Sepasang Perahu Kertas

981 67 50
                                    

- PERAHU KERTAS -

Sepasang perahu kertas itu berlayar di danau, keduanya didorong oleh kibasan tangan yang menciptakan. Semakin jauh maka semakin kuat juga mereka mengibaskan tangannya agar air tenang danau terguncang. Perahu yang warna biru itu milik Abian, sedang yang warna kuning milik Bita. Sebelumnya Bita merengek ingin kertas warna biru, tapi Abian bilang warna kuning lebih cocok dengannya.

"Perahunya kebawa arus, Bin!"

"Duh, arusnya besar banget, Bie!"

Sepasang bocah berlarian mengejar arus sungai yang membawa dua perahu kertas itu berlayar. Mereka tidak tahu jika hujan akan turun dan kemudian perahu kertas mereka tak bisa diambil sebelum arus besar tiba menyeretnya. Tapi beruntunglah hujan itu kini telah reda, walau mereka sudah kebasahan.

"Bie, udah jangan dikejar lagi," kata Abian kecil. Kemudian dia mencekal lengan Bita agar tak melanjutkan langkahnya.

"Tapi di sana ada tulisan dari Mamaku, Bin!"

"Bie, nyawa kita lebih penting."

Bita kecil terbelenggu, ia hanya bisa memandang perahu kertasnya yang perlahan menghilang dari pandangan. Kalau dikejar pun tak akan dapat, sebab derasnya arus sungai sore ini bisa juga menyeret tubuh dua bocah tersebut. Abian menarik Bita ke belakangnya, ia sedikit berjinjit saat melihat perahu kertas miliknya tersangkut. Walau tak lama perahu itu hancur karena derasnya arus sungai.

"Punya kamu tenggelam, Bie," kata Abian. "Punya aku nyangkut di sana, tuh."

"Surat Mamanya hilang, Bin." Bita berucap dengan sedih. "Itukan surat ucapan ulang tahun Mama buat Bita."

"Tapi nyawa kamu lebih penting, Bie. Nanti kita main perahu-perahunya di danau aja, jangan di sungai ini, oke?"

"Suratnya, Bin."

Sekarang mereka sudah tumbuh menjadi sepasang remaja usia tujuh belas tahun. Belajar dari pengalaman masa lalu yang berhasil menghanyutkan satu surat berharga dari Mamanya Bita, mereka mulai berhenti pergi ke sungai untuk mengapungkan perahu kertas. Sekarang mereka lebih suka dengan danau, walau memerlukan tenaga kibasan tangan tapi perahu kertas mereka bisa berlayar dengan tenang.

"Lo tulis apa kali ini, Bin?" tanya Bita.

"Gue tulis nama orang yang gue suka," jawab Abian.

"Siapa?"

"Yang nanya."

Plak!

Bita tak sungkan untuk mendaratkan satu pukulan di lengan Abian, membuat cowok itu kontan meringis dan mengusap-usap bekasnya. Detik berikutnya Abian menyengir, terkikik menanggapi raut wajah Bita yang kesal itu.

"Gue serius, ih!"

"Ya gue juga serius, Bie."

"Siapa namanya Abian!" Bita menegaskan dengan tak sabaran. "Lagipula, sejak kapan lo suka sama cewek?"

"Astagfirullah, Bie," ucap Abian. "Gue normal, kali. Gue sukanya sama cewek, masa iya anggota geng motor kayak gue sukanya sama cowok lagi, najis!"

"Ih!" pekik Bita gemas sembari menjewer telinga Abian, cowok itu kontan meringis kesakitan dan tak lupa berusaha melepaksan jeweran tersebut.

"Sakit, Bie~" keluhnya.

Bita mencebikan bibirnya, ia berhenti menjewer telinga Abian dan mengembuskan napas panjang.

"Gimana hubungan lo sama Bang Sekala?" tanya Abian mendadak ganti topik. "Lancar-lancar kayak awal pacaran atau udah ada guncangan?"

"Apasih." Bita mendorong lengan Abian kesal. "Gue ke sini bukan buat bahas dia, gue ... mau ngelepasin semua beban pikiran gue."

Abian manggut-manggut paham, dia tahu betul bagaimana cara untuk melepaskan beban pikiran. Setelah beranjak remaja, Bita dan Abian mulai memahami tentang seberapa kerasnya kehidupan itu. Namun, beruntungnya mereka memiliki cara yang sama untuk melampiaskannya. Sederhana saja, tulis beban pikiran di kertas origami, bentuk jadi perahu kertas, lalu apungkan di danau yang tak jauh dari rumah Bita. Yah, walau beban itu tak sepenuhnya akan hilang, tapi setidaknya bisa mengurangi.

"Sayang banget kita ngga tetanggaan lagi, ya," kata Abian. "Untungnya gue udah bisa bawa motor, jadi bisa sering datang nemuin lo."

"Papa mau nikah lagi, Bin."

"Hah?"

Abian dibuat terkejut dan terheran-heran, bahkan perceraian di antara orang tua Bita itu terjadi sekitar dua bulan yang lalu, tapi entah mengapa hari ini Bita membawa kabar tentang pernikahan Papanya.

Memiliki Abian itu suatu keberuntungan, karena Abian bisa dijadikan tempat terbaik untuk mencurahkan isi hati. Selama lima tahun mereka tinggal sebelahan, pergi ke mana-mana bersama, bahkan pernah tidur bersama di teras rumah karena saking capeknya main di lapangan. Sekarang juga sering bertemu, tapi kalau tempat tinggal sudah tidak bersebelahan lagi. Hal itu dikarenakan keluarga Bita pindah rumah.

Dan mendapatkan pacar seperti Sekala Adhitama ialah mimpi yang menjadi nyata. Bita baru resmi pacaran sekitar satu bulan lalu, dengan kakak kelasnya yang ia kagumi, kemudian tiba-tiba saja cowok itu mendekati hingga akhirnya mereka berpacaran. Cewek-cewek suka padanya, karena selain dibekali wajah yang rupawan, Sekala juga sudah dipastikan akan menerima seluruh harta warisan keluarga Adhitama.

"Kalau sampai kita ketahuan berduaan di sini, Bang Sekala bakalan marah, ngga?" tanya Abian.

"Ngga, santai aja," jawab Bita. "Lagipula dia juga lagi jalan-jalan sama Kak Arin. Pun, cuma lo yang tahu gimana caranya ngelepasin beban pikiran gue."

"Iya juga, ya."

"Bin," panggil Bita memelas. "Apa gue boleh minta ke Papa sama Mama buat balikan? Soalnya gue ngga nyaman sama kehidupan yang sekarang, capek."

Abian terbelenggu.

Tiba-tiba air jatuh di hidung runcing Abian, cowok itu menengadah dan kemudian menyadari bahwa langit telah mengabu.

"Hujan akan turun, ayo pergi!" ajak Abian.

Bita menoleh ke arah perahu kertas yang masih berlayar. "Perahunya belum tenggelam, kita udah janji bakalan terus di sini sebelum salah satu dari perahu itu tenggelam."

"Hujan, gue ngga mau lo sakit cuma karena kehujanan."

"Tapi-"

"Ayo!"

Abian pernah hampir kehilangan Bita setelah main hujan di lapangan, kala itu suasana setelah hujan benar-benar sejuk dan hening. Hingga kemudian petir tiba-tiba menyambar tepat di dekat Bita, membuat Bita usia sembilan tahun hampir kehilangan nyawanya karena sambaran petir. Kala itu Abian tak di dekatnya, jadi hanya Bita saja yang terkena sambarannya.

Mata elang Abian menangkap sepasang manusia yang baru turun dari mobil, mereka berdiri di bawah payung biru dengan posisi dekat sekali. Abian mengenalnya, Abian pun mengangkat jaketnya untuk memayungi kepala Bita dari hujan yang perlahan turun makin ramai.

"Kenapa ngga ke kafe itu, Bin?" tanya Bita. "Kita bisa sekalian pesan minuman hangat."

"Langsung pulang saja, ayo!"

Abian tidak mau jika sampai Bita menelan rasa sakit saat melihat pacarnya sedang berada di kafe dengan seorang perempuan. Walaupun cowok itu bilangnya hanya sahabat, tapi Abian merasa ada yang tidak beres dengan kebersamaan mereka. Terlebih saat Bita tak dijadikan sebagai prioritas.

"Hujannya makin deras, seharusnya kita ke kafe aja tadi, ih!"

"Bentar lagi sampe ke rumah lo, ayo buruan!"

Sampailah mereka di tempat tujuan, Abian langsung saja membuka jaketnya yang ia korbankan untuk jadi payung dadakan.

"Ganti baju, gih!" suruh Abian. "Gue juga mau pinjem handuk, mau ngeringin rambut."

Sebenarnya bukan perahu kertas yang membuat beban pikiran itu berkurang, tetapi curahan hatilah yang membuatnya jadi lebih ringan. Bita dan Abian adalah sepasang sayap yang saling melengkapi, Abian sering mendengarkan curahan hati Bita, pun sebaliknya. Kenyamanan di antara mereka membuat hubungan persahabatan terjalin sampai sejauh ini.

- PERAHU KERTAS -

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang