Kelas Sosiologi

24 7 0
                                    

Hari ini, kelas A sudah bisa masuk ke dalam kelas dan memulai pengajaran seperti biasa. Hanya ada hal yang sedikit berbeda kali ini. Kelompok belajar Theo duduk berderet di paling depan.

"Jelasin yang kemaren lo bilang," ucap Khai yang lebih terdengar seperti sebuah titah, Gadis itu hanya fokus pada buku yang ia baca tanpa melihat ke arah lawan bicaranya yang duduk tepat di sampingnya. Theo yang saat ini menyandarkan punggungnya ke bangku dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, menatap punggung sempit nan tegap milik Khai.

Sedangkan yang saat ini Lucy lakukan adalah menceritakan pada Gavin apa yang Theo katakan kemarin. Ian hanya memainkan pensilnya seraya berpikir dan Serena tentu dengan ponselnya­ sedang bertukar pesan dengan pacar kesayangannya.

"Kenapa kita harus duduk begini, sih?" Ian yang biasanya duduk tenang si samping Khai yang tidak banyak bicara, kini merasa risih karena di sampingnya ada Lucy yang berisik. Ian berbeda dengan Gavin yang pendiam tapi sangat baik dalam menanggapi orang seperti Lucy.

Lucy yang merasa tersindir, langsung menoleh ke arah Ian. "Lo nyindir gue?"

"Ngerasa?" Lucy hanya tertawa pelan. Sepertinya dugaan Ian adalah Khai versi laki-laki memang benar.

"Sono pindah! Gue cuma ngikutin si Theo!" Ini memang rencana Theo yang entah apa maksudnya. Semuanya hanya mengikuti saran Theo yang jelas sudah pintar. Beda cerita kalau Lucy yang memberi saran.

Khai yang sudah kesal karena pertanyaannya tidak dijawab oleh Theo, kini amarahnya semakin tersulut karena pertengkaran basi yang diciptakan Lucy. Hingga akhirnya, Khai memukul meja hingga menciptakan suara yang keras. Mendadak satu kelas terdiam. "Berisik tau, gak?" Suara dinginnya sukses mendominasi seluruh kelas.

Hingga terdengar suara celetukan. "Orang rangking atas emang bisa ngelakuin semuanya, ya. Kelas aja kayak bapaknya yang punya. Okey guys! Mulai sekarang, plase be quite for our princess." Tampaknya semua jengah dengan sikap Khai yang suka membuat suasana sesuai maunya saja.

Khai meremat kertas pada bukunya dan beranjak dari bangku, berniat untuk meninggalkan kelas. Akan tetapi, saat sampai dia ambang pintu, Mr.Edgar muncul menghalangi jalannya. "Ini sudah jam berapa? Ms. Whitney? Apa yang mau kau lakukan di luar kelas?" Khai tidak menjawab pertanyaan gurunya.

"Maafkan saya," ungkapnya dan langsung kembali ke tempat duduk.

Keadaannya yang masih dalam kabut emosi, hanya membuat Khai diam. Kini gadis itu jadi sulit mengendalikan emosinya karena pikirannya hanya terfokus pada apa yang Theo katakan dan dia belum mendapatkan jawaban. Hingga dia mendapatkan tepukan pada bahu. Khai melihat pelakunya melalui ekor matanya saja. "Setelah kelas Mr.Edgar, kau akan dapat jawabannya," ujar Theo yang hanya membuat Khai semakin pusing saja.

Khai mendengus, dia tidak peduli. Dia memilih fokus pada pelajaran Mr.Edgar. "Seharusnya emang gue engga dengerin ucapan lo yang engga mendasar."

"Di kelas kali ini, kita memperlajari di bab Sosiologi di Dalam Sastra." Mereka langsung membuka laptop untuk membuka PDF yang sudah Mr.Edgar berikan satu hari sebelum kelasnya dimulai.

Di sinilah pemahaman mereka selama belajar diuji coba kehebatannnya. Lucy kembali mengamati beberapa teori yang juga sudah dia catat. "Sastra bisa menjadi cerminan dalam masyarakat yang seharusnya hubungan masyarakat menjadi pembahasan Sosiologi. Itu karena apa, Ms. Madeline?" Lucy yang merasa namanya dipanggil, langsung menengakkan punggungnya akibat terkejut.

Isi kepalanya terasa kopong. Lucy hanya diam, antara takut menjawab dan lupa apa yang harus dia katakan, "Emm ... ungkapan cerminan cukup tabu di sini," jawabnya dengan suara kecil.

"Lebih lantang, Ms.Madeline!" Kini Lucy benar-benar terdiam. Suara Mr.Edgar yang membesar membuat yang ada di dalam kepalanya terasa seperti, itu adalah jawaban yang salah.

Worst Class Where stories live. Discover now