19. Sebuah Tawaran

1.2K 43 0
                                    

Seika mendesah panjang. "Ada apa lagi sih, Pak? Kerjaan saya tuh, banyak. Kalau saya tidak segera kembali ke pantry Mbak Maya pasti—"

"Kamu berani membantah saya? Kalau saya bilang duduk ya, duduk!"

Seika berdecak lalu mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di depan Devan dengan kesal sambil melipat kedua tangannya di atas meja. Mirip seperti anak TK yang sedang menunggu giliran pulang.

"Kenapa mukamu cemberut seperti itu? Apa terjadi sesuatu?" tanya Devan heran karena Seika mendadak bad mood setelah membuat secangkir kopi untuknya.

"Kepo," sahut Seika datar. Gadis itu bahkan tidak merasa takut sedikit pun padahal lawan bicaranya sekarang adalah Devan.

Seika benar-benar kesal karena Devan membuatnya menjadi bahan gunjingan orang satu kantor. Lelaki itu bahkan mencium bibirnya ketika di restoran Jepang tadi.

Kenapa dia harus bertemu dengan lelaki yang sangat menyebalkan seperti Devan, sih?

"Seika!" Devan menatap Seika dengan tajam karena gadis itu mulai berani melawannya.

"Saya tuh, lagi kesel, Pak." Seika tanpa sadar mencengkeram nampan yang ada di tangannya untuk melampiaskan kekesalannya pada dua orang office girl yang terang-terangan membicarakannya dan Devan.

"Kesal kenapa?" Suara Devan terdengar sedikit melunak. Entah kenapa dia mendadak ingin tahu banyak hal tentang Seika.

"Masa saya dikira pasang susuk buat narik perhatian Pak Devan. Memangnya saya cewek apaan? Pergi ke dukun saja saya tidak pernah."

"Jadi karena itu?"

"Ada lagi."

"Apa?"

"Kenapa Bapak tadi mencium saya? Bapak tahu nggak sih, kalau itu—" Seika menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan untuk meredam emosinya agar tidak meledak.

"Ciuman pertama saya?" sengitnya dengan mata melotot.

"Saya tadi kan, sudah bilang sama kamu kalau saya khilaf."

Jawaban yang Devan berikan semakin membuat Seika naik darah. "Enteng banget Bapak bilang khilaf. Bapak tahu nggak, sih? Saya tuh, udah berusaha keras menjaga bibir saya untuk diberikan pada calon suami saya nanti. Tapi Bapak malah main sosor sembarang."

"Tapi kamu suka, kan?"

"A-apa? Suka?!" Wajah Seika sontak bersemu merah mendengar pertanyaan Devan barusan. Jantung pun berdebar hebat. Apa dia menyukai ciuman Devan?

Seika sontak menggelengkan kepala. "Eng-enggak! Saya nggak suka!"

"Kalau tidak suka lihat mata saya."

Seika pun memberanikan diri untuk menatap kedua mata Devan. Satu dua detik dia tidak merasakan apa pun pada dirinya. Namun, lama-kelamaan jantungnya berdetak semakin cepat, seolah-olah ingin meledak. Tanpa sadar dia meremas kedua pahanya dengan erat sebagai pelampiasan.

"Aish!" Seika tiba-tiba membuang muka ke arah lain. Rasa panas sontak menjalari wajahnya, meninggalkan semburat merah di kedua pipinya karena dia kembali teringat dengan ciuman Devan.

Seika mengaku kalah. Dia akui Devan adalah seorang pencium yang handal. Aura lelaki itu pun sangat dominan.

Devan menyeringai senang lalu membetulkan dasinya yang sedikit longgar. Devan sudah menduga Seika pasti tidak tahan menatap kedua matanya lama-lama karena wajah tampannya selalu bisa membuat wanita terpesona, termasuk Seika.

"Mau minum?"

Seika langsung menyambar segelas air putih yang ada di atas meja lalu meminumnya hingga tandas. Namun, entah kenapa dia masih merasa haus. Apa lagi Devan sejak tadi terus menatapnya.

Gadis Lugu Milik CEO DudaWhere stories live. Discover now