21. Pembuktian

1.1K 36 0
                                    

Bara refleks menginjak rem mobilnya karena terkejut mendengar suara Seika. Untung saja lampu sedang menyala merah. Jika tidak, dia pasti sudah menerima umpatan dari pengendara lain karena berhenti mendadak.

"Maaf kalau pertanyaanku membuatmu terkejut. Aku cuma—" Bara tidak melanjutkan kalimatnya karena Seika memotong ucapannya.

"Kenapa kamu bisa mengira aku mempunyai hubungan spesial dengan Pak Devan, Bara? Apa kamu percaya dengan gosip yang beredar di kantor?"

Bara tidak menjawab. Jujur saja dia merasa sangat terganggu dengan gosip yang menyebar di kantor jika Seika sedang menjalin hubungan dengan Devan. Apa lagi dia tadi melihat gadis itu sedang berciuman dengan Devan di restoran Jepang.

Apa salah kalau dia menganggap mereka benar-benar mempunyai hubungan spesial?

Seika menghela napas panjang. Diamnya Bara sudah menjawab semuanya. Sepertinya lelaki itu percaya dengan gosip tersebut. "Astaga, Bara! Jangan bilang kamu percaya dengan gosip itu?!"

Bara malah tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maaf, aku bertanya karena ingin tahu kebenarannya. Apa aku salah?"

"Enggak, sih. Aku cuma heran saja kamu percaya dengan gosip yang beredar di kantor. Coba kamu pikir, mana mungkin lelaki yang nyaris sempurna seperti Pak Devan mau sama gadis seperti aku. Enggak mungkin, kan?"

"Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, Seika." Bara menginjak gas mobilnya karena lampu sudah menyala hijau. "Siapa yang tahu kalau Tuhan ternyata menjodohkan kamu dengan Pak Devan," ucapnya setengah bercanda.

"Ih, amit-amit jabang bayi." Seika mengetuk kepalanya setelah itu dasboard mobil Bara sebanyak tiga kali agar ucapan Bara tidak menjadi kenyataan. Seika tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya jika menjadi pendamping hidup seorang Marcellio Devan. Bisa-bisa dia mati muda karena terkena tekanan darah tinggi.

Bara malah tersenyum lalu mengusap puncak kepala Seika dengan gemas. Entah kenapa, dia merasa lega karena Seika ternyata tidak menjalin hubungan dengan Devan.

Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di rumah Seika. Gadis itu segera melepas sabuk pengamannya lalu mengucapkan terima kasih pada Bara karena sudah mengantarnya pulang.

"Terima kasih banyak ya, Bar."

"Sama-sama, Seika."

"Mau mampir?"

Bara diam sebentar memikirkan tawaran Seika.

"Aku akan membuat makanan yang enak kalau kamu mau mampir." Seika melihat benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya sebelum kembali bicara. "Lagi pula sebentar lagi Bang Sat pulang."

Bara tersenyum. "Baiklah, aku akan mampir sebentar."

Seika ikut tersenyum. Mereka pun segera turun dari mobil lalu berjalan memasuki rumah Seika bersama-sama. Rumah Seika hanya berlantai satu dan berukuran tidak terlalu besar. Dindingnya didominasi cat berwarna putih. Meski kecil, Rumah Seika terasa sangat nyaman dan Bara bisa merasakan kehangatan di sana.

"Mau minum apa?"

"Tidak perlu repot-repot, Seika."

"Aku tidak merasa direpotkan sama sekali. Kamu mau minum apa, Bara?"

"Em, air putih saja."

"Beneran cuma air putih?" tanya Seika memastikan.

"Kalau aku minta air zam-zam apa kamu bisa mengabulkannya?"

"Air putih saja kalau begitu." Seika langsung melenggang menuju dapur untuk mengambil segelas air putih untuk Bara.

Bara mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruang tamu selepas kepergian Seika. Senyum tipis menghiasi bibirnya ketika melihat foto Seika saat masih kecil yang menempel di dinding. Gadis itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan karena kedua pipinya selalu terlihat memerah jika terkena panas.

Bara sontak mengalihkan pandangannya dari foto Seika karena mendengar derap langkah kaki yang mendekatinya.

Seika datang dari dapur sambil membawa setoples kue kering yang dia buat dua hari yang lalu dan segelas air putih untuk Bara.

"Terima kasih banyak, Seika."

"Sama-sama. Aku tinggal ke belakang sebentar nggak papa, kan?"

"Apa aku boleh membantu?"

Seika menatap Bara dengan lekat, sedetik kemudian dia menganggukkan kepala. "Boleh," jawabnya.

Bara pun melepas kaca matanya, lalu melepas dasi yang sedari tadi terpasang di lehernya dan menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku karena dia ingin membantu Seika menyiapkan makanan.

Seika menatap Bara tanpa berkedip. Entah kenapa lelaki itu terlihat sangat tampan di matanya sekarang. Rasanya Seika ingin sekali menjadikan Bara sebagai kekasihnya. Namun, Bara tidak menyukai perempuan.

"Kenapa?" tanya Bara karena Seika sejak tadi terus memperhatikannya.

"Kamu terlihat tampan sekali." Seika senyum-senyum tidak jelas sambil menatap Bara dengan penuh minat. Dia pasti akan menjadi gadis paling beruntung di dunia jika memiliki kekasih yang sangat tampan dan perhatian seperti Bara.

Bara menghela napas panjang sambil memutar bola mata malas lalu menyentil kening Seika agar gadis itu berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak.

"Aduh!" Lamunan Seika ketika buyar. Gadis itu meringis kesakitan sambil mengusap keningnya yang terlihat sedikit memerah.

"Apa yang kamu pikirkan, Seika? Apa kamu sedang membayangkan menjadi kekasihku?" tebak Bara tepat sasaran.

Seika malah tertawa tanpa dosa lalu menjawab 'iya'.

"Astaga!" Bara kembali menghela napas panjang. "Aku kan, sudah sering bilang sama kamu kalau kamu itu—"

"Bukan seleraku," sahut Seika ketus karena Bara selalu mengatakan kalimat itu pada dirinya.

Kini giliran Bara yang tertawa. "Gadis pintar," ucapnya sambil mengusap puncak kepala Seika dengan gemas.

"Kamu serius nggak suka sama perempuan, Bar?"

Tangan Bara sontak berhenti mengusap puncak kepala Seika. Sampai sekarang pun Bara masih bingung dengan orientasinya karena jantungnya tidak pernah berdebar karena perempuan.

"Aku tidak tahu."

"Kok, tidak tahu?" tanya Seika bingung.

Bara menurunkan tangannya dari kepala Seika lalu memasukkannya ke dalam saku celana. "Entahlah, tapi jantungku tidak pernah berdebar karena perempuan."

"Bagaimana kalau kita buktikan jantungmu bisa berdebar karena perempuan atau tidak?"

"Caranya—?" Napas Bara tercekat, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Dia refleks mundur hingga membentur dinding yang ada di belakangnya karena Seika tiba-tiba mendekat.

Aroma stroberi yang menguar dari tubuh Seika tercium jelas di indra penciumannya karena jarak mereka sangat dekat. Dia bahkan bisa merasakan embusan hangat napas Seika yang menerpa kulit wajahnya.

Sial!

Kenapa jantungnya tiba-tiba berdebar?

Bara ingin mendorong Seika agar menjauh darinya, tapi kedua tangannya seolah-olah tidak mampu bergerak. Apa yang harus dia lakukan?

Seika menatap Bara dengan lekat. Dia harus bisa membuat jantung lelaki itu berdebar-debar karena tatapan kedua matanya. Namun, Bara tidak menunjukkan reaksi apa pun.

Apa dia tidak berhasil?

Seika berdecak kesal lalu kembali ke posisi semula. Sepertinya dia gagal membuat jantung Bara berdebar.

Bara sontak mengembuskan napas lega ketika Seika sudah menjauh darinya. Bara tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada jantungnya jika Seika terus berada di dekatnya.

"Kenapa tidak berhasil, sih?" Seika mengerucutkan bibir kesal sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Aku juga tidak tahu." Bara menyambar segelas air putih yang ada di atas meja lalu meminumnya hingga tandas untuk menyembuyikan kegugupannya.

"Bagaimana kalau kita coba cara yang lain?"

"Uhuk!" Bara sontak tersedak mendengar pertanyaan Seika barusan. Sepertinya gadis itu belum menyerah membuat jantungnya berdebar.

Gadis Lugu Milik CEO DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang