42. You Are Mine

1.4K 36 4
                                    

'I adore you, Seika. I ADORE YOU ....'

Seika bergeming di tempat dengan jantung berdetak hebat karena ucapan Devan barusan terus terngiang-ngiang di telinganya. Dia tidak terlalu bodoh untuk mengartikan kalimat tersebut meskipun dia hanya lulusan SMA.

Benarkah Devan menyukainya?

Seika beranjak dari tempat duduknya begitu saja lalu pergi meninggalkan Devan. Seika yakin sekali Devan pasti salah bicara karena lelaki itu pernah memberitahu dirinya kalau masih mencintai mendiang istrinya. Devan tidak mungkin menyukainya.

"Seika, tunggu!" Devan cepat-cepat menyusul Seika lalu mencekal pergelangan gadis itu. "Kenapa kamu pergi?"

Seika berusaha melepas tangannya, tapi genggaman Devan malah semakin erat membuat beberapa pengunjung restoran sontak memperhatikannya.

"Pak, lepas," pintanya karena tidak suka menjadi pusat perhatian.

"Saya tidak akan melepasnya sebelum kamu menjawab pertanyaan saya. Ikut saya! Kita perlu bicara!" Devan menyeret Seika dengan paksa dan meminta gadis itu masuk ke dalam mobilnya.

"Tunggu di sini sebentar! Jangan pergi ke mana-mana!" ucap Devan sebelum masuk kembali ke restoran untuk membayar makanan yang belum sempat dia makan.

Seika mengerucurkan bibir kesal karena Devan suka sekali memerintah, tapi anehnya dia tetap menuruti perintah lelaki itu padahal dia bisa pergi kapan saja.

Tidak lama kemudian Devan terlihat keluar dari restoran. Seika tidak mengalihkan pandang sedikit pun dari Devan yang sedang berjalan menghampirinya. Cara berjalan lelaki itu terlihat seperti model papan atas. Seika yakin sekali orang yang baru pertama kali melihat Devan pasti mengira lelaki itu model dari pada seorang pengusaha.

"Pakai sabuk pengamanmu."

Seika tergagap, dia tidak sadar jika Devan sudah duduk di bangku belakang kemudi karena terlalu asyik melamun.

"Pakai sabuk pengamanmu, Seika." Devan mengulangi kalimatnya karena Seika tidak kunjung memakai sabuk pengaman.

Seika mendengkus kesal. Dia pun segera memakai sabuk pengaman sebelum Devan semakin marah. Devan segera melajukan mobilnya meninggalkan restoran setelah memastikan Seika duduk dengan aman.

"Kita mau ke mana? Bapak tidak mau menculik saya, kan?" tanya Seika ketika mobil yang dikendarai Devan memasuki gerbang tol.

Devan melirik Seika lewat kedua ekor matanya lalu mendengkus kesal. "Siapa juga yang mau menculik kamu? Saya tadi kan, sudah bilang kalau kita perlu bicara, Seika."

Suara Devan terdengar sangat lembut,  membuat jantung Seika seketika berdegup kencang.

"Perjalanan kita lumayan jauh. Tidurlah, saya akan membangunkanmu kalau kita sudah sampai."

"Memangnya kita mau pergi ke mana sih, Pak?" tanya Seika penarasan.

"Rahasia."

Seika mendengkus kesal mendengar jawaban Devan lalu menurunkan sandaran kursinya. Lebih baik dia tidur dari pada terus meladeni Devan. Namun, dia tidak bisa tidur karena perutnya terasa perih.

Devan tampak begitu serius mengemudikan Mercedes Benz G65 miliknya sambil sesekali melirik Seika yang duduk di sampingnya. Gadis itu tampak gelisah sambil memegangi perutnya dan menggigit bibir bagian bawahnya, seolah-olah sedang menahan sesuatu.

"Perjalan kita masih jauh, Seika. Kenapa kamu tidak tidur?"

Seika pun membuka kedua matanya perlahan. "Perut saya perih, Pak."

"Apa? Perih?" pekik Devan terdengar panik. "Apa kita perlu ke dokter?"

Seika menggeleng pelan. "Saya belum sarapan, Pak. Makanya perut saya perih," ucapnya sedikit malu-malu.

"Oh." Devan sontak mengembuskan napas lega. Dia benar-benar takut jika terjadi sesuatu dengan Seika. "Ada rest area tidak jauh dari sini. Kita berhenti di sana sebentar untuk sa—" Devan meralat ucapannya ketika sadar jika sekarang sudah hampir jam sebelas siang.

"Untuk luch," imbuhnya.

Seperti yang sudah Devan katakan sebelumnya, tidak jauh dari lokasi mereka ada rest area. Devan pun menghentikan mobilnya lalu meminta Seika untuk turun.

Seika ingin melepas jas milik Devan yang sejak tadi melingkari tubuhnya, tapi Devan malah melarang.

Seika berdecak kesal. "Kenapa sih, Pak? Apa Bapak tidak tahu cuacanya sekarang lumayan panas?"

"Saya tadi sudah bilang kan, kalau saya tidak suka jika ada orang lain yang melihat tubuhmu, Seika. Kalau kamu tidak mau memakainya, lebih baik kamu di mobil saja. Biar saya yang turun sendiri membeli makanan," ucap Devan tidak bisa dibantah Tingkahnya mirip sekali dengan seorang suami yang posesif pada istrinya.

Seika mengerucutkan bibir kesal. Malas berdebat, dia pun memutuskan untuk memakai jas milik Devan lalu turun dari mobil. "Kenapa Bapak tidak suka kalau ada orang lain yang melihat tubuh saya? Padahal Bapak tadi juga melihatnya."

Devan sontak berhenti melangkah, lalu berbalik menatap Seika. "Karena cuma saya yang boleh melihat tubuhmu, orang lain tidak! Apa kamu sudah paham?"

Seika menggeleng pelan. Dia tidak tahu mengapa Devan tidak mengizinkan orang lain melihat tubuhnya. Padahal gaun yang dia pakai sekarang tidak terlalu terbuka. Lagi pula mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa, tapi Devan sangat posesif pada dirinya.

Devan mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan Seika. Sepasang mata abu-abu miliknya menatap Seika dengan lekat.

Jantung Seika berdebar hebat, tanpa sadar dia menahan napas ketika Devan mendekat, mengkis jarak di antara mereka. Dia bahkan bisa merasakan embusan napas Devan yang menerpa kulit wajahnya karena jarak mereka sangat dekat. Rasanya Seika ingin sekali mendorong Devan agar menjauh darinya, tapi kedua tangannya seolah-olah kehilangan fungsi.

"Kamu ingin tahu kenapa saya tidak memperbolehkan orang lain melihat tubuhmu?"

Seika mengangguk kaku. Tatapan kedua matanya tertuju pada Devan. Lelaki itu seolah-olah memiliki jerat yang membuatnya tidak bisa lepas.

"Karena kamu milik saya, Seika," bisik Devan sambil mencuri kecupan di bibir manis Seika.

Gadis Lugu Milik CEO DudaWhere stories live. Discover now