Tidak Mungkin

215 30 17
                                    

— PERAHU KERTAS —

"Bita!"

Bita terperanjat kaget, dia bernapas dengan tidak beraturan mendengar seruan yang entah berasal dari mana. Dia berkeringat dingin, mulai mencari dari mana asal suara yang telah membangunkan tidurnya.

"Bita!"

"Bita, buka pintunya, Ta!"

Bita mendengarnya lagi, kali ini disertai dengan ketukan. Buru-buru Bita menyibak selimut dan menghampiri pintu kamarnya yang terus diketuk dari luar. Bita mengenal suara itu, Jihan.

"Ta!" pekik Jihan yang langsung memeluk Bita.

Bita menelan saliva nya dengan susah payah, dia dapat merasakan guncangan tubuh Jihan seolah cewek ini sedang menangis. Secara perlahan Bita mengangkat tangannya, balas memeluk Jihan sembari mengusap-usap punggungnya.

"Ta, Abian, Ta~"

"Abian?"

"Abian meninggal, Ta~"

Saat itu juga dunianya menjadi tidak baik-baik saja, Bita merasa seluruh tubuhnya membeku setelah mendengar perkataan Jihan. Bita menggelengkan kepalanya, perlahan ia mundur dan beralih meraih kedua bahu Jihan.

"Abian, Ta~" lirih Jihan. "Abian udah ngga ada, Sandi tadi nelpon gue, Ta."

"Tenang, lo tenang dulu." Bita mengusap-usap kedua bahunya. "Lo pasti mimpi, ya? Makanya lo bisa ngomong begini. Lagian, beberapa jam yang lalu Abian nelpon gue, kok!"

"Bitaaa!" Jihan berucap gemetar. "Ayo ke rumah Abian, sekarang."

Bita hendak protes kepada Jihan karena benar-benar tidak mempercayainya. Namun, Bita mengingat percakapannya bersama Abian yang terjadi sekitar beberapa jam lalu. Suara Abian terdengar berbeda, selain itu biasanya Abian kalau menelepon pasti karena rasa sakitnya kambuh.

"Ah, ngga mungkin!!!" jerit Bita yang tak mampu berdiri lebih lama lagi. "Ngga mungkin, ngga, ngga mungkin, Abian, Abian masih nelpon gue, tadi kita—ngga!!!"

Jihan memeluk Bita yang akhirnya menangis. Dengan berat hati Bita beranjak dari lantai, dia menggelengkan kepalanya dan mulai melangkah walau begitu berat.

Sebenarnya Jihan tidak ingin mengatakannya sekarang, tapi Jihan tidak mau jika sampai Bita terkejut saat sampai di rumah duka nantinya. Dia tahu, betapa Bita dan Abian dekat semasa hidup mereka.

"Ini mimpi, kan?"

"Ini pasti cuma mimpi, iyakan?"

"Han, bilang ke gue kalo ini cuma mimpi, Abian bicara sama gue beberapa jam yang lalu, Abian—ngga mungkin, kan?"

Jihan hanya bergeming, ia makin tersayat melihat sorot Bita yang memilukan sekarang.

"Kenapa gue ngga datang pas dia minta ketemu, sih?!"

"Kenapa tiba-tiba gue ngga nemuin dia pas dia minta ketemu, sih?!"

"Kenapa—Bin~"

Jihan tidak datang sendirian, dia bersama dengan Yuda yang bawa mobil. Dalam perjalanan menuju ke rumah Abian, Bita terus memandangi jalanan melalui kaca mobil. Di bangku depan, Jihan beberapa kali mengecek Bita yang tampak melamun dengan air mata di pipinya.

"Kamu kasih tahu dia?" tanya Yuda.

"Aku ngga mau dia tahu setelah di sana, Kak," jawab Jihan.

Benar. Jihan tidak berbohong, pun ini bukan mimpi. Bita sudah memukul kepalanya, mencubit lengannya, dan rasa sakit itu dapat ia rasakan. Rumah Abian yang biasanya tak ramai, kini banyak dikunjungi oleh orang-orang. Walaupun sudah malam, tetapi pelayat berdatangan.

Bita membuka pintu mobil dengan cepat, dia berlari menerobos para pelayat yang memenuhi halaman rumah Abian. Dia masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka lebar, dilihatnya pemandangan menyedihkan keluarga Abian yang tengah menangis. Di tengah ada tubuh tertutup kain yang terbujur kaku.

Sandi beranjak dari duduknya, dia menghampiri Bita dan menuntun sahabatnya agar berjalan dengan seimbang. Bibir Bita gemetar, air matanya makin tak terkendali saat tubuhnya berdiri makin dekat dengan jasad Abian.

"Kak Bita!"

Sea berseru, adiknya Abian itu langsung menubruk tubuh Bita dan menumpahkan air matanya dalam pelukan Bita. Tangis kembali memenuhi rumah ini, Sea yang sebelumnya sudah tenang harus menangis lagi karena dihadapkan dengan kehadiran Bita.

"Kakak boleh lihat Abian?" tanya Bita gemetar.

Sea mengangguk, lalu dengan perlahan ia melepaskan pelukannya.

"Boleh dilihat, tapi ditahan air matanya, ya, Nak," pesan seorang pria yang kebetulan bertugas mengurusi jasad Abian. "Setelah ini jasadnya akan disholatkan."

Bita menyeka air matanya dengan kasar, lalu ia mengangkat kain yang menutupi wajah Abian untuk melihatnya. Benar dia Abian, benar yang saat ini tidur dalam kedamaian adalah Abian-nya.

"Bin~" lirih Bita. "Bangun, Bin~"

Sandi memijat pangkal hidungnya untuk menahan air mata, ia tertunduk dalam tak kuasa mendengar suara Bita yang begitu memilukan.

"Bangun, Bin~"

Bita menoleh ke arah Bunda Nuri yang sedang terkapar lemas dalam dekapan Ayah Gema. Pandangan Bunda Nuri benar-benar nanar, pun dengan Ayah Gema yang berusaha tegar padahal hatinya pasti terluka parah.

"Bunda bangunin Abian, Bun," ucap Bita. "Abian bilang, Abian bakalan nurutin semua yang Bunda perintah."

Bunda Nuri beranjak dari pelukan suaminya, ia dekap Bita dan menangis bersama-sama di samping jasad Abian yang jiwanya sudah pergi membawa kedamaian.

Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Bita dan orang-orang terdekat Abian. Mereka tidak bisa tidur, berbeda dengan Abian yang makin damai setelah disholatkan. Abian makin bercahaya, bahkan kedua sudut bibirnya tampak tersenyum seolah perginya bukan suatu hal yang perlu ditangisi.

Jihan menggenggam tangan Bita, dapat Jihan rasakan betapa dinginnya pergelangan tangan Bita saat ini.

"Nak Bita, sebaiknya tidur di kamar Abian bersama temannya," saran Ayah Gema.

"Ngga perlu, Om," tolak Bita. "Bita di sini saja, mau nemenin Abian."

"Di sini dingin, Nak," kata Ayah Gema. "Atau kamu mau tidur bersama Bunda?"

Bita menggeleng. "Ngga perlu, Om. Bita di sini saja, Bita mau nemenin Abian."

— PERAHU KERTAS —

Bita sudah terikat dengan kontrak, untuk membatalkan pun sulit. Acaranya akan dilaksanakan pada pagi hari. Padahal Bita teramat ingin menghadiri pemakaman Abian, dia ingin memberikan salam terakhir kepada Abian sebelum mengikhlaskan sahabatnya pada semesta.

Lagi-lagi Jihan ada di sampingnya, Jihan bersama Bita yang harus menghadiri acara penerbitan novelnya. Sementara itu, Sandi, Jiah, dan Nathan masih berada di rumah Abian. Mereka bisa dipastikan mengikuti semua serangkaian pemakaman Abian sampai selesai.

"Kuat, Ta?"

Bita tidak menjawab, dia hanya tertunduk sembari memainkan jemarinya.

"Kalau ngga kuat bilang aja, nanti gue bilang ke pihak yang bersangkutan buat ngga dilanjutin."

"Ngga apa."

Jihan merapikan rambut Bita yang sedikit berantakan, tak lupa Jihan menghapus air mata yang membasahi kedua pipi Bita.

"Berat banget, kan?" tanya Jihan. "Jangan dipaksain, Ta."

"Tapi gue ngga bisa lepas tanggung jawab gue, Han," kata Bita. "Tapi sesak banget di sini~"

Jihan menahan tangan Bita yang sudah memukuli dadanya, lalu sambil menggenggam tangannya Jihan peluk Bita hingga sahabatnya menangis lagi. Puaskan saja sekarang, biar nanti saat acara mulai Bita kuat.

— PERAHU KERTAS —

Perahu KertasWhere stories live. Discover now