar Abian yang melihat bagaimana cara Bita memandang keduanya.

"Satria," panggil Abian. "Mau beli boba, ngga?" tawarnya.

"Mau Bang!" pekik Satria bersemangat. "Mau banget, tenggolokan Satlia keling, mau boba!"

"Ya sudah, ayo kita pergi cari!" ajak Abian. Dia tersenyum picik sembari mengulurkan tangannya pada bocah itu.

"Eh!" Bita menahannya. "Kata siapa lo bisa bawa dia pergi? Enak aja, nanti dia berakhir di gudang karena lo. Ini udah malam, jangan aneh-aneh!"

"Heh, gue ini bukan penculik, ya!"

"Muka lo itu mendefinisikan kriminal, tahu, ngga?"

"Ya udah, sih. Kalian berangkat berdua aja, kasihan juga itu Satria mau boba," saran Jiah.

"Hooh, tukang boba ngga jauh dari sini, kok!" sahut Sandi setuju, dan berakhir tos dengan Jiah.

"Kakak, mau boba," pinta Satria.

Bita memukul lengan Abian kesal. "Gara-gara elo, nih!"

"Turuti kemauannya apa salahnya, sih?" kata Abian. "Ayo Satria, ikut sama Abang, kita cari bobanya."

"Heh, gue ikut, ya!"

Bita merasa bertanggung jawab atas Satria, jadi mau tidak mau dia ikut dengan Abian.

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasWhere stories live. Discover now