10. Permainan Takdir

1.2K 38 2
                                    

Devan beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri Cherry di kamar. Helaan napas panjang seketika lolos dari bibirnya melihat Cherry yang tengkurap di atas tempat tidur sambil membenamkan wajahnya di bantal. Isakan kecil sesekali lolos dari bibir anak perempuannya itu.

"Cherry marah sama papa?" Devan membangunkan Cherry agar menghadapnya. Mata dan hidung anak itu terlihat sembab karena menangis.

Cherry menggeleng pelan. Dia hanya merasa kecewa karena Devan melarangnya bertemu dengan Seika.

Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dada Devan dengan cukup keras ketika melihat kesedihan di wajah cantik Cherry. Sebagai seorang ayah Devan tahu kalau Cherry kecewa pada dirinya meskipun anak itu tidak mengatakannya.

"Maafin papa, ya?" Devan menghapus air mata yang membasahi pipi Cherry dengan lembut. Dia merasa sangat bersalah sudah membuat Cherry menangis.

"Cherry mau ketemu mama ...."

Devan mengatupkan rahangnya rapat-rapat untuk meredam emosinya agar tidak meledak karena Cherry ingin bertemu dengan Seika. "Kak Seika bukan mama kamu, Sayang. Mama Cherry cuma Mama Elea. Tidak ada yang lain."

Cherry terdiam mendengar ucapan Devan barusan, air mata kembali jatuh membasahi pipinya. Cherry merasa sangat sedih karena Devan menyuruhnya agar berhenti menganggap Seika sebagai mamanya. Padahal dia menemukan sosok ibu yang dia idam-idamkan dalam diri Seika.

Perasaan bersalah kembali menyelimuti diri Devan. Akhirnya dia membiarkan Cherry memanggil Seika mama agar anak itu berhenti bersedih.

"Cherry mandi dulu, ya? Setelah itu sarapan dan berangkat sekolah."

"Cherry nggak mau sekolah."

"Kenapa tidak mau?" Devan terlihat begitu sabar menghadapi Cherry karena sebagian hidup Elea ada di dalam diri anak itu.

"Cherry mau ketemu sama Mama Seika." Cherry sontak menunduk setelah mengucapkan kalimat itu dari bibirnya karena takut Devan kembali akan kembali memarahinya.

"Baiklah, nanti kita ketemu sama Kak Seika."

Cherry sontak menatap Devan. Binar bahagia terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Beneran, Pa?"

Devan mengangguk. Tidak ada hal lain yang lebih membahagiakan di dunia ini selain melihat senyum Cherry, meskipun dia belum tentu bisa mengabulkan permintaan anak itu.

"Terima kasih, Papa." Cherry memeluk Devan dengan erat lalu mengecup kedua pipi papanya itu bergantian.

"Sama-sama, Sayang. Cherry sekarang mandi dulu, ya? Mau papa mandiin atau mandi sendiri?"

"Mau dimandiin Papa ...."

"Baiklah." Devan menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku lalu menggendong Cherry ke kamar mandi. Dia tidak mengeluh sedikit pun ketika Cherry meminta dirinya untuk memandikannya padahal dia sekarang sudah memakai setelan kerja lengkap.

Setelah mandi, Devan meminta anak perempuannya itu untuk sarapan. Namun, Cherry hanya makan sedikit. Devan pun meminta pelayan untuk membawakan bekal karena dia akan mengajak Cherry pergi ke kantor.

***

Seika mengusap keringat yang keluar membasahi keningnya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. Gadis itu terlihat begitu semangat mengepel lobi karena gaji office girl di Devan Grup jauh lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang lainnya. Padahal gaji tersebut belum termasuk uang lembur.

Baik sekali kan, pemilik perusahaannya?

Rasanya Seika ingin sekali mengucapkan terima kasih pada pemilik perusahaannya jika mereka mempunyai kesempatan untuk bertemu secara langsung.

Seika sayup-sayup mendengar pembicaraan dari beberapa karyawan perempuan yang berada tidak jauh darinya. Mereka sepertinya sedang membicarakan pemilik perusahaan alias CEO mereka.

"Aku nggak sengaja melihat Pak Devan kemarin. Ternyata dia memang tampan."

"Benarkah?"

"Iya, postur tubuhnya juga bagus."

"Ya, ampun. Aku jadi tambah pengen jadi istri Pak Devan."

"Jangan mimpi! Memangnya Pak Devan mau sama kamu?"

"Ya, siapa yang tahu?!"

Kening Seika berkerut dalam karena nama pemilik perusahaan tempatnya bekerja sama dengan papa kandung Cherry. Namun, di dunia ini tidak hanya ada satu orang yang bernama Devan. Seika yakin sekali Devan yang dimaksud karyawan tersebut pasti Devan yang lain.

Tiba-riba saja sekumpulan karyawan tersebut berteriak histeris. Sepertinya orang yang sejak tadi mereka bicarakan muncul.

Seika pun ikut menyembulkan kepalanya di antara karyawan tersebut karena ingin tahu seperti apa wajah pemilik perusahaan sekaligus CEO tempatnya bekerja.

Apa benar wajah lelaki itu sangat tampan?

Helaan napas panjang lolos dari bibir Seika. Dia hanya bisa melihat punggung tegap sang CEO yang berjalan memasuki lift karena postur tubuhnya tidak terlalu tinggi.

"Ah, sudahlah." Seika memutuskan untuk melanjutkan kembali pekerjaannya. Setelah selesai dia segera membereskan peralatan kebersihannya lalu meletakkannya ke tempat semula.

"Tolong buatin kopi dong, Ka. Aku udah nggak tahan pengen ke toilet."

Seika tergagap karena salah satu rekan kerjanya tiba-tiba menyodorkan satu buah cangkir kosong dan meminta dirinya untuk membuat kopi. Tanpa menunggu waktu lama dia pun segera membuat kopi sesuai permintaan rekan kerjanya tersebut.

"Aku harus mengantar kopi ini ke mana?" tanya Seika ketika selesai membuat kopi.

"Ke ruangan yang ada di lantai dua puluh sembilan," teriak temannya dari dalam kamar mandi.

Kening Seika berkerut dalam karena lantai tersebut adalah lantai paling tinggi di perusahaan dan hanya ada satu ruangan di sana. Ruangan pemilik perusahaan.

Haruskah dia mengantar kopi ini ke sana?

Seika bergegas pergi ke lantai paling atas lewat lift khusus pegawai sebelum kopi yang dia buat dingin. Dia menyempatkan diri untuk menyapa sekretaris pemilik perusahaan ketika tiba di lantai dua puluh sembilan.

"Permisi, Pak."

Pramudya mengangguk singkat untuk membalas sapaan Seika dan membiarkan gadis itu mengantar kopi ke ruangan atasannya.

Seika menarik napas panjang, lalu mengembuakannya perlahan sebelum mengetuk pintu yang memiliki simbol huruf D besar di bagian depannya.

"Masuk!"

Gadis Lugu Milik CEO DudaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant