Nilai Minus

31 8 0
                                    

Kelas yang pada dasarnya memang tidak pernah terjadi keributan, sekarang menjadi pusat perhatian. Polisi sudah memasuki kelas mereka dan memberikan praduga pertama jika kematian Professor Jacob Easton adalah pembunuhan.

Sekarang suluruh siswa-siswi kelas A dikumpulkan di dalam aula. Tampak sekali wajah syok mereka. Apalagi jika berprasangka banyaknya tak-tik yang dimainkan hingga yang tidak bersalah menjadi tersangka.

Semua itu bisa terjadi, ketika kekuatan digunakan tidak dengan bijak, kekuatan itu akan menghancurkan.

Sejauh ini hanya itu yang bisa Lucy amati. Bisa saja dia menjadi tumbal karena tidak ada orang tua yang ingin jika anaknya akan hidup dengan menyandang status pembunuh seumur hidup. Terlebih mereka bisa menguasai banyak faktor. Sedangkan Lucy, dia sudah setengah mati bertahan karena beasiswa saja.

Lucy menghela napas lelah. Sejak awal kelas Prof. Jacob memang sudah membuat banyak orang terkejut. Kepalanya malah semakin pusing hingga yang bisa dia lakukan hanyalah diam. Tapi dia harus menenangi Serena.

“Gue ke kantin dulu,” ucapnya pada Serena seraya menepuk dua kali pundak gadis itu. Serena hanya mengangguk lemah. Dia masih dalam keadaan yang syok. Untuk pertama kalinya Serena melihat kematian di depan matanya dengan cara yang tidak lazim.

Tentu juga dia khawatir, karena setelah ini dia akan banyak digunakan untuk kesaksian dalam kasus yang sudah dilabeli pembunuhan.

“Khai, tolong temenin Serena dulu, dong,” pinta Lucy sebelum dia benar-benar pergi dari ruangan aula.

Akan tetapi, respon yang Lucy terima sangatlah buruk. Khai bersikap seolah tidak mendengar apa yang Lucy katakan dengan tetap fokus pada laptopnya. Air wajah Lucy yang berubah, membuat orang di sekitarnya mendadak memerhatikan Lucy dalam diam.

“Lo jangan pura-pura budeg, deh.” Nada bicara Lucy berubah kurang bersahabat.

 “Penting, kah gue ngurusin omongan lo? Gue lagi fokus belajar.” Lucy sukses menganga saat mendengar jawaban itu. Di saat seperti ini, Khai masih bisa fokus belajar? Dia benar-benar manusia luar biasa.

“Barusan ada yang meninggal di kelas kita, kasusnya sebagai pembunuhan dan lo masih bisa tenang belajar? Pembunuh udah masuk kelas kita! Prof. Jacob mati di kelas kita, Khai!” maki Lucy yang muak dengan sikap Khai padanya.

Sikap Khai yang dingin setelah mereka berada di kelompok belajar yang sama.

Dalam kondisi seperti ini, Theo akan menjadi penengah di antara keduanya. Saat Theo hendak beranjak dari posisi duduk, tiba-tiba terdengar suara pintu aula yang dibuka cukup keras.

“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan, Ms. Madeline?” Tiba-tiba seorang guru datang dan berjalan cepat langsung mengarah ke Lucy yang masih dengan wajah merahnya. Kini Khai pun mengalihkan fokusnya dan langsung berdiri saat Mr. Edgar datang ke arah mereka.

Siswa-siswi yang ada di sana hanya bisa menunduk takut. Mereka harus ekstra berhati-hati jika berhadapan dengan Mr. Edgar.

“Maaf jika kami membuat keributan,” ucap Khai sambil menunduk. Berbeda dengan Lucy yang malah menatap Mr. Edgar dengan tatapan seperti mencari apa yang guru sosiologinya itu maksud.

Mr. Edgar pun tidak fokus dengan permohonan maaf Khai, melainkan Lucy. Sejak awal dia juga mengincar gadis berisik itu. “Apa yang kau cari, Ms. Madeline?”

“Memangnya saya bisa ambil alih untuk ikut dalam kasus ini, Mr. Edgar?” Dia menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

“Kau butuh alasan yang akurat.”

Lucy punya alasan yang sangat akurat menurutnya. Sejauh ini dia bisa belajar dengan baik, diberi kesempatan besar berada di kelas ini karena bantuan Prof. Jacob yang mau memberikannya kesempatan beasiswa padanya. “Yang bawa saya ke sini adalah Prof. Jacob. Rasanya tidak adil jika saya hanya diam saja saat dia meninggal, tapi pembunuhnya masih berkeliaran.” Serena yang mendengar ungkapan Lucy, percaya jika itu kalimat paling panjang yang pernah gadis itu katakan. Dan tentu saja paling bijak dan berguna.

Worst Class Where stories live. Discover now