Tidak Ada Yang Tahu

134 27 27
                                    

- PERAHU KERTAS -

Abian menyandarkan kepalanya di bahu Bita, membuatnya kontan menoleh dan dapat merasakan beban tubuh cowok ini. Bita merotasikan bola matanya malas, ia dorong kepala Abian agar menjauh dari bahunya karena tak suka keberatan terlalu lama.

"Kalau Sea jadi sekolah di sini, gue titip dia ke elo, ya," ucap Abian. Lalu ia menyandarkan kepalanya di bahu Bita lagi.

"Kenapa lo?"

Abian menyengir. "Capek banget gue, anjir. Bawaannya pengin rebahan."

"Bita, Abian, fokus ke depan!"

Teguran itu berasal dari Bu Kinanti. Masih teguran dari guru, belum teguran dari Yang Maha Kuasa, kok. Keduanya kompak menegakkan tubuh menuruti teguran Sang guru agar lebih fokus lagi. Hanya saja, itu bertahan untuk beberapa detik saja, selanjutnya mereka tampak saling menatap serta menggelengkan kepalanya.

Bita memang duduk satu bangku dengan Abian, karena Bita pikir Abian tahu bagaimana cara memperlakukannya ketika sedang belajar. Abian sudah kebal juga dengan semua sifat Bita, makanya hanya dia yang mau sebangku dengan cewek ini.

"Uks, yuk!" bisik Abian.

"Pusing?"

"Sedikit."

Bita mencubit pinggang Abian gemas, tentu saja hal itu membuat Abian kontan meringis sakit.

"Lagian suruh siapa tadi main basket pas panas-panas, hah?" omel Bita. "Bentar, gue izin dulu sama Bu Kinanti."

Bita mengangkat tangannya, memberhentikan Bu Kinanti yang sedang menjelaskan materinya.

"Ya, bagaimana?"

"Saya izin ke uks, Bu," kata Bita. "Soalnya Abian pusing."

"Serius?" tanya Bu Kinanti sembari membenarkan kacamatanya. "Jangan bohong, lagipula sebentar lagi pulang, udah di sini saja."

"Lho, tapi Abian pusing, Bu," ucap Bita. "Dia kalo pusing bisa berubah jadi babi, bahaya."

"Sialan lo Bita," geram Abian pelan.

"Tidak bisa, sudah diam saja!" Bu Kinanti bersikeras. "Sebentar lagi pulang."

Sandi menoleh ke belakang untuk memastikan Abian yang katanya sedang pusing.

"Aman, kok," kata Abian.

"Beneran?" tanya Sandi.

Bita duduk lagi, dia menatap Abian sinis karena raut wajahnya sudah bawaan begitu.

"Kontrol mukanya, Ta," pesan Sandi dengan raut wajah julidnya. "Jelek muka lo."

"Bie." Abian mencekal lengan Bita yang hendak melemparkan buku ke wajah Sandi. "Sstt, nanti Bu Kinanti marah."

BRAK!

Seisi kelas dibuat terperanjat kaget, Bu Kinanti menunjuk Bita dan Abian menggunakan penggaris panjangnya. Sorot Bu Kinanti di balik kacamatanya tampak begitu tajam, ia berjalan menjauh dari papan tulis yang sebelumnya digebrak agar kebisingan itu berhenti.

"Saya yang salah, Bu," kata Abian. "Bita berisik karena saya."

"Kamu?" tanya Bu Kinanti.

Abian tersenyum kikuk, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan dengan ragu ia menganggukan kepalanya.

"Ya sudah, ngga apa," ucap Bu Kinanti. Kemudian dia mengusap pucuk kepala Abian dengan penuh kasih sayang. "Masih pusing, kah?"

Bita mendelik tak suka, dia menatap sinis pada Bu Kinanti yang masih mengusap-usap pucuk kepala Abian dan berdalih mempertanyakan tentang kondisinya. Raut wajah Bita yang benar-benar sinis itu membuat Jihan dan Jiah bersusah payah menahan tawa mereka.

Perahu KertasOnde histórias criam vida. Descubra agora