2. Kapan Kawin?

2.2K 60 0
                                    

"Aku pulang." Seika berjalan memasuki rumahnya sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya dengan kesal.

"Kok, udah pulang, Dek? Katanya tadi mau kencan?" tanya Satria heran karena Seika tadi pamit ingin pergi berkencan dengan kekasihnya.

"Nggak jadi." Seika menuju dapur lalu meneguk segelas air putih yang ada di atas meja hingga tandas. Kekesalan tergambar jelas di wajah cantiknya. Seika merasa sangat kesal karena Arka lagi-lagi tidak datang, padahal mereka sudah berjanji akan menonton film bersama.

Menyebalkan!

"Apa Arka tidak datang lagi?"

"Berisik!" sengit Seika menatap Satria tajam.

Satria sontak tertawa, dia sudah menduga kalau Seika pasti akan gagal berkencan dengan Arka. Padahal dia sudah sering memberi tahu Seika kalau Arka bukan cowok baik. Namun, adik kandungnya itu tidak pernah mempercayai ucapannya karena terlalu mencintai Arka.

Semoga saja Seika cepat sadar lalu mengakhiri hubungannya dengan Arka.

"Kamau udah makan apa belum?"

"Belum ...," jawab Seika manja.

"Makan dulu, gih! Abang tadi udah buat nasi goreng sama telur mata sapi kesukaan kamu." Satria mengusap puncak kepala Seika dengan penuh sayang. Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu sekarang memiliki tanggung jawab penuh terhadap Seika karena kedua orang tuanya sudah meninggal.

Satria diam-diam menyimpan perasaan bersalah yang sangat dalam karena dia belum bisa menjadi kakak yang baik untuk Seika. Seharusnya dia menyekolahkan Seika ke jenjang yang lebih tinggi karena adik kandungnya itu termasuk siswi yang berprestrasi. Namun, dia hanya bisa menyekolahkan Seika sampai SMA. Seika bahkan sekarang membantunya bekerja untuk melunasi hutang kedua orang tuanya.

"Serius, Bang?" Wajah Seika sontak berbinar karena mendengar makanan kesukaannya.

"Iya."

"Asyik! Terima kasih, Bang!" Seika memeluk Satria dengan erat. Tingkah gadis itu sangat kekanakan padahal usianya sudah dua puluh tahun.

"Gimana kerjaan kamu? Lancar?"

Seika mengangguk karena mulutnya sibuk mengunyah makanan. Setelah menganggur selama setahun lebih akhirnya dia mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan properti yang cukup terkenal walaupun hanya sebagai office girl.

***

Devan memasukkan Mercedes Benz G65 miliknya di garasi ketika tiba di rumah. Cherry tertidur lelap di bangku samping kemudi, sepertinya anak perempuannya itu kelelahan setelah belajar di sekolah seharian.

Devan pun menggendong Cherry sampai ke kamar. Dia membaringkan Cherry dengan hati-hati di atas tempat tidur setelah itu menarik selimut untuk menutupi tubuh gadis kecil itu.

"Mimpi indah, Sayang." Devan mengecup puncak kepala Cherry dengan penuh sayang lalu merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku.

Devan merasa sangat lelah karena dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Bukan tanpa alasan kenapa Devan sengaja menyibukkan diri dengan bekerja karena pekerjaan bisa mengalihkan pikirannya dari mendiang sang istri.

Devan pun keluar dari kamar Cherry lalu berbaring di sofa yang berada di ruang tengah. Dia melipat sebelah tangannya untuk menutupi kening lalu memejamkan mata perlahan. Devan ingin beristirahat sebentar sebelum kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Tiba-tiba saja sang ibu datang lalu memberinya secangkir teh panas padahal kedua matanya baru beberapa menit terpejam.

"Ini, minum dulu tehnya, Van." Diana mengulurkan secangkir teh panas yang dibawanya pada Devan.

Devan pun menerimanya lantas mengucapkan terima kasih. Aroma teh bercampur dengan melati seketika menyeruak di indra penciumannya. Aromanya sangat menenangkan.

Devan menyesap sedikit minuman tersebut lantas meletakkannya di atas meja.

"Apa kamu nggak capek hidup kayak gini terus, Van?"

"Maksud, Mama?" tanya Devan tidak mengerti.

"Andai saja kamu punya istri, pasti ada orang yang mengurus kamu. Apa kamu nggak ingin menikah lagi, Van?" Diana mencoba membujuk Devan agar mau menikah lagi. Orang tua mana yang tidak khawatir melihat putranya yang betah menduda selama lima tahun.

"Memangnya Mama pikir nyari istri gampang," ucap Devan sedikit kesal karena sang ibu mulai membahas tentang pernikahan.

"Kamunya saja yang nggak mau nyari istri lagi." Diana memutar bola mata malas karena Devan selalu mengatakan hal tersebut ketika ditanya kapan nikah.

"Anak teman mama ada yang nyari jodoh. Namanya, Siska. Kamu mau ya, mama kenalin sama Siska?"

"Tidak mau," tolak Devan langsung.

Diana menghela napas panjang karena Devan langsung menolak permintaannya. "Mama tuh, kasihan sama Cherry. Sejak bayi dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari sosok ibu."

"Mama tenang saja. Devan bisa menjadi ayah sekaligus ibu yang baikbagi Cherry."

Diana berdecak kesal. "Kamu tidak bisa melakukan dua peran sekaligus, Van. Menikahlah lagi. Mama mohon ...."

"Sudahlah, Ma. Devan balik ke kantor dulu." Devan buru-buru menghabiskan teh-nya lalu pamit pada Diana untuk pergi ke kantor.

Diana menghela napas panjang. Entah kenapa susah sekali membujuk Devan agar mau menikah.

Gadis Lugu Milik CEO Dudaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें