The Truth and Justice

8 1 0
                                    

Apa kebenaran yang sudah kuanggap benar, adalah sebuah kebenaran? Sebuah pertanyaan yang Lucy pertanyakan di kepalanya. Tapi dia juga bingung.

"Lo sakit apa kemaren, Cy?" tanya Theo.

Lucy yang sedari tadi hanya terdiam sambil mengisap es krim yang beberapa menit lalu ia beli, menoleh ke arah Theo. "Sakit jiwa," ucapnya sambil tersenyum aneh. Yang bertanya hanya tertawa pelan berpikir jika Lucy hanya sedikit kelelahan saja.

Hari ini tidak ada kelas karena jam sebelas siang nanti, semua kelas 10 dan 11 akan dikumpulkan di aula untuk pengenalan jurusan yang akan mereka ambil setelah lulus dari School of Ukiyo. Katanya ada sebuah aturan baru di mana kelas 10 dan 11 akan diberi kelas khusus di setiap semester kedua.

Satu peraturan baru sudah keluar. Lucy yakin, semakin lama akan banyak yang berubah hinggga mereka mengumunkan hal yang akan Lucy yakin dalam masalah. Karena dia sudah tahu, donatur yang akan naik menggantikan Mr. Jacob tentu saja Anggota Dewangsa yang akan naik. Begitulah rotasi lingkaran setan itu berputar. Dan itulah alasan mengapa Luna kembali.

Lucy tidak tahu harus bersyukur atau memaki Luna. Gadis itu memang pintar tapi problematiknya membuat kepala orang terdekatnya bisa pusing dibuatnya.

"Lo ke aula, The?" Theo mengangguk tanpa melihat lawan bicarnya. Di roof top sekolah, yang paling Theo nikmati adalah pemandanagn serta angina yang bisa leluasa berembus menyentuh wajahnya.

"Katanya nanti ada perwakilan gitu, ya buat jelasin kenapa dia pilih jurusan yang dia mau?" tanya Lucy.

"Iya. Kayak ngejelasin gitu kasih gambaran aja. Atau mungkin pertanyaan-pertanyaan pokokj kayak siapa tokoh yang menginspirasi lo untuk ambil jurusan itu, atau melihat diri lo di sepuluh tahun ke depan, etc." Lucy hanya mengangguk-angguk paham.

"Lo kenapa sekarang banyak diem, hm? Biasanya ada aja tingkahnya?" tanya Theo. Akhir-akhir ini sekolah tidak seperti biasanya. Berawal dari Gavin yang tidak bersekolah kembali, kelompok beajar mereka sudah mulai tidak aktif. Sebagai formalitas, mereka mengirim tugas-tugas melalui classroom atau group Whatsapp yang mereka bentuk. Selebihnya, tidak ada. Lalu, sampai saat ini Serena belum datang ke sekolah karena perawatan yang begitu intensif. Bahkan sampai ke mentalnya.

Setahu mereka, Radeva siap untuk mengurus persidangan untuk Serena.

Sejak rangkaian kejadian itu, yang tadinya ingin membahas perihal Mr. Edgar, kini sudah memilih untuk mengambil jalannya masing-masing. Jika saja, Theo tidak mengajak Lucy pergi ke rooftop, mungkin mereka tidak akan ada di sini saling berbicara sebagai mana mestinya.

Lucy hanya menghela napas memikirkan jika semuanya berubah dengan drastis.Dulunya mereka adalah kelompok yang paling disegani, kini malah jadi bahan bully.Untungnya, mental mereka memang sudah keras saat Lucy tahu sisi di balik semua temannya.

"Kadang, ya The. Kita harus sedikit menjauh untuk melindungi sesama. Lo pasti ngerti maksud gue. Kita ke sini awalnya, kan buat belajar. Bukan nyari masalah. Gue cuma mau kita kembali aja dulu ke niat awal. Kayak, kita direndahin sama guru, temen-temen, dikucilkan, itu engga adil buat kita yang udah kerja keras buat belajar."

"Soal Mr.Edgar, ini kayak proses domino yang mulai jatuh satu per satu. Gue yakin ada saatnya yang bikin keadaan ini juga jatuh," sambung Lucy.

Setelah itu, Lucy bangkit dari posisi duduknya. Membuang stik es krim yang sudah tandas es krimnya. "Yaudah, yuk masuk dulu. Jadi anak baik lagi?"

"Kalau lo yang ditanya mau jadi apa? Lo bakal jawab apa nanti, Cy?" Pertanyaan terakhir Theo sebelum ia kembali pada realita jika saat ini yang hanya bisa mereka lakukan adalah tunduk.

"Jadi burung."

***

Lucy sudah biasa jika tidak ada orang lain yang menatapnya dengan tatapan penuh pujaan. Tapi dirinya merasa kosong karena tidak ada Serena di sampingnya. Seorang gadis yang selalu membuatnya kesal tapi sering memberikan motivasi versi sachet-an. Seperti, "Kita kayak kagak dianggap anak kelas A, ya. Nanti liat, Cy. Mereka yang ngaku-ngaku sodara kita. Ihiyy." Dan banyak hal lagi.

Padahal ungkapan itu hanya untuknya. Karena Serena termasuk siswi yang terkenal karena pekerjaannya. Dia hanya ingin temannya ini tidak memandang rendah diri sendiri.

Sedangkan yang lain seperti Theo, Khai, dan Ian yang biasa selalu duduk di paling depan, kini dianggap oleh kelas sendiri saja tidak. Itulah mengapa mereka bergabung dengan Lucy yang sudah sering duduk di paling belakang. Entah apapun itu.

"Aneh gue ngeliat lo pada duduk di sini. Ini, kan tempat duduk kaum kacung," ucap Lucy yang memecahkan kesunyian di antara mereka.

"Sejak kapan posisi duduk ada kastanya?" sahut Ian yang membuat Lucy tertawa masam.

"Terlalu lama di atas, sih lo. Baru kerasa, ya?" Ian hanya menatap wajah Lucy yang membuatnya kesal lalu mendengus sebal.

"Hari ini mau ngumpul, gak. Main aja. Mumpung ada kakak gue, duitnya bisa gue kuasai," ucap Lucy yang ternyata juga sedikit rindu dengan kepahitan berteman dengan mereka.

"Gak bisa. Gue mau jalan sama Theo," tolak Khai langsung ke intinya. Lucy hanya mencibir ke arah gadis itu. Lucy tidak tahu entah kedekatan apa yang sudah terjalin di antara keduanya. Ientah tidak sadar, atau memang mereka baru saling menunjukkan kedekatan lebih di antara mereka.

"Jam 8 gue jemput," sahut Ian.

"Bosen gue pergi sama lo mulu. Tapi yaudah, tiap hari bawa karung beras gue," ucap Lucy. Gadis itu terkekeh pelan karena selama dia pergi dengan Ian, kebiasaan ke supermarket untuk membeli makanan dan duduk di tempat yang mereka pilih secara acak adalah hal yang paling Lucy suka. Karena setiap hari dia bisa membeli bahan makanan di rumah dan uang bundanya bisa ditabung sebagian.

Satu hal yang tanpa mereka sadari sudah terbentu di antara keduanya adalah kubu. Mereka memisahkan diri dan sering bermain di luar sekolah dengan orang yang menurut mereka dekat saja. Tapi tidak pernah pergi bersama.

Beberapa menit kemudian, acara dimulai. Seorang pembicara mulai memberikan pencerahan mengapa program baru ini akan diterapkan kepada mereka yang statusnya masih menjadi percobaan awal.

Hingga sesi untuk beberapa murid pun dimulai. "Baiklah anak-anak, kami akan memanggil beberapa orang yang akan menceritakan rencananya untuk ke depan. Nantinya kita akan memberitahu apa saja poin-poin penting yang harus mereka pikirkan sebagai penambahan. Ini adalah sesi penting untuk nantinya kalian mengisi formulir fokus jurusan di semester kedua."

"Baiklah, kita mulai dari kelas terpintar yang kita kenal di School of Ukiyo. Perwakilan dari kelas A yang sama-sama sudah menempati posisi pertama dalam tiga fase berturut-turut. Theo Anthony dan Lucy Madeline." Walau terdengar tepukan tangan, mereka hanya bisa menghela napas karena sadar itu hanya kepalsuan semata.

Ada beberapa orang juga yang melirik tajam ke arah mereka saat keduanya berjalan menuju ke panggung auditorium. "Pulang sekolah kayaknya gue jadi santapan mereka dah," bisik Lucy pada Theo.

"Ngaco lo."

"Lo pacaran sama dia?" Sedangkan di sisi lain, ada Ian dan Khai yang melihat kedua teman mereka sedang mencoba untuk tetap bersikap normal.

"Gak penting." Jawaban Ian membuat terkekeh pelan.

"Bener, kan apa yang gue bilang waktu gue ke rumah lo? The truth will find it's own way to become the truth." Selanjutnya, Khai tidak memperdulikan apa yang Ian katakan.

Seorang pendosa akan bersikap acuh pada hal yang menyinggung tentang dosa yang ia lakukan agar merasa tidak berdosa.

Worst Class Where stories live. Discover now