Dan. Selesai.

6 0 0
                                    

"Orang tuanya udah kerja keras, dia malah jual diri."

"Pantesan bisa masuk Ukiyo, ternyata jual dirinya ke Revan."

"Udah dipake Revan, pasti."

"Gaya sok jadi korban ternyata emang suka digituin. Murah banget."

Ungkapan semacam itu bisa ia dengar sepanjang lorong menuju kelas. Ia meninggalkan Ian dan Lucy di ruang belajar mereka dahulu. Rencananya dia ingin membayar absen dan pulang kembali tidur di kasurnya dan terbangun lalu menyadari jika hari ini hanyalah mimpi saja. Dia harus segera pulang.

Akan tetapi, ungkapan pahit semacam itu ia dengar sendiri dari dalam ruang kelasnya. Bahkan ia menyadari suara Khai ada di sana. Sosok yang ia kita tidak memperdulikan keadan, kaku, dan hanya asik sendiri, ternyata sekali berbicara ucapannya bisa mematikan seseorang. Itulah Khai Whitney yang ia kenal sekarang.

Dengan wajah datar, Serena membuka pintu kelas. Melihat kehadirannya, seisi kelas mendadak terdiam. Serena memetakan wajah mereka satu per satu. Berdoa, jika ucapan yang baru saja mereka ucapankan mereka bayar dengan hal yang sama. Dan matanya tertuju tajam mata Khai. Doanya diutamakan untuk gadis itu.

"Masih bisa lo liaitin muka lo di sini? Kalo udah jadi temen pasti begitu. Busuknya sama." Tidak pernah ada dalam bayangan Serena jika yang mengatakan hal demekian adalah seorang Khai.

"Tenang aja, Khai. Nama lo pasti bersih walau kita pernah satu kelompok yang sama. Tenang aja, abis ini lo engga akan liat gue lagi. Puas lo? Ternyata ini yang lo sembunyiin? Hah? Gue kira ini kelas orang-orang hebat, tapi ..." Serena tertawa lirih. Air matanya sukses jatuh saking tak sanggupnya ia menahan semua ini. Dia sudah tidak sanggup.

"This is being the worst class for the rest of life." Serena langsung menuju ke sebuah alat absen dan memberik keterangan jika ia membeli absen lalu dengan sekali scan barcode ia sudah menbayar harga absen yang harus ia bayar.

Sebelum Serena hendak meninggalkan kelasnya, dia kembali berbalik. Matanya masih tertuju pada Khai. Mulai hari ini dia tahu mengapa Lucy sangat tidak suka dengan Khai. Ya, sejak awal dia memang tidak memiliki adab. Yang ia miliki hanyalah perasaan angkuh dengan apa yang yang sudah ia miliki.

"Woi anak mafia! Anak dari laki-laki bejat!"

"SERENA!" Khai berteriak marah saat mendengar apa yang Serena ucapkan. Wajahnya berubah menjadi merah padam. Dia paling benci dengan panggil yang sudah lama ia tutup rapat lukanya.

"Itu kebenara. Bukan kaya lo! Ngehina orang belum tahu kebenarannya. Dan satu lagi, jangan cobva-coba lo ganggu Lucy. Agaknya gue mati hari ini, gue bersumpah sama Tuhan, engga akan bikin hidup lo tenang, Khai Whitney." Serena langsung keluar dari ruangan itu.

Saat keluar, tidak ada lagi air mata yang jatuh. Hanya tatapan kosong yang Serena pancarkan. Niat awalnya yang ingin pulang, tidak jadi ia lakukan. Bibi Arumi sudah mmenyiapkan bekal. Dia harus memakannya dulu. Dan satu tempat yang ia ingat saat ia bisa makan dengan tenang usai mengerjakan tugas yang membuatnya sakit kepala, panas matahari yang langsung menyentuh kulitnya tetapi angin yang berembus kuat membuatnya memaklumi panas matahari itu.

Ya, tempat favorit Lucy katanya. Tapi kali ini dia ingin pergi sendiri. Tempat itu adalah rooftop.

***

Serena mengunyah pelan, isi kepalanya yang gaduh membuatnya tidak memiliki tenaga untuk sekedar mengunyah makanan. Setelah ini, dia harus berterima kasih pada Lucy dan Ian karena sudah menuruti permintaannya untuk meminta waktu sendiri dulu.

Suara dering telepon berkali-kali. Dan itu mamanya. Serena tidak mau mengangkatnya dulu. Menyantap makanan dengan pemandangan langit Jakarta adalah hal yang indah untuknya.

"Langitnya indah banget," lirihnya yang membuat air matanya kembali mengalir.

Gadis itu merasa sedih dengan dirinya sendiri. Dia sedih karena terlalu lemah untuk dirinya. Dia tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Dari setiap kunyahannya air mata jatuh di dalam diam.

Saat makanannya habis, Serena kembali memperhatikan ponselnya. Entah apa yang mamanya ingin katakan hingga keras usahanya melebihi bagaimana cara sang mama membahagiakannya. Serena hanya tertawa lirih. Saat ini, yang melihat kehancurannya hanyalah dirinya sendiri. Dia sudah tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Hanya itu yang ada di kepalanya saat ini.

Dan betapa bodohnya ia harus membawa ponsel yang digunakan khusus untuk menghubungi sang mama saja. Dari ponsel itu yang membuka portal berita dan melihat hal yang langsung membuatnya menjerit. Ternyata beritanya tidak hanya sampai yang Ian beritahu padanya, melainkan perihal video tanpa busananya. Tidak ia sangka jika memang ternyata Revan senekad itu.

Setelah video itu, Serena melihat foto di bawahnya sang mama sedang menangis bahagia mendekap mulutnya sebagai reaksi tidak menyangka seseorang pria membungkuk di depannya seraya menyodorkan sebuah kotak merah yang berisi cincin.

"Segera menikah," lirih Serena di tengah isak tangisnya.

Dia sama sekali tidak mengetahui jika ibunya akan menikah. Bahkan dia sebagai anaknya saja tidak tahu, lalu siapa sebenarnya Serena dalam hidup sang ibu? Siapa dia? Setelah ditinggal ayah, kini ibunya hanya menganggap ia bagian lembaran kelam lama yang harus dibawa tapi tetap dilupakan. Sekarang, ke mana dia harus pergi?

Lagi dan lagi, mamanya menelepon Serena. Kali ini, Serena terima. Tidak ada yang membuka suara di beberapa menit pertama. Sampai akhirnya sang mama yang lebih dulu membuka suara.

"Anak kurang ajar." Tidak memekik, tidak pula bertutur lembut. Tapi rasanyta mencekik.

"Apa yang kamu lakuin itu hah?! Kamu ngikutin gaya murahan ibu tiri kamu?" Kini suaranya penuh dengan penekanan. Serena hanya diam. Ini semua, sama seperti apa yang dia harapkan.

"Mama biarin kamu kerja, mama kasih kamu hidup sesuka kamu, mama kasih kamu fasilitas, SEMUA MAMA KASIH KE KAMU SERENA! Ini yang kamu balas ke Mama?"

"MENYESAL MAMA PERJUANGIN KAMU YANG MAU MATI DI KANDUNGAN! MENYESAL MAMA PERJUANGIN HAK ASUH KAMU!"

"Aku bayar rasa menyesal Mama, kayak Mama bayar aku buat kasih sayang yang enggak Mama kasih. Makasih, ya Ma. Selamat untuk pernikahannya." Serena langsung memutuskan sambungan telepon. Lalu ia mengetik sebuah nomor yang paling ia hafal. Nomor Lucy.

"Halo? Siapa, ya?"

"Gue, Serena."

"SEREN? LO DI MANA? UDAH MAKAN BELUM? GUE PESENIN YA? MAU YA?" Serena terkekeh walau matanya masih basah. Setidaknya dia masih bisa bersyukur jika sampai akhir dia memiliki Lucy yang selalu menyayanginya.

"Gapapa, Lucy. Simpen aja duit, biar cepet kaya."

"Sial lo!" Sontak suara tawa Serena makin menggema serta air matanya juga ikut menetes lebih deras.

"Yaudah, gue duluan ya Lucy. Makasih banyak. Cuma itu yang bisa gue ucapin ke lo. Maaf, ya bikin lo susah. Ouh iya, titipin salam gue ke Kak Radeva. Handphone gue rusak soalnya. Udah mati. Bilang makasih juga udah mau nemenin gue gitu, ya?"

"Jangan ngelantur deh, lo.Lo di mana sih?"

"Tempat kesukaan lo. Maaf engga ajak lo, udah ya. Gue duluan. Goodbye, Lucy."

Serena tidak ingin mendengar suara cemas Lucy atas dirinya lagi. Dia langsung mematikan ponselnya. Dia bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di perbatasan gedung sambil menikmati derisan angina yang menerpa dirinya. Merentangkan tangannya sambil menyanyikan sepenggal lagu Matilda milik Harry Styles

I don't believe that time will change your mind

In other words, I know they won't hurt you anymore
As long as you can let them go

You can let it go
You can throw a party full of everyone you know
You can start a family who will always show you love
You don't have to be sorry, no

Di rooftop sekolahnya, Serena Grace memutuskan menutup kisahnya. Dengan mata terpejam, ia menjatuhkan dirinya dari atas gedung. Dia sempat tersenyum sebelum tubuh lelahnya membentur bumi dan jiwanya telah menuju langit. Dan. Selesai.

"SERENA!" 

Worst Class Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang