PART 21 - THE LIGHT

80 44 81
                                    

“Astaga, apa sakit? Aduh bodoh, tentu saja sakit,” tandasnya mendadak seperti orang tolol

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Astaga, apa sakit? Aduh bodoh, tentu saja sakit,” tandasnya mendadak seperti orang tolol. Hiro masih enggan berkomentar di tengah-tengah mengecap rasa sakit yang semakin nyata.

Tanpa menautkan pandangan ke arah Zoe Sachi, ia melenggang melewati Sachi menggunakan langkah lebar dan menghempaskan punggungnya pada sofa berlengan, membiarkan kepalanya bersandar.

“Darah … hidungmu berdarah. Aduh … aku harus bagaimana, apa yang haru kulakukan?”


***


Masih sambil mengabaikan suara berisik dari mulut Sachi yang semakin menambah kepeningan dalam kepalanya, matanya ia pejamkan rapat-rapat, berharap denyutan berat itu mereda, di tambah rasa nyeri tak tertahan pada hidungnya.

“Tisu … aku butuh tisu …,” lantang Hiro di antara kegelapan yang kelopak matanya ciptakan.

Sedikit kekhawatiran terbit, ia tidak pernah memahami level rasa sakit patahnya tulang hidung, tapi mungkin ketika rasa nyeri itu mendekati mati rasa. Atau kemungkinan yang sama buruknya, jika tidak patah mungkin tulang hidungnya bengkok, astaga ….

Perintah dari Hiro mendesaknya berlarian melintasi ruangan untuk segera menemukan benda itu.

Memikirkan keselamatan tulang hidung Hiro, tubuhnya tiba-tiba terserang oleh hawa dingin. Bertentangan dengan otaknya yang semakin memanas layaknya sedang dibakar oleh kepanikannya. Kekacauan dalam dirinya membuatnya berlarian tanpa arah, dan tanpa tujuan yang jelas.

Tungkainya menarik langkah ke dapur, dan sialnya ia kesulitan menemukan alasan mengapa ia datang ke tempat ini. Ia berpindah ke kotak obat, dan tidak tahu harus mengambil yang mana.

Alih-alih gadis itu segera datang dan membawakan benda yang Hiro minta, darah segar telah mengalir dari hidungnya dan melewati bibirnya. Meskipun, mulutnya ia katupkan rapat-rapat, lidahnya mampu mengecap rasa amis cairan pekat itu, atau penciumannya telah dipenuhi oleh bau anyir yang membangkitkan rasa mual.

Tidak ada pilihan lain, menggunakan sisa-sisa tenagannya ia bangkit disebabkan tidak tersedianya kesabaran untuk menunggu Zoe Sachi lebih lama lagi. Matanya pun masih kesulitan untuk terfokus pada satu titik, membuatnya terhuyung tak tentu arah, seolah sake telah mengalir pada tiap sel tubuhnya dan mengambil alih kesadaannya.

Nyatanya tisu yang dibutuhkannya terletak di atas kotatsu ruang televisi yang tidak jauh darinya, dan semestinya dapat dengan mudah penglihatan Sachi jangkau, tapi mengapa gadis itu tak menemukan seolah benda itu terpendam dalam tumpukan jerami.

Tangannya mengusap cairan ketal, metrah pekat, dan lengket yang belum menyerah untuk mengalir keluar dari hidungnya, matanya bergerak ke arah Zoe Sachi yang masih nampak linglung. Astaga, dia sungguh merepotkan.

“Zoe Sachi,” panggil Hiro dengan eskpresi cemberut yang masih bertahan. “Bisa tolong ambilkan sebaskom air panas, dan handuk kecil.”

Zoe Sachi mengerjap. Oh benar, itu yang aku butuhkan! Seolah perintah Hiro adalah pelumas yang membantu sebuah roda supaya berjalan, otaknya kembali berputar dan menyadari apa yang harus ia lakukan. Ia kembali melangkah ke dapur untuk yang kesekian kalinya. Bedanya, kali ini ia tahu apa yang harus ia lakukan.

The Light Start at 18yo (COMPLETE)Where stories live. Discover now