Pilihan

8 0 0
                                    

Baru petang tadi, mereka mengantarkan laptop milik Mr. Edgar yang dijadikan barang bukti yang hilang ke tangan Jaksa Afkar. Jangan tanya seberapa terkejutnya pria itu ketika seorang  anak SMA, malah lebih cepat menemukan benda yang mereka cari.

Lucy masih ingat apa yang Theo katakan kala itu, hingga membuat Jaksa agung itu terdiam tak mampu mengatakan apa-apa. “Bapak hanya perlu kerja cerdas, Pak.” Dengan pemanis ungkapan Ian yang sudah Lucy ketahui permasalahan keduanya. “Makanya, Pak. Jangan serakah.keliatan sendiri, kan bodohnya?”

Saat itu Lucy sadar jika dia tidak hanya berteman dengan seorang yang pintar. Melainkan gila.

Tidak terasa besok adalah sidangnya. Malam ini Lucy duduk di depan teras, menatap bulan yang sudah lama ia abaikan. Untungnya setelah memngirim tugas yang baru ia dapatkan separuh, sudah selesai dan dikirim ke surel Pengacara Lingga Maheswara. Kalau dipikir-pikir, Lucy ingin bertemu dengan Lingga secara personal untuk membicarakan perihal kakak kembarnya.

Sudah lama sekali rasanya masa di mana Luna dengan tegas mengatakan akan menjalani kehidupannya sesuai dengan yang dia inginkan. Sampai akhirnya dia  benar-benar menghilang.

“Arrghh bikin puyeng aja!” gerutunya seraya mengacak-acak rambutnya frustasi. Sejak Lucy masuk ke School of Ukiyo, kepalanya selalu penuh dan berisik.

Lucy ingin malam ini saja bisa menikmati harinya dengan melihat bulan yang ditemani bintang dari ratusan ribu tahun cahaya. Tapi dia hanya memiliki rencana sedangkan dunia memiliki beragam problemanya. Tiba-tiba saja, nada dering ponsel Lucy suaranya mengudara. Membuat si empunya melirik. Kendati mengangkat, dia malah menatap ponselnya dengan ekspresi berpikir keras. Lagi-lagi, dia tidak dibiarkan tenang.

“Gavin? Ngapain nelpon malem-malem begini?” Tiba-tiba Lucy jadi berpikir jika ini ada sangkut pautnya dengan Gavin yang ikut menjadi saksi besok. Tadi sore laki-laki itu juga sudah mengajukan dirinya untuk menjadi saksi.

“Mau ngomong apaan, ya? Kok gue takut ngangkat, sih?” Bukannya menjadi saksi hanya mengatakan yang seadanya saja? Gavin tidak memberlukan bantuan untuk membuat skrip apa yang akan dia katakan, bukan?

Akan tetapi,  dasanya Lucy memang perempuan. Seketika dia menjadi penasaran. “Ah, bodohlah. Gue kepo.” Setelah sudah berpikir panjang, ujung-ujungnya kepo menjadi penyelesaian masalah Lucy yang harus mengangkat telepon Gavin atau tidak.

“Ya, Gavin. Ada apa?” Suara Lucy lebih dulu terdengar.

“Gue …mau ngomong sama lo, boleh?” Terdengar suara Gavin dari seberang telepon. Lucy mengangguk walau lawan bicaranya tidak melihat itu.

“Gue tunggu di taman deket MCD.” Lalu sambungan telepon mati begitu saja. Akan tetapi,Lucy tidak langsung menurunkan ponsel dari kupingnya. Gadis itu termenung berpikir kenapa Gavin seperti sangat tertekan?

Jawabannya hanya Lucy dapatkan saat dia bertemu dengan Gavin nantinya. Gadis itu mendengus dan tersadar, bahkan malam ini dia dituntut untuk tetap berpikir. Tidak ada yang tahu, pembunuh itu masih berkeliaran di mana-mana. Lucy harus tetap fokus dan terus membaca keadaan kalau tidak tidak akan melewatkan agaknya 0,1% kesempatan menemukan pembunuhnya.

Tidak ada jalan lain. Dia harus bersiap dan bertemu dengan Gavin.

***

Di sebelah restoran MCD yang buka dua puluh empat jam, ada sebuah taman kecil yang biasanya jika sore hari akan ditemukan banyak anak-anak akan bermain. Akan tetapi ketikan malam, taman itu tamapk sepi dan dipenuhi beberapa orang yang biasanya bersama dengan kekasih, teman, atau malah seorang diri.

Beberapa menit saja Lucy bisa menemukan Gavin yang duduk sendiri menghadap jalan raya yang masih begitu sibuk. “Hai,” sapa Lucy yang membuat perhatian Gavin terpecah dan menoleh kea rah kanannya yang sudah ada Lucy duduk di sampingnya.

“Hai. Maaf, ya ngajak lo keluar malam-malam gini,” ucap Gavin yang diawali dengan permintaan maaf terlebih dahulu.

“Gapapa, kok. Emangnya lo mau ngomong apaan, Vin. Kayaknya penting banget,” ujar Lucy yang diakhiri dengan kekehan gadis itu agar tetap mencairkan suasana.

Tidak ada jawaban. Hanya Gavin yang menatap Lucy dengan tatapan acak. Dalam satu kedipan mata. Lucy mendapat sinyal jika pembahasan ini akan jauh lebih serius dari yang ia kira sebelumnya. Kedipan kedua Lucy menangkap jika Gavin tampak bingung dan frustasi atas pilihannya yang sudah membuat dia datang kemari. “Are you okay?” tanya Lucy pada akhirnya.

“Seberapa penting keluarga lo buat lo, Lucy?” Gavin membalas ucapan Lucy dengan pertanyaan kembali.

The most important to me,” jawab Lucy yang malah ritma suasana yang Gavin ciptakan. Saat Lucy menjawab pertanyaan Gavin, siluet keluarganya begitu saja memenuhi isi kepalanya. Bayangan kedua adiknya yang selalu merebutkan hal sepele. Bundanya yang selalu berjuang untuk mereka, kakaknya yag menghilang, dan ayahnya yang memilih meninggalkan mereka demi ppekerjaan judinya.

Bahkan melakukan hak gila ini itu karena keluarganya. Dia tidak mau mengecewakan sang bunda. Tidak mau mereka sedih jika pada akhirnya, Lucy harus menemui mimpi buruknya saat masih kelas sembilan SMP. Putus sekolah.

Me too. Keluarga gue, keluarga kecil gue. Gue harus jaga mereka, Lucy. Dan jadi saksi di sidang besok, gue bakal dikeluarin dan perjuangan mereka selama ini jadi sia-sia. Gue gak bisa, maaf.”

Sebentar, otak Lucy seperti menerima sinyal jelek dari ungkapan lelaki di hadapannya saat ini. “What? Keluarga kecil?”

My wife and my son."

What the fuck, Gavin!”

Worst Class Where stories live. Discover now