Bertemu Teman Lama

141 25 8
                                    

— PERAHU KERTAS —

Ulangan akhir semester telah usai, beberapa kertas soal mulai dibagikan kepada para murid. Hari libur akan datang, sudah saatnya menemukan tempat liburan bersama keluarga, teman, atau rekan kerja. Tapi sekarang Bita berada di danau bersama Abian, cowok itu pamit ke toilet sehingga kini hanya Bita yang duduk-duduk santai di bangku. Beberapa nilai ulangannya ada yang turun, tentu hal itu menjadi sebuah ketakutan bagi Bita yang sudah lama berperan sebagai Si pintar di kelas.

Sepasang mata Bita memicing, ia melihat seorang cowok yang berjalan kebingungan di depan danau itu. Kalau dilihat-lihat tidak asing juga wajahnya, seperti pernah bertemu tapi dengan versi yang lebih kecil.

"Cakra?"

Cowok itu menoleh seolah namanya disebut, dia menatap Bita yang kini berdiri dari duduknya. Pandangan mereka bertaut.

"Bita, ya?"

Bita mengangguk. "Lo Cakra, iyakan?"

Cowok itu mengangguk juga, menyetujui bahwa namanya memanglah Cakra. Dia merupakan salah satu sahabat kecil Bita juga, dahulu Bita memanggilnya Abang karena tinggi badannya lebih dari anak-anak lainnya, termasuk ketika dibandingkan dengan Abian. Padahal usia mereka sama waktu itu.

"Mau dibilang lama ngga ketemu iya, tapi saya sering banget ngepoin akun medsos kamu," katanya. "Apa kabar, Ta?"

Bita tersenyum kikuk, dia bahkan dibuat kebingungan bukan main ketika Cakra melangkah mendekatinya. Masalahnya, Cakra bicara menggunakan sapaan saya-kamu, membuat Bita canggung.

"Eh? Eum, itu, alhamdulillah baik, kok."

"Abian di mana?" tanya Cakra. "Jadi kamu yang dia maksud kemarin malam."

"Eh? Kenapa?"

"Begini, kata Abian ada yang harus saya temui di sini, dan ternyata itu kamu," tuturnya. "Kamu makin keren saja."

Semburat kemerahan muncul di pipi Bita, betapa dia panik saat dengan mudahnya Cakra menyebut dirinya keren. Bita malu pastinya, dahulu memang dekat, tapi karena terpisah dalam waktu yang lama jadi canggung begini.

"Buset, dari kejauhan kayak yang lagi proses nembak aja!"

Seruan itu berasal dari Abian, cowok itu datang membawa karpet beserta satu kantung plastik besar berisi camilan. Dia menyerahkan karpetnya kepada Cakra, menyuruh cowok itu juga untuk menggelarnya di rerumputan.

"Gimana, Bie?" tanya Abian. "Masih mau manggil dia Abang?"

Cakra melayangkan tatapan mautnya pada Abian, membuat cowok itu tergelitik dan tertawa renyah. Cakra memang tumbuh dengan baik, tapi setelah bersanding dengan Abian yang sekarang mereka setara. Padahal, dahulu Cakra yang paling tinggi, Abian saja kalah.

"Kenapa muka lo merah begitu?" tanya Abian cemas. Reflek kantung plastik di tangannya jatuh. "Bie? Lo ngga apa, kan? Apa lo sakit? Lo belum makan? Pusing?"

"Berisik, ih!" desis Bita sembari mencomot mulut Abian gemas.

"Muka lo merah-merah, Bie!"

Cakra hanya tertawa, sudah dari awal dia menahan mati-matian tawanya karena takut Bita tersinggung.

"Mau di sebelah mana?" tanya Cakra.

"Sebelah sana, tuh!"

Setelah karpet itu digelar, Abian menaruh seluruh camilan di tengah dan mengajak mereka berdua duduk bersamanya. Abian membagikan kertas beserta bolpoin kepada Bita dan Cakra.

"Buat apa?" tanya Cakra.

"Masih ingat cara buat perahu kertas?" tanya Abian pada Cakra. "Tulis harapan atau sesuatu yang pengin lo keluarin dari hati lo di kertas, terus lipat jadi perahu kertas."

Cakra mengangguk paham, lalu saat Bita dan Abian mulai menulis dia pun ikut-ikutan. Pantas saja di media sosial mereka berdua sering terselip perahu kertas.

"Harusnya malam-malam," kata Abian. "Tapi takut Bita kedinginan, soalnya dia bakalan jadi penulis terkenal bentar lagi."

Benar dugaan Cakra, bahwa penulis Perahu Kertas yang sedang dibicarakan teman-teman perempuannya itu memanglah Bita. Mereka menyebut penulisnya dengan sebutan Bita Nol Tiga.

"Apaan, sih!" Bita mendorong lengan Abian protes.

"Nanti saya datang juga, boleh?" tanya Cakra. "Soalnya saya suka baca-baca."

"Eh? B-boleh, kok."

Abian mengusap wajah Bita gemas. "Bisa biasa aja? Ngga usah gugup, kita inikan temenan dari kecil!"

"Ih!!! Diem lo, berisik!" kesal Bita sembari menjambak rambut Abian kepalang gemas sekaligus salah tingkah.

"Kan, masih sama dia, Cak," kata Abian. "Galak!"

"Bin!!!"

Dan mereka menikmati waktu bertemu itu untuk mengobrol, menikmati camilan sampai senja tiba akhirnya mereka pulang.

— PERAHU KERTAS —

"Penting buat kamu fokus pada pelajaran dan dapat nilai yang sempurna, penting juga buat kamu ingat bahwa kamu harus lanjut kuliah ke Amsterdam."

"Tapi Pa ... Bita udah terikat kontrak sama penerbitnya, lagipula Bita yakin kalau peringkat Bita bakalan bertahan di peringkat satu."

"Tapi nilai-nilai kamu banyak yang turun, beda banget sama yang semester sebelumnya."

"Pa, kenapa harus kayak Mama, sih?"

"Bita, Papa begini juga demi kamu. Papa tahu bagaimana Mama kamu kalau sudah punya rencana."

Bita tidak tahu harus berkata apa lagi, dia sudah berada di titik tak ingin lagi berdebat.

"Bita janji, setelah novel ini terbit, Bita bakalan berhenti jadi penulis. Sekali ini aja, Papa dukung Bita, ya?"

"Kita lanjut bicara nanti, Papa mau pulang. Satria selalu nunggu Papa soalnya."

Ingin rasanya Bita mengempas ponselnya, ingin rasanya Bita memasukan nomor kedua orang tuanya ke dalam daftar hitam. Profilnya diungkap ke media, dan hal itu jelas membuat siapa pun tahu siapa penerbit novel berjudul Perahu Kertas yang ditunggu-tunggu itu.

Sebagia nilai ulangannya sudah ada, dan Bita sudah laporan kepada kedua orang tuanya sesuai dengan apa yang mereka perintah.

Dering panggilan masuk berbunyi, kali ini dari Mama Siska. Bita sudah siap untuk semua hal.

"Hallo, Ma?"

"Mama ngga suka kamu ikut-ikutan event menulis, Mama ngga suka kamu jadi penulis, ngga ada faedahnya."

"Sekali ini aja, Bita janji setelah ini Bita bakalan stop menulis, Bita bakalan fokus belajar, dan Bita ... ngga akan mengecewakan Mama lagi."

"Mama tidak mau tahu, nilai rapor kamu harus lebih baik dari semester sebelumnya, nilai rapor berpengaruh untuk kamu mendaftar ke universitas di luar negeri."

"Iya Ma, jangan marahi Bita dulu, untuk yang sekarang kasih Bita dukungan, ya? Bita udah terikat kontrak, Ma, harus dilanjutin."

"Dan memaafkan semua nilai-nilai kamu yang turun itu?"

"Apa susahnya mendukung anaknya, sih?!"

Bita marah, dia tidak bisa menahan amarahnya sekarang. Sambil marah, air mata Bita jatuh begitu saja karena sudah tidak kuat. Bita berani mematikan panggilan itu sepihak, dia menghadap ke cermin dan meremas rambutnya sendiri frustrasi. Beberapa helai rambut kini berada di kedua telapak tangannya.

"Mama sama Papa ngga suka, Abang juga ngga suka, soalnya rambut kamu sering rontok setelah keseringan ngetik cerita ngga jelas."

Ujaran itu berasal dari Bang Juna, menambah beban pikiran Bita yang sudah berat.

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang