Fri(end)

4 0 0
                                    

Pikiran Lucy sudah melanglang buana saat sesi pertanyaan silang, yang di mana giliran Jaksa Afkar yang mengajukan pertanyaan pada Theo. Lucy tidak tahu apa yang dipikirkan oleh lelaki itu. Tidak ada yang bisa ia harapkan Jaksa Afkar yang sejak awal memang memiliki niat busuk terhadap Mr. Edgar.

Akan tetapi, bolehkah ia berharap jika Theo bisa menyelamatkannya?

"Apakah anda ketua kelompok belajar dengan beberapa orang yang terkait dalam kasus ini? Termasuk Nona Lucy Madeline yang ada sebutkan?" tanya Jaksa Afkar.

Theo mengangguk. "Benar, saya ketua kelompok belajar yang sesuai dengan sistem sekolah," ucap Theo membenarkan pertanyaan.

"Tapi ..." Demi Tuhan, Lucy ingin menangis setiap mendengar suara Theo yang mengisyaratkan jika saat ini dia sedang dilumpuhkan secara tidak langsung. Dengan tangan gemetar, dia menghubungi siapa saja yang ia bisa. Seperti, Luna, Ian, bahkan sampai ke Radeva sekali pun, dengan pesan teks yang sama. 'Help me.'

"Awalnya kelompok saya hanya beranggotakan Khai, Ian, dan Gavin. Sedangkan Lucy dan Serena mereka sendiri yang meminta kepada saya untuk memasukkan mereka ke dalam kelompok belajar," tutur Theo yang kembali menyakiti hati Lucy. Ternyata selama ini di mata Theo dia hanya seorang pengemis yang memohon agar bisa belajar dengan mereka.

Lucy melihat ponselnya lagi, tidak ada seorang pun yang menjawab pesannya. Hingga akhirnya dia mengirim sebuah pesan teks pada Serena.

"What are you doing, Ren?" Pesannya langsung dibaca oleh Serena.

"Over this pain, Cy. Gue udah engga kuat lagi."

"Thank you, Ms. Serena Grace."

Sekarang, siapa lagi yang harus dia percaya? Lucy memasukkan ponselnya ke dalam tasnya dan melihat permainan apa yang sejak awal sudah bermain di belakangnya.

"Udah sadar? Nobody cares bout you, Lucy Madeline," ucap Khai yang dia ia hiraukan lagi. Bahkan untuk menoleh ke arah gadis itu saja, rasanya sudah tidak sudi. Yang jelas, respon Khai yang seperti itu sudah membuatnya tahu jika semua ini sudah berasa dalam rencananya.

"Lalu, saya mendapatkan laporan jika kalian menjadikan ruang diskusi sebagai sau kelompok yang membantu Mr. Edgar dalam pennyelidikan?" tanya Jaksa Afkar.

"Iya, kami sempat melakukannya. Tapi saat Gavin terjerat suatu perihal, juga dengan Serena. Membuat kami berhenti karena urusan sekolah kami mulai terganggu," ungkap Theo.

"Siapa yang memulai ini?" Pertanyaan kesekian yang dilayangkan oleh Jaksa Afkar. Pada awalnya, Theo menjadi saksi untuk memberikan pernyataan yang meringankan Mr. Edgar. Tapi, setiap tanya jawab yang terjadi di antara Theo dan Jaksa Afkar semuanya menyudutkan Lucy. Permainan yang begitu halus dan tertata dengan rapih.

"Saya yang meminta karena tertarik dengan ucapan Lucy dengan Mr. Edgar saat di aula. Tepatnya setelah evakuasi kejadian hari itu."

Mr.Edgar memerhatikan Theo yang tidak hanya pandai dalam seluruh bidang pelajaran, dia juga handal bermain dengan fakta untuk mengikuti permainannya. Tidak ada yang bisa ditentang dari penjelasannya, seolah tidak ada lagi yang bisa menentang pernyataannya. Serta motifnya tidak diketahui dengan pasti.

Apakah dia kartu joker dari semua ini?

"Yang Mulia, sepertinya ada satu orang lagi yang harus diselidiki. Dari pernyataan saksi, sepertinya ada persekongkolan yang terjadi di antara tersangka dengan muridnya sendiri. Seperti rekaman CCTV yang saya temui di lokasi di mana terssangka ditahan selama ini," ucap Jaksa Afkar yang kini terfokus pada layar kecil itu lagi.

Sebuah video yang menunjukkan di mana kedatangan Lingga yang datang dengan Lucy dan bisa masuk ke dalam lokasi tahanan. Satu celah yang mereka lupakan. Bagaimana keadaan Lucy saat ini, dia hanya menunduk, menggigit bibirnya sendiri agar isakannya tidak terdengar.Dalam hati, ia berkali-kali memguat hati jika dia tidak bersalah.

"Dari kabar yang saya dapat dari penjaga gerbang, Pengacara Lingga mengatakan jika sosok yang dikenal dengan nama Lucy Madeline itu adalah mahasisiwi yang magang di firma hukumnya. Ada apa dengan anda, Pengacara Lingga? Sedang mencoba untuk menyalahgunakan kekuasaan anda sebagai pengacara?" Lingga mengepalkan tangannya kesal lalu, tertawa sarkas. Memang ada waktunya nanti di mana dia harus mencabikkan wajah Afkar itu.

"Terima kasih, Theo Anthony. Anda bisa kembali ke tempat duduk."

Saat Theo bangkit dan hendak kembali duduk, dia diam sejenakmelihat Lucy yang sudah sekacau itu, lalu melewatinya begitu saja. Diam-diam Serena melihat Lucy yang tampak begitu menyedihkan.

Akan tetapi, saat tangan Revan meremas lengannya kuat. Membuat Serena meringis kesakitan. "Jangan pernah mikir lo bakal bantu hama itu!"

"Gue bakal ngutuk lo seumur hidup gue," ucap Serena dengan nada berbisik. Tapi matanya sudah bisa menampakkan seberapa bencinya ia dengan laki-laki bernama Revan Dewangsa itu.

"Baiklah, Yang Mulia. Saya memiliki satu saksi lagi yang akan hadir di tengah kita."

"Silahkan Jaksa, Afkar."

Jaksa Afkar menunduk sejenak ke arah Hakim Agung lalu berbalik untuk melihat apakah saksinya hadir di balai sidang ini. Senyumnya terbit saat melihat sosok itu yang sudah menatapnya lebih dulu.

"Silahkan, Nona Serena Grace." Suara Jaksa Afkar yang menyebut nama Serena dengan lantang, sontak langsung membuat Lucy menatap ke arah Serena yang sedang berjalan untuk masuk. Gadis itu sempat melihat Lucy juga. Bagi Serena, ini pertama kalinya ia melihat tatapan Lucy sehancur itu.

"Ren," lirih Lucy yang tidak ciacuhkan oleh Serena.

***

"Apakah anda teman dekat Lucy?" tanya Jaksa Afkar yang lebih dulu diberikan wewenang bertanya. Serena hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun.

"Apa anda pernah menyadari jika Lucy bersengkokol dengan tersangka?" tanya Jaksa afkar kembali.

Serena memejamkan matanya, di bawah meja tangannya bergetar. Sudah banyak waktu yang menyenangkan bahkan di waktu yang begitu menyedihkan dalam hidupnya, Lucy ada di sana.wajah marah Lucy pada sang ibu yang tidak mau membantu untuk menaikkan kasusnya terhadap perlakuan buruk yang dilakukan Revan.

Dia masih mengingat jelas tangis Lucy yang pertama kali melihat lukanya. Dia juga mengingat mimpi dan harapan Lucy yang selalu gadis itu sampaikan padanya setiap kali mereka merasa lelah.

Serena memaki dalam hati. Kenapa dia harus diberi posisi sesulit ini?

Pada akhirnya, yang ia lakukan adalah mengangguk. Hanya anggukan, tapi sanggup membuat Lucy rasanya ingin mati di detik itu juga.

"Sebelum penangkapan Mr.Edgar, saya melihat Lucy masuk ke dalam ruangan Mr. Edgar. Dan itu sudah di luar jam sekolah, maupun jam kelas khusus. Dan, saya tahu Lucy tidak mengikuti kelas khusus."

"Dari laposan pengadilan, Lucy Madeline membawa kasus anda dengan kekasih anda sebagai bentuk penganiayaan. Apa itu benar?"

Lucy tidak memanglingkan tatapannya dari punggung Serena. Dia masih berharap jika sekali ini saja, Serena mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Sekali saja. Sesakit-sakitnya ucapan yang Serena sampaikan sebelumnya, dia masih mengharapkan jika kali ini Serena mengatakan kebenaran.

"Benar! Dia berusaha mengajukan kasus yang saya terima. Dan soal penganiayaan itu benar! Kenapa Lucy mengajukannya karena orang tua saya yang terlalu takut dengan ayah dari kekasih saya. Maafkan saya, apa yang tadi saya katakan adalah kebohongan. Yang terjadi sebenarnya, Lucy sedang mempertahankan beasiswanya untuk tetap bersekolah, dan dia tidak mau donatur pengganti datang dari sekokonglan yang sudah bermain di belakang semua ini!'

"Sekali lagi maafkan atas kebohongan saya. Tapi saya harus melakukan karena diancam oleh kekasih saya yang akan menyebarkan video saya tanpa busana. Maafkan saya," jelas Serena dengan tubuh yang gemetar hingga akhirnya tumbang.

Lucy langsung berlari untuk memeriksa Serena. Dia masih dengan janjinya. Akan tetap ada di sisi Serena apapun yang terjadi.

Worst Class Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang