Sidang Pertama

8 1 0
                                    

“Keren juga jadi orang kaya. Absen aja dibeli, cuy! Tapi, engga gini juga. Gue kayak orang tolol nungguin kalian di kelas.” Lucy masih tidak percaya bagaimana mereka bisa bebas dari jam belajar hari ini. Jika saja sekretaris kelas mereka tidak memberitahu perihal Khai yang sudah membeli absen mereka, mungkin Lucy seperti orang bodoh menunggu teman-temannya di dalam kelas. Padahal semuanya sudah berkumpul di kantin.

“Lah? Gue ditelepon si Khai tadi kok jam tujuh. Gue kira lo juga,” ucap Serena yang terkejut melihat wajah Lucy yang kurang bersahabat.

“Gue lupa,” ujar Khai santai dan masih terpaku pada ponselnya. Ternyata alasan Khai sedikit menyayat hatinya. Di saat semuanya bisa ia hubungi, kenapa tidak dengannya? Jujur saja Lucy sedih. Dia tahu, hanya dia yang tidak dekat dengan semua temannya kecuali perihal sekolah. Karena Lucy tidak bisa mengikuti gaya bermain mereka. Mungkin Khai merasa dia tidak penting dan tidak begitu dekat dengan mereka. Anggaplah Lucy terlalu berlebihan, tetapi jauh di dalam sana dia benar-benar terluka.

“Yaudah, lo bareng gue, ya,” ucap Serena. Tapi tawaran Serena, Lucy jawab dengan gelengan pelan sambil tersenyum tipis.

“Maaf, ya. Kalian duluan aja. Gue ada urusan lain,” ungkap Lucy yang memilih tidak ikut dengan teman-temannya. Dia juga tidak melihat Gavin datang. Pagi ini dia ingin membujuk Gavin kembali.

Kasus ini harus segera selesai sebelum posisi donatur dan pengelola beasiswa akan diganti yang kata Ian akan dipegang ketua dewan itu, sekolah akan dijadikan lading kampanye untuk menarik simpati masyarakat untuk kampanye sebagai calon presiden. Pria tua itu memang sudah tidak waras. Sekarang, Lucy tahu kegilaan Revan menurun dari siapa.

“Tapi, kan—“

“Gue ada tugas dikit. Sorry ya, Ren.”

Lucy hendak pergi dari kantin, tetapi dia kembali berbalik untuk mengatakan sesuatu yang ia lupa. “Ouh, iya Khai. Nanti kirim aja nominal duit lo kepake pas bayar absen gue, ya. Nanti gue transfer. Oke gue pamit, ya.” Lucy pun pergi begitu saja.

Tidak ada yang mengentikan kepergian Lucy. Biasanya Theo akan bertindak, tapi sebelumnya Ian sudah memberi peringatan pada Theo agar diam sejenak. Lucy juga harus memahami emosiapa agar tahu langkah apa yang harus dia ambil jika kejadian ini akan terulang kembali.

“Gue bayar absen gue sama Lucy. Gak mungkin lo tunjukin nominal sama dia, kan?” ungkap Serena. Entah kenapa sikap Khai kali ini pada Lucy sulit ia terima.

“Itu, kan urusan dia. Ngapain lo urusin.”

Serena sudah terlalu banyak diam untukmenghargai teman-teman yang lain. Tapi tidak untuk kali ini. “Gue kira lo pinter untuk segala hal. Ternyata gue salah. Mending sekarang lo belajar soal pertemanan, deh. Biar lebih pinter.” Serena akhirnyamemilih ikut pergi dari kantin.

“Gue duluan,” ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan kantin.

Usai kepergian Serena, Theo hanya bisa menghela napas lelah.”Huft … dasar cewek. Udahlah, yuk jalan.”

***

Jam sepuluh pagi, sidang akan dimulai. Saat ini Mr. Edgar hanya bisa duduk terdiam di dalam mobil polisi yang membawanya ke balai sidang. Menggunakan pakaian rapih dengan tangan terborgol. Rasanya, seperti sia-sia. Ternyata pakaian bukan poin besar untuk bisa menilai seseorang.

Mr. Edgar sedari tadi hanya terdiam. Di dalam mobil, yang menjadi supir adalah detektif yang menangkapnya di kelas kala itu. Di sebelahnya ada jaksa yang wajahnya terlihat sangat kusut. Sebelah kanan dan kiri Mr. Edgar ada polisi yang tidak akan membiarkannya lolos. Padahal rencana kabur saja tidak ada.

Pria itu melihat matanya dari kaca spion. Dia sudah tahu perihal laptop yang ditemukan dan soal tambahan saksi yaitu Gavin yang menjadi pelaku pencurian laptopnya.

Setelah ini, akan ada satu domino lagi yang jatuh. Yang tentu saja akan menjatuhkan balok domino lainnya.

Tidak terasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Dan semua wartawan menyerang mobilnya yang ia tumpangi dengan flash dari kamera yang mereka bawa. Tentu saja, mereka sudah siap akan menghujaninya dengan banyak pertanyaan.

Mr. Edgar pun keluar dari mobil digiring oleh dua polisi yang masih setia berada di samping kanan dan kiri. Mr. Edgar sama sekali tidak menunduk. Tetapi dia memilih bungkam hingga satu pertanyaan menyita perhatiannya.

“Mr. Edgar menurut anda apa yang akan Jaksa Afkar tuntut atas kasus anda?”

“Ini adalah persidangan yang seru. Jangan lewatkan sidangnya.” Setelah itu Mr. Edgar langsung kembali meneruskan langkahnya menuju ke balai sidang.

***

Saat Theo, Ian, dan Khai sampai ke ruang sidang, ternyata Lucy sudah sampai lebih dulu dengan Serena. Tidak hanya mereka yang datang. Ada Ms.Nerine yang dikenal cukup dekat dengan Mr. Edgar sebagai rekan kerja. Ada pula beberapa guru lain yang hadir. Tapi tidak dengan Gavin.

“Gavin mana?” tanya Theo dengan suara pelan saat  mengambil posisi duduk tepat di samping Lucy.

“Kesurupan bocahnya. Yang jelas, dia engga bakal jadi saksi hari ini.”

“Hah?!” Theo sedikit terkejut dan bingung. Khai dan Ian yang duduk di belakang, sempat mendengar ucapan Lucy juga membuat dahi mereka sukses menyerengit.

“Udah. Nikmatin aja sidangnya.”

Dan sidang pun dimulai. Pembukaan sidang langsung dimulai dari serangan Jaksa Afkar. “Kepada Mr.Edgar, apakah anda ada di ruangan saat kejadian?”

“Ya. Saya di ruangan saya dengan laptop saya yang masih saya gunakan saat itu.”

“Tidak ada bukti untuk memperkuat pengakuan anda. Bahkan tidak ada CCTV yang memperlihatkan anda berada di ruangan. Bagi seorang berpendidikan, seharusnya anda tahu jika di ruangan balai sidang itu harus suci dari kebohongan.”

“Dan saat ini anda hanya memperkuat argument anda seorang. Tanpa memperhitungkan banyak spekulasi lain dan secara tidak langsung menuduh klien saya sebagai pembunuh di sidang pertama. Apakah  seperti itu kerja seorang jaksa?” Pengacara Lingga langsung menjawab dengan sarkas.

“Yang Mulia, Hakim. Kami telah menemukan barang bukti yang hilang yaitu laptop milik klien saya. Klien saya mengatakan jika dia membuka salah satu dokumen dan di sana tertera waktu yang sama dengan kejadian.”

Saat Pengacara Lingga menampilkan dokumennya di sebuah layar yang sudah disiapkan, satu ruangan terkejut. “Ya. Ini adalah dokumen yang Mr. Edgar terima di hari yang sama pada pagi hari pukul 06.00 pagi hari.”

Tercantum di sana sebuah kasus penyuapan yang dilakukan Mr. Jacob dengan beberapa nama yang tertera di sana. Dan ada satu nama yang membuat Lucy lebih tekrejut ketimbang dengan daftar nama yang sudah ia pastikan ada. “Ini adalah sebuah dokumen yang mencantumkan beberapa nama yang mengetahui dan berperan dalam kasus yang sudah ditutupi sangat lama. Dari kasus ini, bisakah anda memeriksa salah satunya untuk memastikan jika adakah pembunuh Mr.Jacob dari salah satunya?”

“Kak Luna?!” teriak Lucy pelan. Mendadak dia tidak bisa berpikir. Mendadak dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.  

“Sebenarnya ini kenapa, sih?” tanya Lucy dengan tubuhnya yang sudah lemas. Haruskah salah satu keluarganya ikut campur perihal kasus sialan ini?

Worst Class Where stories live. Discover now