PART 4 - STRANGE FATE

142 111 103
                                    

Suka sekali sama lagu ini 😍😍😍Nadanya mungkin cocok untuk chapter ini 💕

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Suka sekali sama lagu ini 😍😍😍
Nadanya mungkin cocok untuk chapter ini 💕

***

Musim Semi, Tingkat terakhir SMA ....

Zoe Sachi berdiri di depan bangunan bertingkat penuh kaca yang terletak di Shibuya. Oh, bagus aku sedang ingin makan shabu-shabu, dan sukiyaki, batinnya mendesah senang.

Bergegas melenggang ke dalam diiringi langkah ringan, melupakan perdebatan kecil dengan Ibunya yang terjadi pagi ini. Desakan dan ancaman tak masuk akal yang diutarakan Ibunya jika  tak hadir ke salah satu resto yang terletak di Shibuya.

Lantas terasa cukup aneh. Mengapa Sakamoto Seira, Ibunya melayangkan ancaman hanya untuk sebuah makan malam biasa. Tapi sikap Ibunya akhir-akhir ini mendadak sangat aneh. Tiba-tiba saja lebih perhatian terhadap dirinya sendiri, mewujudkan dengan memakai pakaian-pakaian yang telah tak dikenakan ketika masih bersama Ayahnya.

Tak lupa mengubah gaya rambutnya supaya terlihat lebih bergaya. Seharusnya Sakamoto Seira ingat, dia tidak lagi muda.

“Maaf, bisa tunjukkan meja yang sudah dipesan oleh Sakamoto Seira?” tanya Zoe Sachi kepada seorang wanita berpakaian rapi dengan seragam khas resto mereka. Wanita itu melayangkan senyum ramah sebelum menunjukkan meja dengan enam kursi melalui gestur tangannya.

Arigatou Gozaimasu*,” tanggap Sachi, kakinya pun menarik langkah melewati beberapa meja yang telah dipenuhi oleh pengunjung, beberapa lainnya hanya tertulis ‘reserved’. Meja yang di pesan oleh Ibunya terletak di ujung ruangan, tepat di sudut.

Gadis itu menjatuhkan pinggulnya ketika menemukan meja yang Ibunya pesan. Tapi, tiba-tiba saja ia menyadari bahwa ada orang lain yang menempati meja yang sama. Lehernya pun menyentak kuat ke samping.

“Oh, Astaga!” reaksi Sachi kepalang heboh, dan bodohnya ia tak sanggup menahan pekikan konyolnya.

Laki-laki yang duduk disampingnya pun berjingkat sambil menyumpal kedua telinganya, mencegah suara melengking Sachi untuk tak merusak gendang telinganya.

“Demi apa pun, kau ini tak bisa ya menjaga suaramu?” desisnya tak senang.

Seakan ucapan Hiro sanggup menyadarkannya supaya menjaga volume suaranya di resto, kedua tangannya bergegas menutup mulutnya, “Gomen* ….”

Ryuichi Hiro membuang pandangan sebal. Ingin rasanya Sachi mengutuknya mati-matian, tidak bisa ya dia menjaga ekspresi wajahnya sejenak saja, supaya tampang diginnya itu lenyap sesaat.

Sungguh takdir macam apa ini? Mengapa mata jelinya tak sanggup menangkap bayangan laki-laki ini di meja yang hendak ia tuju.

Demi meredakan tercengangnya, Sachi buru-buru menarik napas dalam-dalam, “Maaf …,” sergahnya mengabaikan tampang menyebalkan khas Ryuichi Hiro. “Bukankah ini meja yang di pesan Sakamoto Seira?”

Rupanya bukan hanya kesadarannya yang sempat direnggut oleh terkesiap, separuh kesadaran laki-laki itu pun juga. Tanpa mereka sadari, dengung sedang di Nabezo Shibuya Koendori pun mendadak samar, seakan ada yang menurunkan volume-nya.

Ryuichi Hiro mengerjap heran, “Bukan, aku duduk di sini karena meja ini telah dipesan oleh Ayahku, Ryuichi Koji,” jawabnya tanpa meninggalkan nada ragu.

“Oh …,” desah Sachi, walau benaknya menyimpan seberkas kejanggalan, namun ia menyerah untuk memutuskan berebut meja dengannya. “Mungkin aku salah meja.”

Enggan timbul sebuah pertikaian, tubuhnya pun ia tegakkan dan beranjak berpindah ke meja seberang, di saat laki-laki itu memaku pergerakannya tanpa jeda. Sialnya, akibat interaksi singkat itu debaran demi debaran menggedor di luar kendali.

Satu hal yang snagat menyebalkan, mengapa laki-laki berdarah dingin yang jauh sekali dari tipe ideal yang ia tetapkan mampu memancing keributan pada jantungnya yang malang.

Sial, desisnya tak membiarkan matanya jatuh ke arah Ryuichi Hiro lagi. Rupanya berada di dekat orang yang disukai belum tentu menyenangkan. Cukup menyiksa ketika tiba-tiba dadanya terasa sesak—sekujur tubuhnya membeku diselimuti oleh ketakutan yang aneh—dan secuil rasa geli terselip dalam benaknya.

Lantaran lebih menyenangkan untuk menautkan pandangan dari tempat yang tak pernah Hiro jangkau, secara diam-diam. Saat itu, debaran yang menyenangkan akan menghampirinya.

Demi meredakan jantungnya yang berulah, secepat mungkin isi kepalanya ia arahkan ke sesuatu yang lebih layak untuk dipikirkan. Benar, ia semestinya menuliskan laporan mengenai hal-hal yang ia pelajari dalam seni kuliner.

Sebuah laporan mingguan yang semestinya dikirimkan ke Ayahnya, Benjamin William yang telah tinggal di Ohio, Amerika. Semenjak perceraian orang tuanya empat tahun lalu, Ayahnya yang berasal dari Amerika memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan mendirikan toko kue di sana.

Mungkin Ayahnya lah yang menurunkan bakat ini pada Sachi, sehingga sangat antusias dalam mempelajari seni kuliner melebihi apa pun di dunia ini.

Onee-chan, mengapa duduk di sini? seharusnya kita duduk di sana.” Suara itu memaksa Sachi mengangkat kepalanya.

Manik matanya dapat melihat Ed Shota William, yang telah berganti pakaian berdiri di samping meja. Sesuai namanya yang tidak sepenuhnya mencerminkan nama Jepang, wajah Sotha juga tidak sepenuhnya seperti ciri khas wajah Jepang. Ia memiliki bentuk hidung dan tinggi badan seperti orang Amerika, meskipun ia tidak memiliki warna rambut seperti Sachi.

Sachi dapat melihat dari ekor matanya saat menatap Sotha, bahwa Hiro menjatuhkan pandangan ke arahnya. Menyadari akan itu, sebelah tangannya bergerak penuh tenaga menarik lengan adiknya untuk segera mengambil tempat di sebelahnya.

Sotha menatapnya bingung. “Aku juga tidak mengerti mengapa dia duduk di sana?” desis Sachi lirih.

Otomatis pandangan Sotha kembali ke arah Hiro. Dan itu praktis membuat Hiro kembali menautkan mata ke arahnya. Sachi tergagap, nyaris menerjangkan teriakan ke Sotha, diiringi gerakan siaga ia memalingkan wajah Sotha supaya kembali mengarah padanya.

“Jangan pandang dia …,” desisnya kesal, “karena aku tidak ingin dia kembali melempar pandangan ke mari.”

Sebelah alis Sotha terangkat, “Ada apa Onee-chan?” tanyanya tak mengerti. “Dia satu sekolah dengan kita, bukan?”

Sachi mengangguk sambil menatap Sotha penuh makna. Sebuah penjelasan bersiap ia lepaskan ke Sotha, namun sebelum itu tercapai, kehadiran Sakamoto Seira menghalau tindakannya.

***

Gomen/ Gomen ne : perminta maafan yang lebih informal yang biasanya ditujukan untuk teman atau sahabat.

Arigato Gozaimasu : ucapan sopan untuk menyampaikan terima kasih.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
The Light Start at 18yo (COMPLETE)Where stories live. Discover now